Sabtu, 28 November 2009

Kesempurnaan Finansial


Kemandirian finansial adalah kondisi yang memberikan rasa aman dari persoalan keuangan. Tingkatan yang lebih tinggi dari kemandirian finansial adalah kesempurnaan finansial.
Setidaknya, ada empat anak tangga yang mesti dilalui menuju puncak kemandirian finansial. Pertama, membebaskan logika dari pengaruh perasaan ketika mengambil keputusan di bidang keuangan. Kedua, memiliki penghasilan yang lebih besar daripada pengeluaran yang paling mendasar. Ketiga, kemampuan merencanakan keuangan dan mengimplementasikannya. Keempat, terbebas dari kebutuhan keuangan untuk membiayai hidup di saat tidak produktif lagi.
Apakah setelah keempat anak tangga tersebut berhasil dicapai, pasti akan memberikan rasa bahagia? Belum tentu. Kemandirian finansial baru sekadar kondisi yang memberikan rasa aman dari persoalan keuangan. Sedangkan rasa bahagia, kepuasan hidup, tidak semata-mata soal uang. Namun, pola pengelolaan uang itu sendiri sebenarnya memberikan pengaruh juga terhadap rasa puas dalam menjalani hidup.
Makna yang paling dasar dari uang adalah sebagai alat tukar, untuk kemudian seseorang mampu memenuhi kebutuhan hidupnya. Uang dan harta yang banyak adalah tujuan keuangan untuk mencapai tujuan hidup. Dan, itu bisa dicapai oleh siapa saja. Tetapi, banyak orang lupa bagaimana proses mencapainya.
Hasil yang baik mestinya dicapai berdasarkan proses yang baik. Ringkasnya, kemandirian finansial hanya akan berhenti pada tahap tersebut jika proses mencapai kemandirian itu tidak dilakukan dengan kaidah-kaidah yang semestinya. Artinya, jika proses menuju kemandirian finansial itu tidak dilakukan dengan cara yang membikin rasa aman, besar kemungkinan kemandirian finansial tersebut akan bersifat artifisial. Tidak hakiki.
Jangankan untuk mencapai tahap kesempurnaan finansial, bahkan mempertahankan kemandirian finansial sekalipun akan menjadi problema besar. Ini seperti kata pepatah, ”Dari zero kembali ke zero”. Ketika muda, seseorang bekerja keras dengan segala cara mencari uang, tetapi setelah tua, harta yang diperoleh akan habis dipakai untuk menyelesaikan segala problema yang dibuat ketika mencari harta.
Kalau situasinya seperti ini, kemandirian finansial yang diraih sebenarnya bersifat semu. Sebab, kemandirian finansial adalah ketika uang sudah tidak diperlukan lagi, sampai akhir hayat. Bukan cuma kondisi sesaat.
Prinsip
Lantas, bagaimana cara untuk bisa mencapai kesempurnaan finansial? Tidak sulit. Hanya dua prinsip. Pertama, proses menuju kemandirian finansial mesti dilakukan dengan cara dan kaidah yang layak. Sebutlah pada anak tangga yang pertama, dalam hal mendudukkan logika di atas perasaan. Ini merupakan proses yang tiada henti. Dalam semua hal menyangkut keuangan, jangan sekali-kali mencampurkan aspek perasaan dalam pengambilan keputusan.
Begitu juga pada anak tangga yang kedua, jangan pernah berpikir atau merasa tidak cukup sehingga pengeluaran menjadi lebih besar dibandingkan dengan pemasukan. Betapapun kecilnya penghasilan saat ini, harus disikapi dengan makna cukup. Bahwa ingin meningkatkan penghasilan adalah suatu keharusan. Tetapi, delta peningkatan penghasilan mesti lebih besar ketimbang peningkatan pengeluaran.
Lepas dari itu, yang paling penting adalah tata cara peningkatan penghasilan itu. Lakukan dengan perencanaan keuangan yang memiliki norma-norma. Bukan karena ingin mendapatkan mobil Mercedes S-Class, kemudian ”melacurkan” prinsip atau memerkosa kaidah tata krama hidup. Hal yang sama juga berlaku dalam investasi. Jangan menggunakan ”kendaraan” investasi spekulatif untuk meningkatkan kekayaan karena hasilnya akan artifisial.
Prinsip kedua adalah memaknai uang itu sendiri. Seperti apa? Uang adalah sekadar sarana untuk memberikan manfaat. Tujuan mencari uang sebanyak-banyaknya bukanlah demi uang, tetapi bagaimana agar uang itu bisa memberikan nilai tambah dalam kehidupan si pemilik uang, keluarga, sanak saudara, orang lain, dan siapa pun seluas-luasnya.
Jadi, kalau uang yang dimiliki belum memberikan kenyamanan hidup, berarti ada yang keliru dalam menafsirkan peran uang. Dan, kekeliruan itulah yang mesti diperbaiki. Misalnya, dengan mendefinisikan kembali bagaimana mestinya cara mencari uang. Dalam 24 jam sehari, hidup bukan hanya untuk uang, tetapi ada hal-hal dan kegiatan lain yang mesti dilakukan agar tidak menjadi ”budak” uang.
Selanjutnya, setelah uang diperoleh, peruntukannya mesti jelas. Tanpa peruntukan yang jelas, makna keberadaan uang menjadi sirna. Kesimpulannya, jika Anda ingin merasakan ”hidup yang lebih hidup”, tujuan keuangan bukan sekadar pada tahap mencapai kemandirian finansial, melainkan juga menuju kesempurnaan finansial, di mana uang memberikan manfaat bagi si pemilik dan orang lain. Selamat mencoba. (Elvyn G Masassya, praktisi keuangan)

Sumber : kompas.com


Jumat, 27 November 2009

Senjakala Kepemimpinan


KEKECEWAAN publik atas kepemimpinan yang tidak tegas di negeri ini dapat dipahami. Karikatur Jawa Pos (24/11/2009) cukup menggambarkan hal itu. Pemimpin adalah orang yang dapat menggerakkan rakyat untuk menuju kebaikan bersama. Dunia mencatat tokoh-tokoh seperti Mahatma Gandhi, Kemal Ataturk, Napoleon Bonaparte, Jeanne d`Arc, Kwame Nkrumah, Soekarno, Nelson Mandela, dan seterusnya. Mereka bukan sekadar tokoh masyarakat, namun pemimpin yang membawa perubahan besar bagi perjuangan menuju kemerdekaan, keadilan, dan kesejahteraan.

Pemimpin yang cerdas adalah orang yang mampu menghargai puncak kehidupan, dan dia akan senantiasa menziarahi kebenaran (will to truth) dan bukan menziarahi kekuasaan (will to power), agar dia tidak mengalami apa yang disebut split orientation. Yakni, tidak menyatunya antara ucapan dan tindakan. Jika ini terjadi, dia masih dalam kategori apa yang disebut Francis Fukuyama sebagai the first man, manusia yang hanya butuh petunjuk secara otoriter, yang berbeda dengan kategori the last man yang sudah mementingkan harkat dan martabat.

Orang seperti ini hanya akan bertahan sementara, dan ini telah dibuktikan oleh beberapa studi. Hasil penelitian Michael Keren (1983) dan Moshe Bzuonowski (1986) juga mengatakan bahwa bekal utama politisi untuk "menguasai" publik adalah popularitas dan intelektualitas. Namun, jika pemimpin ingin "tahan lama", intelektualitaslah yang harus dikedepankan, bukan popularitas belaka. Demikian pula Jean Laponce (1983) mengatakan, pemimpin yang populer berkat ide-idenya yang cemerlang dan cerdas, akan lebih tahan lama jika dibandingkan dengan mereka yang pandai beretorika belaka.

***

Agar masyarakat tidak pesimistis terhadap keadaan politik saat ini, dalam masyarakat pascaotoriter dibutuhkan suatu sistem politik yang mantap, yang tidak mendasarkan kepada kekuasaan, uang, dan jaringan birokrasi. Sistem politik yang mantap mestinya sudah sampai derajat self propelling tanpa harus didukung kaidah-kaidah kekuasaan, karena sistem yang demokratis sudah mengalami internalisasi.

Secara kualitatif masih perlu direnungkan apakah gaya kepemimpinan saat ini telah mencapai kristalisasi untuk menopang tata kehidupan politik jangka panjang yang mengejawantahkan nilai-nilai demokrasi? Apakah tata permainan politik sekarang ini secara formal telah disepakati bersama dan tecermin dalam perilaku para pejabat dan rakyat dalam kehidupan sehari-hari?

Jika tidak, negeri ini akan terus mengalami pemiskinan (struktural). Negeri yang miskin ini sekarang harus memboroskan anggaran karena membayari aparat negara dan wakil rakyat yang secara hakiki nyaris tidak ada gunanya. Munculnya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) atau Tim 8 TPF, misalnya, adalah akibat kurang berfungsinya dengan baik badan-badan negara lain, seperti BPKP, BPK, polisi, hakim, jaksa, aparat pemerintah, bahkan yang menamakan diri wakil rakyat.

Mestinya jika lembaga-lembaga negara yang disebut terakhir ini berjalan baik, uang negara sudah dijamin aman, sehingga tidak perlu dibentuk KPK yang bergaji mahal juga. Demikian pula keberadaan polisi dan jaksa. Rakyat rela membayar mahal gaji para pejabat negara dengan harapan mereka akan bekerja optimal.

Demikian pula para wakil rakyat yang dipilih dengan biaya sangat mahal, dan gaji juga supermahal, nyaris muspro (Jawa), karena mereka juga tidak dapat diharapkan kinerjanya untuk membawa amanah kepercayaan rakyat. Dalam kasus Cicak-Buaya ini tampak wajah asli mereka. Padahal, rakyat mengharapkan adanya satu gebrakan hebat untuk menghambat para koruptor merajalela.

Prof Soepomo pernah memperkenalkan istilah negara integralistik, yang intinya pemerintah mestinya seorang pemimpin yang sejati, yakni yang mampu menjadi penunjuk ke arah cita-cita bersama yang adil. Dengan demikian, ada keseimbangan antara makrokosmos dan mikrokosmos, serta ada kemanunggalan antara kawulo dan gusti.

Penyelenggara negara atau pemimpin sejati mesti rajin memeriksa denyut nadi masyarakat yang "mempekerjakannya" sebagai pemimpin, dan di ujungnya pemimpin harus memberi bentuk (gestaltung) kepada rasa keadilan dan cita-cita rakyat. Agar rakyat dapat digerakkan, harus tidak ada perbedaan yang berarti antara cita-cita rakyat dan cita-cita para pemimpin.

Jika rakyat sudah dilukai oleh pemimpinnya, rakyat akan marah dan tidak akan memercayainya dalam waktu lama. Di berbagai negara membuktikan bahwa gerakan rakyat yang marah luar biasa, seperti pada saat Revolusi Iran 1979, di Pilipina, di Thailand, dan kita juga mengalaminya pada Mei 1998 lalu.

Rakyat Indonesia kini yatim piatu, tanpa pemimpin, karena pemimpin sejati adalah: "Jika rumah terbakar, dia yang paling belakang menyelamatkan diri. Jika musuh datang menyerang, dia yang paling depan menyongsongnya. Jika panen berlimpah, dia yang paling belakangan menikmatinya" (Emha Ainun Nadjib). Yang terjadi di negeri ini sebaliknya. Ketika musuh datang menyerang, (para koruptor) dia paling belakang menyongsongnya. (*)

*). Saratri Wilonoyudho, esais, dosen Universitas Negeri Semarang

KPK Resmi Selidiki Anggodo

Agenda Pertama, Periksa Ari Muladi 

Desakan publik agar Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menangani secara khusus Anggodo Widjojo mulai direspons. Kemarin lembaga antikorupsi itu menegaskan telah memulai penyelidikan dugaan korupsi yang menyeret adik bos PT Masaro Radiokom Anggoro Widjojo itu.

Juru Bicara KPK Johan Budi S.P. mengungkapkan bahwa KPK telah meningkatkan status penanganan Anggodo Widjojo. ''Kami tegaskan bahwa penanganan Anggodo dalam status penyelidikan,'' jelasnya.

Surat perintah penyelidikan tersebut diteken pimpinan KPK kemarin pagi. ''Penyelidikan itu tentu terkait kasus korupsi,'' tambah pria kelahiran Mojokerto itu.

Dia menambahkan, saat ini KPK memiliki waktu yang cukup untuk menggali bukti-bukti dan memeriksa sejumlah saksi sebagai bahan untuk penyidikan. ''Kami belum bisa sharing bukti apa yang kami miliki. Sebab, status penyelidikan baru tadi (kemarin),'' ucapnya.

KPK sebenarnya sudah memiliki setumpuk bukti. Yang paling mencolok adalah rekaman penyadapan antara Anggodo Widjojo dan sejumlah aparat penegak hukum. Di antaranya, mantan Jamintel Wisnu Subroto, Wakil Jaksa Agung Abdul Hakim Ritonga, sejumlah penyidik Mabes Polri, hingga anggota Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) Ktut Sudiarsa. Rekaman itu disebut Mahkamah Konstitusi sebagai rekayasa kasus yang menyeret dua pimpinan KPK Chandra M. Hamzah dan Bibit Samad Riyanto.

Sebelumnya, KPK telah menggandeng kepolisian untuk berkoordinasi terkait kasus itu. Wakabareskrim Irjen Pol Dikdik Mulyana Arif secara khusus mendatangi lembaga itu untuk membicarakan penanganan kasus yang menyita perhatian publik tersebut.

KPK dan Polri memilah mana saja yang bisa ditangani masing-masing lembaga tersebut. Saat itu juga beredar kabar bahwa kepolisian menyerahkan berkas perkara Anggodo ke KPK. Namun, KPK masih maju mundur menentukan sikap terkait penanganan kasus itu.

Dalam penyelidikan hari pertama kemarin, KPK juga mengagendakan pemeriksaan terhadap Ari Muladi. Ari disebut-sebut menyetorkan uang Anggoro kepada pimpinan KPK. ''Kami memanggil Ari juga terkait penyelidikan (Anggodo) ini,'' ucap Johan.

Ari mendatangi gedung KPK sekitar pukul 14.00. Dia ditemani dua pengacaranya, Sugeng Teguh Santosa dan Petrus Celestinus. ''Saya tak tahu mau dimintai keterangan apa oleh penyelidik,'' jelasnya saat akan masuk gedung KPK. Pemeriksaan Ari berlangsung satu jam di lantai 7 gedung tersebut.

Setelah pemeriksaan, Sugeng mengutarakan sedikit kekesalannya terkait penanganan kasus itu. Semula saat mendatangi KPK, Sugeng berpikir bahwa kliennya diperiksa terkait laporannya ke lembaga itu.

Kala itu Sugeng dan Ari mengadukan upaya mencegah, menghalangi, dan menggagalkan suatu penyelidikan tindak pidana korupsi yang melibatkan Anggodo. Itu diatur dalam pasal 21 UU Pemberantasan Tipikor. Pelanggar pasal tersebut diancam minimal 3 tahun dan maksimal 12 tahun penjara. ''Saya kaget ternyata Pak Ari diperiksa terkait kasus percobaan penyuapan,'' jelas Sugeng.

Karena itu, dia meminta penyelidik memeriksa ulang kliennya terkait laporannya tersebut. ''Untunglah, petugas menyetujui dan Pak Ari akan diperiksa lagi Senin pagi (30/11),'' ucapnya. Janjinya, penyelidik membuat surat penyelidikan baru yang dijadikan satu dengan langkah KPK.

Menurut Sugeng, percobaan penyuapan dalam kasus Anggodo tersebut adalah upaya lempar handuk kepolisian kepada KPK. ''Penanganan kasus itu juga belum memiliki segmen yang luas. Lempar handuk itu ada upaya melindungi penegak hukum lain yang terlibat,'' tuturnya.

Apabila mengacu pada laporannya terkait upaya menghalangi penyidikan korupsi, itu justru bisa digunakan KPK sebagai pintu masuk membersihkan aparat penegak hukum. Sebab, siapa pun yang terlibat di sana bisa dimintai pertanggungjawaban. ''Saya kira pimpinan KPK juga harus jujur terkait masalah ini,'' tambahnya.

Nonaktifkan Anggota LPSK

Kemarin Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) juga menonaktifkan dua anggotanya yang diduga terlibat skandal rekaman yang diputar di Mahkamah Konstitusi (MK). Mereka adalah Ktut Sudiarsa dan Myra Diarsi. Ketua LPSK Abdul Haris Semendawai mengungkapkan, penonaktifan dua anggota lembaga perlindungan itu berlaku sampai komite etik yang dibentuk menjatuhkan sanksi bagi mereka berdua.

LPSK juga telah membentuk komite etik terkait kasus itu. Komite itu beranggota lima orang. Mereka adalah dua orang dari LPSK, Teguh Sudarsono dan Sindu Krisno, dan tiga orang lagi berasal dari tiga unsur, yakni akademisi, wakil pemerintah, dan praktisi hukum. Namun, LPSK belum menyebutkan siapa tiga orang yang dilibatkan itu.

''Penonaktifan itu sampai ada keputusan komite etik,'' jelas Abdul Haris. Apabila terbukti melanggar kode etik, Ktut dan Myra terancam pemecatan.

Sumber : www.jawapos.com

PPATK Temukan Puluhan Transaksi Mencurigakan


Aliran dana talangan atau bailout Bank Century Rp 6,7 triliun, tampaknya, harus diusut tuntas. Sebab, Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) telah menemukan sedikitnya 50 transaksi mencurigakan.

Kepala PPATK Yunus Husein menyatakan, sesuai permintaan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) agar pihaknya membantu menelusuri aliran dana bailout Bank Century, PPATK sudah menindaklanjuti dengan meminta informasi kepada 16 penyedia jasa keuangan (PJK), terutama perbankan.

''Hasilnya, hingga 23 November 2009, telah diterima sekitar 50 laporan transaksi keuangan mencurigakan (LKTM) dari 10 PJK,'' ujarnya dalam keterangan pers kemarin (26/11).

Menurut dia, hasil analisis terhadap transaksi mencurigakan tersebut sudah diserahkan kepada BPK. ''Hasil analisis menunjukkan, setidaknya 17 penerima (dari transaksi mencurigakan) berupa perusahaan dan lainnya individu,'' ungkapnya.

Yang dimaksud transaksi keuangan mencurigakan atau suspicious transaction adalah transaksi yang menyimpang dari kebiasaan atau tidak wajar dan tidak selalu terkait dengan tindak pidana tertentu.

Beberapa ciri transaksi mencurigakan adalah tidak memiliki tujuan ekonomis dan bisnis yang jelas, menggunakan uang tunai dalam jumlah relatif besar, dan/atau dilakukan secara berulang-ulang di luar kewajaran serta di luar kebiasaan dan kewajaran aktivitas transaksi nasabah.

Berdasar data PPATK, beberapa modus transaksi yang kemudian diidentifikasi mencurigakan adalah tren pencucian uang dalam kasus penipuan melalui penggunaan identitas palsu dalam pembukaan rekening di bank. Lalu, tren baru seperti pembelian aset berharga dan penempatan investasi pada financial market.

Yunus mengungkapkan, sesuai permintaan BPK yang disampaikan melalui tiga surat kepada PPATK, BPK meminta informasi mengenai aliran dana keluar serta maksud dan tujuan penggunaan dari rekening pihak-pihak yang terkait dengan kasus Bank Century, baik Bank Century ke rekening di bank lain atas nama pihak-pihak tertentu. ''Ini melibatkan 124 transaksi yang terkait dengan lebih dari 50 nasabah,'' ujarnya.

Dia menyatakan, PPATK juga sudah empat kali bertemu BPK pada 16 September 2009, 2 Oktober 2009, serta 6 dan 9 November 2009. ''Saat koordinasi itu, karena keterbatasan waktu audit BPK, disepakati permintaan BPK (untuk menelusuri aliran dana) hanya sampai 2-3 lapis aliran dana dari Bank Century,'' jelasnya.

Yunus juga meluruskan opini yang saat ini berkembang bahwa ada tujuh lapis aliran dana dari Bank Century. Menurut dia, yang benar adalah tujuh kali lapis aliran dana berarti tujuh kali perpindahan dana dari satu bank ke bank lain sampai perpindahan ke tujuh bank lainnya. Pada perpindahan kedua dan selanjutnya, aliran dana bisa jadi bercabang, sehingga penelusuran bisa dilakukan pada lebih dari tujuh bank/penyedia jasa keuangan saja.

Karena itu, lanjut dia, penelusuran dana memang bukan perkara mudah. Sebab, untuk mendapatkan satu lapis aliran dana saja, permintaan data kepada penyedia jasa keuangan memerlukan waktu beberapa minggu.

''Perlu diingat, PPATK tidak memiliki akses online terhadap database penyedia jasa keuangan. Karena itu, penelusuran aliran dana harus melalui mekanisme permintaan informasi kepada PJK yang tentunya memerlukan waktu,'' paparnya.

Yunus juga mengklarifikasi usul pembuatan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu) agar BPK bisa mendapatkan data dari PPATK. Menurut dia, langkah PPATK dalam memenuhi permintaan BPK telah berdasar pada UU No 15 Tahun 2002 sebagaimana diubah dengan UU No 25 Tahun 2003 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang (UU TPPU).

''Dengan demikian, kami ingin mempertegas bahwa PPATK dapat memberikan informasi kepada BPK sesuai undang-undang yang berlaku saat ini, sehingga pengusulan perppu tidak diperlukan,'' tegasnya.

Meski demikian, Yunus mengakui, PPATK maupun penerima data aliran dana tetap tidak bisa memublikasikan hasil penelusuran dana. Sebab, ada larangan dan batasan dalam pasal 10A dan 17A UU TPPU.

Sementara itu, Kepala Eksekutif Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) Firdaus Djaelani kembali menegaskan bahwa tidak ada dana bailout Bank Century yang mengalir ke partai politik tertentu atau pasangan calon presiden tertentu. ''Saya tegaskan, tidak satu sen pun dana yang disetorkan ke parpol atau tim sukses capres,'' ujarnya saat press briefing kinerja Bank Mutiara (eks Bank Century) di kantor pusat Bank Mutiara, Jakarta, kemarin.

Saat ini, LPS menjadi pemegang saham Bank Mutiara setelah menyuntikkan dana bailout Rp 6,7 triliun. Namun, Firdaus menyatakan, pihaknya hanya bisa mengawasi sebatas dana keluar dari Bank Century atau Bank Mutiara.

''Yang jelas, kalau dana dari Bank Mutiara, saya pastikan clear. Tapi, tentu kami tidak tahu apakah setelah ditransfer dari Bank Mutiara ke bank lain, kemudian dana itu ditransfer ke mana-mana lagi hingga ke rekening siapa. Yang bisa menelusuri itu kan PPATK,'' paparnya.

Direktur Utama Bank Mutiara Maryono menambahkan, di antara total dana talangan Rp 6,7 triliun, ada sekitar Rp 4 triliun yang ditarik nasabah pada periode 21 November hingga Desember 2008. ''Sisanya masih ada di instrumen SUN (surat utang negara), SBI (sertifikat Bank Indonesia), serta Fasbi (fasilitas simpanan Bank Indonesia),'' ujarnya.

Di antara Rp 4 triliun yang ditarik keluar tersebut, total Rp 2,2 triliun ditarik oleh 8.250 nasabah kecil (nilai simpanan di bawah Rp 2 miliar). Sebanyak Rp 1,8 triliun lainnya ditarik 328 nasabah besar yang rata-rata penarikannya mencapai Rp 5,6 miliar per nasabah. ''Yang narik besar-besar malah BUMN,'' katanya.

Namun, sebagian nasabah besar tersebut tidak serta-merta menarik dananya dalam jumlah besar. Sebab, dalam wawancara sebelumnya (20/11) dengan Jawa Pos, Maryono menyebutkan, di antara total dana nasabah yang ditarik, penarikan pada periode 21 November-Desember dalam jumlah lebih dari Rp 2 miliar dalam sekali transaki hanya Rp 890 miliar. Dengan demikian, beberapa nasabah besar menarik dalam jumlah kecil atau kurang dari Rp 2 miliar.

Bagaimana dengan kemungkinan modus pemecahan rekening nasabah besar menjadi rekening-rekening kecil dengan simpanan maksimal Rp 2 miliar? Misalnya, yang dilakukan manajemen lama atas dana Boedi Sampoerna USD 42,8 juta yang dipecah menjadi 247 deposito dengan nilai masing-masing Rp 2 miliar.

Direktur Treasury & International Banking Bank Mutiara Ahmad Fajar menegaskan, tindakan akal-akalan tersebut dilakukan oleh manajemen lama dan tidak pernah dilakukan manajemen baru. ''Jadi, sejak diambil alih LPS, semua transaki selalu tercatat dan akuntabel,'' tegasnya. 
 
www.jawapos.com

Kamis, 26 November 2009

Pidato Multitafsir Presiden SBY



Oleh: Hasrul Halili

ANTIKLIMAKS, barangkali, merupakan ungkapan yang tepat dinisbatkan kepada pidato Presiden SBY pasca dikeluarkannya Laporan dan Rekomendasi Tim Independen Verifikasi Fakta dan Proses Hukum atau yang dikenal dengan Tim 8. Berbeda dengan laporan dan rekomendasi Tim 8 yang diapresiasi banyak pihak sebagai masukan yang bernas dan progresif, tanggapan SBY terhadap rekomendasi itu justru menimbulkan polemik baru karena dianggap multitafsir, bahkan terkesan membingungkan.

Jika rekomendasi bernas Tim 8 menutup peluang untuk ditafsirkan lain, pidato SBY justru berpotensi menimbulkan komplikasi masalah baru. Terutama karena pidatonya berpotensi ditafsirkan secara manipulatif oleh pihak-pihak yang terkait langsung, seperti kepolisian dan kejaksaan.

Berdasar reaksi masyarakat yang di-release di media massa, pidato SBY hanya dipandang jelas terkait penghentian proses hukum Bibit dan Chandra. Itu pun disertai indikasi penyelesaian model out of court settlement, sebagaimana dipopulerkan SBY sehari sebelumnya, sesuatu yang kemudian menjadi kontroversi, mengingat istilah tersebut tidak lazim dipakai dalam hukum acara pidana.

Berbagai spekulasi muncul terhadap ketidakparalelan antara pidato SBY dan rekomendasi Tim 8 tersebut. Salah satunya adalah track record politik SBY selama ini yang sering terlihat gamang dalam membuat keputusan penting yang berdampak luar biasa terhadap kehidupan berbangsa dan bernegara.

Menurut hemat penulis, situasi tidak ''gayung bersambut" antara presiden dan Tim 8, antara lain, disebabkan ''ketidaktepatan bacaan" presiden terhadap kerangka logis dan sistematika rekomendasi Tim 8, yang secara lugas disampaikan Anies Baswedan (salah seorang anggota Tim 8) dalam wawancara dengan salah satu televisi swasta sebelum pidato presiden disampaikan.

Kurang lebih Anies Baswedan waktu itu mengingatkan bahwa untuk membaca laporan dan rekomendasi Tim 8, dibutuhkan pembacaan yang utuh, terutama terhadap kerangka logis dan sistematika yang mendasarinya. Kerangka logis dan sistematika itulah sebenarnya yang menjadi dasar seluruh konstruksi rekomendasi, dari hal-hal yang sangat substansial sampai dengan tata urutan rekomendasi yang kelihatannya sepele.

Penjelasan yang dikemukakan Anies Baswedan setidaknya memberikan hint penting. Bukan hanya urutan rekomendasi yang sedapat-dapatnya dihindarkan dari pembolak-balikan urutan, tetapi juga mengakomodasi sebagian dan mengacuhkan yang lain, bisa mengakibatkan rusaknya konstruksi bangunan rekomendasi secara keseluruhan.

Berdasar keterangan Anies Baswedan serta bacaan terhadap dokumen, kerangka logis dan sistematika laporan dan rekomendasi Tim 8 tersusun sebagai berikut. Pertama, penghentian proses hukum terhadap Bibit dan Chandra. Kedua, penjatuhan sanksi terhadap sejumlah pejabat yang bertanggung jawab dalam proses hukum yang dipaksakan terhadap Bibit dan Chandra, yang kemudian disarankan juga untuk ditindaklanjuti dengan reposisi personel dan reformasi institusional di kepolisian, kejaksaan, KPK, dan LPSK.

Ketiga, merefleksikan kasus Bibit dan Chandra, yang dikeruhkan dengan indikasi terlibatnya sejumlah aparat penegak hukum, yang disarankan dikenakan sanksi sebagaimana dicantumkan dalam rekomendasi nomor 2, Tim 8 kemudian merekomendasikan presiden untuk menuntaskan persoalan mafia peradilan, dengan melakukan prioritas program operasi pemberantasan makelar kasus (markus) di semua lini lembaga peradilan.

Keempat, setelah tiga rekomendasi sebelumnya, barulah Tim 8 masuk ke rekomendasi berikutnya, yaitu saran untuk penanganan kasus-kasus lainnya yang terkait, seperti kasus korupsi Masaro, proses hukum terhadap Susno Duadji dan Lucas terkait dana Budi Sampoerna di Bank Century, serta kasus pengadaan SKRT Departemen Kehutanan.

Kelima, saran Tim 8 kepada presiden untuk membentuk Komisi Negara yang akan mengoordinasi dan menyinergikan program menyeluruh untuk pembenahan lembaga-lembaga hukum.

Dari lima point tersebut terbaca, sistematika kerangka logis rekomendasi Tim 8 dimulai dari saran penghentian kasus pemicu utamanya, yaitu kasus Bibit dan Chandra, penuntasan kasus-kasus terkait, serta penindakan terhadap personel yang diduga terlibat dalam skenario pemaksaan proses hukum Bibit dan Chandra. Setelah itu, rekomendasi yang terkait dengan aspek kelembagaan berupa saran untuk pemberantasan mafia peradilan dan reformasi institusional yang bermuara pada dibentuknya sebuah Komisi Negara yang akan mengoordinasikan semua proses reformasi lembaga penegakan hukum.

Dengan mendedahkan kerangka logis dan sistematika rekomendasi Tim 8 di hadapan pidato SBY, terlihat bahwa respons SBY terhadap persoalan ''konflik" antarlembaga penegakan hukum, walau pada titik tertentu pararel atau berbasis rekomendasi Tim 8, secara mendasar sebenarnya gagal menangkap esensi terdalam rekomendasi itu. Adalah benar bahwa SBY, selain mengindikasikan pemberhentian proses hukum Bibit dan Chandra, juga mengemukakan hal-hal lain, seperti pernyataan komitmen pengusutan kasus Century dan reformasi bidang penegakan hukum. Tetapi, itu semua disampaikan dengan sporadis, tidak dibingkai dalam suatu penjelasan yang sistematis, dan yang terpenting, sebangun dengan kerangka logis dan sistematika rekomendasi Tim 8.

Kini, sebuah pertanyaan besar kembali menggelayut di benak masyarakat, benarkah ''ketidaktepatan bacaan" SBY atas rekomendasi yang terjadi? Atau sebenarnya SBY gamang menindaklanjuti beberapa point rekomendasi yang terlihat sangat progresif, yang jika diakomodasi, bisa menimbulkan reaksi balik (fight back) dari sejumlah institusi penegakan hukum yang selama ini sudah sangat terpojok dalam prahara penegakan hukum ini?

Yang jelas, apa pun jawaban yang benar di balik itu, drama perseteruan KPK versus Polri dan Kejaksaan Agung, yang begitu ''bergelora" pascarekomendasi Tim 8, menjadi antiklimaks oleh pidato Presiden SBY.

*). Hasrul Halili , kepala Divisi Korupsi dan Peradilan Pusat Kajian Antikorupsi dan dosen FH UGM

 
jawapos.com

Kotak Hitam Demokrasi


Oleh : Ahmad Nyarwi

PENJELASAN dan rekomendasi kebijakan yang disampaikan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) terkait dugaan kriminalisasi KPK dan skandal Bank Century masih menyisakan beragam ketidakpuasan banyak pihak. Yang ditunggu-tunggu publik ternyata tidak sesuai dengan harapan. Banyak pihak yang kecewa dengan penjelasan normatif tersebut. Sebab, yang disampaikan Presiden SBY dinilai tidak konsisten dengan statemen sebelumnya ketika presiden melakukan pertemuan dengan sejumlah pimpinan media massa nasional Minggu, 22 November 2009.

Penyelidikan kasus dugaan kriminalisasi KPK dan skandal Bank Century mencerminkan betapa sulitnya transpansi dan akuntabilitas penegakan hukum di negeri ini. Bisa dibayangkan jika nanti Tim Delapan tidak membeberkan temuannya secara terbuka. Jika presiden juga tidak mampu memberikan klarifikasi secara terbuka terkait dugaan kriminalisasi KPK dan DPR benar-benar tidak mampu menggulirkan hak angket skandal Bank Century, demokrasi kita akan terus mengalami kemunduran.

Demokrasi tidak lagi mampu mekar karena sikap elite yang cenderung tertutup. Tanpa adanya UU Rahasia Negara pun, rezim kerahasiaan kian telanjang dipraktikkan oleh elite. Nilai-nilai demokrasi segera runtuh karena tersedot dalam kotak hitam sang penguasa.

Kotak Hitam

Dugaan kriminalisasi KPK dan skandal Bank Century hanyalah salah satu kasus di balik perilaku tidak transparan para elite penyelengara pemerintahan di negeri ini. Problem penyalahgunaan wewenang dalam penyelenggaraan kekuasaan yang lain tentunya lebih banyak dan beragam. Maka, benar jika sebagian pengamat meyakini bahwa kasus dugaan kriminalisasi KPK dan skandal Bank Century hanyalah kotak pandora belaka. Sebab, transaksi kekuasaan masih terus berlangsung dalam lorong-lorong gelap rimba raya sistem politik dan pemerintahan di negeri ini.

Almond dan Verba (1967) meyakini bahwa dalam sebuah sistem politik, ada area interaksi kekuasaan yang tidak dapat diketahui publik secara telanjang. Ruang itulah yang kemudian disebut black box (kotak hitam). Skala fluktuasi kotak hitam tentu saja ada mulai sistem politik dalam pemerintah daerah hingga pemerintah pusat. Selain itu, kotak hitam itu juga terus eksis di berbagai institusi politik dan pemerintahan.

Eksistensi kotak hitam dalam sebuah sistem politik akan sangat dipengaruhi dua hal. Pertama, watak dan karakter rezim politik yang berkuasa. Ketika sebuah rezim politik dan pemerintahan semakin bersifat otoriter dan tertutup, kotak hitam itu pun semakin luas. Sebaliknya, jika sebuah rezim politik dan pemerintahan semakin demokratis dan transparan serta akuntabel, kotak itu pun bakal menyempit.

Kedua, eksistensi kotak hitam juga dipengaruhi watak dan perilaku para aktor yang berkuasa dalam sebuah rezim politik dan pemerintahan. Jika para aktor memiliki watak yang transparan dan akuntabel, kotak hitam itu pun akan semakin sempit. Sebaliknya, jika para aktor yang berkuasa tersebut memiliki watak yang cenderung otoriter dan tertutup, kotak hitam itu akan meluas.

Di negara mana pun, pintu masuk kepentingan ekonomi-politik dan kepentingan yang lain dari para mafia selalu tak tersentuh karena berlangsung di balik dinding tebal kotak hitam tersebut. Rezim politik bahkan adakalanya tidak mampu menguasai arena transaksi kekuasaan yang berlangsung di ruang tersebut. Lebih berbahaya lagi adalah jika para mafia mampu mengendalikan para aktor dan rezim politik yang berkuasa melalui remote control yang digerakkan dalam ruang kotak hitam sistem politik kita.

Butuh Transparansi

Indonesia telah menobatkan diri sebagai negara demokratis. Presiden juga telah dipilih melalui jalan demokrasi. Keberanian dan ketegasan presiden sangat dibutuhkan. Sebab, presiden memililiki legitimasi yang sangat kuat. Sudah jelas, di dalam UUD 1945 ditegaskan bahwa presiden tidak hanya kepala pemerintahan. Namun, presiden juga telah dinobatkan sebagai kepala negara. Presiden tidak hanya memiliki area kekuasaan di level eksekutif. Namun, presiden juga memiliki area kekuasaan di level legislatif yang melekat secara bersamaan.

Saya yakin, Presiden SBY memiliki komitmen yang kuat terhadap peningkatan kualitas demokrasi di negeri ini. Karena itu, Presiden SBY mestinya harus lebih berani membongkar dan mempersempit transaksi gelap kekuasaan dan jual beli keadilan yang berlangsung di balik kotak hitam politik negeri ini. Resistan memang datang dari berbagai aktor yang berkepentingan. Namun, dengan kekuasaan yang sangat besar, presiden memiliki otoritas yang memadai.

Jika transparansi dan akuntabilitas tidak bisa ditegakkan, reformasi birokrasi jelas-jelas telah menemui kegagalan. Jika ini yang terjadi, akan terus menjadi mimpi buruk dalam sejarah demokrasi kita. Sebuah panggung sejarah demokratisasi tanpa keadilan.

Demokrasi akan meningkat secara substantif jika rezim politik dan pemerintahan dan juga para aktor di dalamnya memiliki komitmen serius untuk mempersempit arena transaksi kekuasaan yang berlangsung dalam kotak hitam tersebut. Di sinilah kemudian transparansi dan akuntabilitas dalam penyelenggaraan kekuasaan di mana pun tempatnya sangat dibutuhkan.

Jelas, publik tidak mampu menembus kotak hitam dalam sistem politik kita. Padahal, sangat banyak arena transaksi kekuasaan yang terus berlangsung dalam kotak hitam itu. Hanya para pimpinan rezim politiklah yang mampu membongkar apa saja yang terjadi dalam kotak hitam tersebut. (*)

*). Ahmad Nyarwi, staf pengajar Program Pascasarjana Jurusan Ilmu Komunikasi Fisipol UGM, Jogjakarta

 
jawapos.com

Rabu, 25 November 2009

Sipil Melawan Korupsi

Oleh Suripto, Staf Pengajar di Univeritas Muhammadiyah Ponorogo dan STIT
Muhammadiyah Tulungagung; aktifis Pemuda Muhammadiyah Jawa Timur
Pemerintahan baru telah terbentuk. Salah satu pekerjaan rumah yang paling
berat adalah memberantas korupsi. Dan kerja ini terbukti tidak mudah
dilakukan oleh pemerintahan periode sebelumnya (2004-2009). Presiden
Yudoyono yang terpilih untuk kedua kalinya ini telah menggembar-gemborkan
janji di kampanye baik kampanye pemilu 2004 maupun 2009.
Selama periode kepemimpinannya, Yudoyono (waktu itu bersama Jusuf Kalla)
tidak cukup mengecewakan, terbukti dengan ditangkap dan diadilinya beberapa
koruptor kelas kakap, yang salah satunya juga besan-nya sendiri, Aulia
Pohan. Tetapi apakah upaya pemberantasan korupsi di masa depan akan
meningkat?
Jawabannya belum tentu. Terlalu dramatis untuk mengatakan bahwa
pemberantasan korupsi periode sebelum pemilu 2009 ini adalah buah dari
kebijakan atau kepemimpinan Yudoyono. Karena yang selama ini paling getol
getol melakukan pemberantasan korupsi adalah KPK (Komisi Pemberantasan
Korupsi) yang notabene adalah buah dari gerakan demokrasi. Gagasan
berdirinya KPK adalah tuntutan sejarah di mana sejak Orde Baru tumbang (Mei
1998) rakyat bergerak dan menuntut para koruptor ditangkap dan diadili. Kita
masih ingat bagaimana rakyat berdemo di kantor-kantor kelurahan, kecamatan,
di kecamatan, kabupaten, hingga pusat. Banyak kepala desa dan aparatnya,
pejabat-pejabat di tingkat kecamatan, kota, dan kabupaten, propinsi, hingga
pusat harus “turun tahta” karena gerakan massa memaksa para koruptor untuk
turun jabatan dan diseret di penjara.
Kemudian banyak kalangan yang mulai serius untuk mencari alternatif
kelembagaan bagaimana caranya memberantas korupsi pada level yang lebih
besar yang biasanya jarang sersentuh rakyat. Karenanya lahirlah KPK sebagai
tuntutan rakyat yang dulunya menguat.
Lalu apakah dengan berdirinya KPK gerakan rakyat untuk melawan korupsi
menuru? Memang ada penurunan secara kualitas dan kuantitas. Meskipun
belakangan terjadi aksi yang meluas untuk mendukung KPK setelah ada
anasir-anasir politik bahwa lembaga ini akan
diperlemahkan gara-gara tiga orang pimpinannya terkena kasus penyalahgunaan
wewenang. Demo di berbagai daerah untuk mendukung KPK ternyata cukup luas,
demikian juga demo yang menuntut kasus Bank Century yang konon juga
melibatkan jajaran kabinet SBY.
Sekarang kita hidup di negara di mana pemerintah dan elit-elitnya mengamini
pasar bebas (neoliberalisme), yang meningkatkan budaya konsumen (pola hidup
boros) bukan hanya di kalangan remaja tetapi juga kalangan elit. Gaya hidup
boros dan konsumtif ini tampak sekali dapat dilihat dari kegemaran para
anggota DPR yang suka “ngluyur” ke luar negeri dengan alasan studi banding
atau dinas, budaya rapat yang mengabiskan biaya dan maunya dijamu seperti
pesta dan raja. Karenanya tak heran jika uang negara habis untuk politik
berbiaya tinggi dan boros ini. Baik pemilu nasional maupun pilkadal
(pemilihan kepala daerah) yang sangat boros dan menghabiskan banyak dana.
Tak heran jika Ketua Umum PBNU (Pengurus Besar Nahdlatul Ulama) pernah
mengusulkan agar pilkadal dihapuskan saja dan diganti dengan mekanisme
dipilih oleh DPRD.
Inilah repotnya Neoliberalisme yang meningkatkan ketimpangan sosial, kaum
modal dan elit kian kaya sedangkan rakyat kian menderita. Dalam tatanan
sosial yang menguntungkan segelintir orang yang bersenang-senang di atas
penderitaan mayoritas rakyat miskin, upaya membersihkan dan mendemokratiskan
kekuasaan adalah hal yang sangat sulit. Tatanan material masyarakat yang
sudah mengalami industrialisasi (modern) tetapi secara pemikiran masih
feodal tidak menyediakan syarat-syarat bagi relasi sosial yang demokratis,
transparan, dan bersih dari kasak-kusuk atau kongkalikong pihak-pihak yang
ingin memanfaatkan keadaan.
Selain semakin kuatnya budaya feudal yang sama-sama menindasnya dengan
tatanan kapitalis. Korupsi adalah kelanjutan sejarah kaum priyayi yang harus
terus menyogok atasannya dan menginjak lapisan bawahnya, menjilat, demi
mengamankan posisi dan kemakmurannya, seperti Sastrokassier menyogok Asisten
Residen dengan menjual Sanikem (yang kemudian dikenal dengan Nyai
Ontosoroh), anaknya sendiri—dalam novel “*Bumi Manusia*” karya Pramoedya
Ananta Toer. Lebih dari soal mentalitas, korupsi berkaitan dengan rendahnya
produktivitas bangsa. Korupsi adalah tentang pemimpin, birokrasi, dan rakyat
yang (tidak difasilitasi) kapasitasnya untuk semakin produktif, yang nihil
semangat untuk menghargai kerja, yang minim etos kerja. Dalam globalisasi
neo-liberal, saat kaum imperialis sedang gencar-gencarnya menggempur dan
melakukan ekspansi konsumerisme di mana Indonesia hendak dijadikannya tempat
melempar barang-barang over-produksinya, makin menjadi perilaku korup ini.
Partisipasi aktif dalam masalah negara sebagai keseluruhan dan
masalah-masalah pemerintah secara kemasyarakatan, juga terhadap
perusahaan-perusahaan besar (kapitalis), memerlukan formasi
kelompok-kelompok yang di dalamnya terjadi proses saling memberi informasi,
perdebatan dan pembuatan keputusan yang diperlukan. Harus ada informasi yang
objektif dan relevan yang merupakan dasar bagi setiap orang untuk memiliki
gambaran jelas dan akurat mengenai persoalan-persoalan mendasar yang harus
diberikan kepada setiap kelompok. Yang perlu diingat adalah bahwa informasi
dan debat akan tetap mandul dan impoten jika kelompok masyarakat tidak
memiliki hak untuk membuat keputusan-keputusan dan atau jika
keputusan-keputusan itu tidak diterjemahkan ke dalam proses sosial yang
nyata.*** Sipill Melawan Korupsi
Oleh Suripto, Staf Pengajar di Univeritas Muhammadiyah Ponorogo dan STIT
Muhammadiyah Tulungagung; aktifis Pemuda Muhammadiyah Jawa Timur
Pemerintahan baru telah terbentuk. Salah satu pekerjaan rumah yang paling
berat adalah memberantas korupsi. Dan kerja ini terbukti tidak mudah
dilakukan oleh pemerintahan periode sebelumnya (2004-2009). Presiden
Yudoyono yang terpilih untuk kedua kalinya ini telah menggembar-gemborkan
janji di kampanye baik kampanye pemilu 2004 maupun 2009.
Selama periode kepemimpinannya, Yudoyono (waktu itu bersama Jusuf Kalla)
tidak cukup mengecewakan, terbukti dengan ditangkap dan diadilinya beberapa
koruptor kelas kakap, yang salah satunya juga besan-nya sendiri, Aulia
Pohan. Tetapi apakah upaya pemberantasan korupsi di masa depan akan
meningkat?
Jawabannya belum tentu. Terlalu dramatis untuk mengatakan bahwa
pemberantasan korupsi periode sebelum pemilu 2009 ini adalah buah dari
kebijakan atau kepemimpinan Yudoyono. Karena yang selama ini paling getol
getol melakukan pemberantasan korupsi adalah KPK (Komisi Pemberantasan
Korupsi) yang notabene adalah buah dari gerakan demokrasi. Gagasan
berdirinya KPK adalah tuntutan sejarah di mana sejak Orde Baru tumbang (Mei
1998) rakyat bergerak dan menuntut para koruptor ditangkap dan diadili. Kita
masih ingat bagaimana rakyat berdemo di kantor-kantor kelurahan, kecamatan,
di kecamatan, kabupaten, hingga pusat. Banyak kepala desa dan aparatnya,
pejabat-pejabat di tingkat kecamatan, kota, dan kabupaten, propinsi, hingga
pusat harus “turun tahta” karena gerakan massa memaksa para koruptor untuk
turun jabatan dan diseret di penjara.
Kemudian banyak kalangan yang mulai serius untuk mencari alternatif
kelembagaan bagaimana caranya memberantas korupsi pada level yang lebih
besar yang biasanya jarang sersentuh rakyat. Karenanya lahirlah KPK sebagai
tuntutan rakyat yang dulunya menguat.
Lalu apakah dengan berdirinya KPK gerakan rakyat untuk melawan korupsi
menuru? Memang ada penurunan secara kualitas dan kuantitas. Meskipun
belakangan terjadi aksi yang meluas untuk mendukung KPK setelah ada
anasir-anasir politik bahwa lembaga ini akan
diperlemahkan gara-gara tiga orang pimpinannya terkena kasus penyalahgunaan
wewenang. Demo di berbagai daerah untuk mendukung KPK ternyata cukup luas,
demikian juga demo yang menuntut kasus Bank Century yang konon juga
melibatkan jajaran kabinet SBY.
Sekarang kita hidup di negara di mana pemerintah dan elit-elitnya mengamini
pasar bebas (neoliberalisme), yang meningkatkan budaya konsumen (pola hidup
boros) bukan hanya di kalangan remaja tetapi juga kalangan elit. Gaya hidup
boros dan konsumtif ini tampak sekali dapat dilihat dari kegemaran para
anggota DPR yang suka “ngluyur” ke luar negeri dengan alasan studi banding
atau dinas, budaya rapat yang mengabiskan biaya dan maunya dijamu seperti
pesta dan raja. Karenanya tak heran jika uang negara habis untuk politik
berbiaya tinggi dan boros ini. Baik pemilu nasional maupun pilkadal
(pemilihan kepala daerah) yang sangat boros dan menghabiskan banyak dana.
Tak heran jika Ketua Umum PBNU (Pengurus Besar Nahdlatul Ulama) pernah
mengusulkan agar pilkadal dihapuskan saja dan diganti dengan mekanisme
dipilih oleh DPRD.
Inilah repotnya Neoliberalisme yang meningkatkan ketimpangan sosial, kaum
modal dan elit kian kaya sedangkan rakyat kian menderita. Dalam tatanan
sosial yang menguntungkan segelintir orang yang bersenang-senang di atas
penderitaan mayoritas rakyat miskin, upaya membersihkan dan mendemokratiskan
kekuasaan adalah hal yang sangat sulit. Tatanan material masyarakat yang
sudah mengalami industrialisasi (modern) tetapi secara pemikiran masih
feodal tidak menyediakan syarat-syarat bagi relasi sosial yang demokratis,
transparan, dan bersih dari kasak-kusuk atau kongkalikong pihak-pihak yang
ingin memanfaatkan keadaan.
Selain semakin kuatnya budaya feudal yang sama-sama menindasnya dengan
tatanan kapitalis. Korupsi adalah kelanjutan sejarah kaum priyayi yang harus
terus menyogok atasannya dan menginjak lapisan bawahnya, menjilat, demi
mengamankan posisi dan kemakmurannya, seperti Sastrokassier menyogok Asisten
Residen dengan menjual Sanikem (yang kemudian dikenal dengan Nyai
Ontosoroh), anaknya sendiri—dalam novel “*Bumi Manusia*” karya Pramoedya
Ananta Toer. Lebih dari soal mentalitas, korupsi berkaitan dengan rendahnya
produktivitas bangsa. Korupsi adalah tentang pemimpin, birokrasi, dan rakyat
yang (tidak difasilitasi) kapasitasnya untuk semakin produktif, yang nihil
semangat untuk menghargai kerja, yang minim etos kerja. Dalam globalisasi
neo-liberal, saat kaum imperialis sedang gencar-gencarnya menggempur dan
melakukan ekspansi konsumerisme di mana Indonesia hendak dijadikannya tempat
melempar barang-barang over-produksinya, makin menjadi perilaku korup ini.
Partisipasi aktif dalam masalah negara sebagai keseluruhan dan
masalah-masalah pemerintah secara kemasyarakatan, juga terhadap
perusahaan-perusahaan besar (kapitalis), memerlukan formasi
kelompok-kelompok yang di dalamnya terjadi proses saling memberi informasi,
perdebatan dan pembuatan keputusan yang diperlukan. Harus ada informasi yang
objektif dan relevan yang merupakan dasar bagi setiap orang untuk memiliki
gambaran jelas dan akurat mengenai persoalan-persoalan mendasar yang harus
diberikan kepada setiap kelompok. Yang perlu diingat adalah bahwa informasi
dan debat akan tetap mandul dan impoten jika kelompok masyarakat tidak
memiliki hak untuk membuat keputusan-keputusan dan atau jika
keputusan-keputusan itu tidak diterjemahkan ke dalam proses sosial yang
nyata.***

Terkait Laporan KAI, Kuasa Hukum Anggodo Diperiksa Mabes Polri

Penyidik Mabes Polri mengajukan sekitar 19 pertanyaan saat pemeriksaan terhadap Bonaran Situmeang kuasa hukum Anggodo Widjojo, terkait laporan Kongres Advokat Indonesia (KAI) terhadap pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang melakukan penyadapan.
“Ada sekitar 18 hingga 19 pertanyaan yang diajukan penyidik terkait penyadapan oleh KPK,” kata Bonaran di Bareskrim Mabes Polri, Jakarta Selatan, Rabu (18/11).
Menurut Bonaran, penyidik mengajukan pertanyaan seputar dugaan penyalahgunaan wewenang pimpinan KPK yang melakukan penyadapan terhadap percakapan dirinya dengan Anggodo Widjojo.
KAI, lanjut Bonaran, menganggap penyadapan pembicaraannya dengan Anggodo merupakan pelanggaran, karena kedua orang tersebut tidak termasuk orang yang sedang diselidiki atau terkait kasus di KPK.
Bonaran menganggap KPK menyadap dan merekam pembicaraan Anggodo dengan dirinya itu tidak sesuai prosedur dan bertentangan dengan ketentuan hukum yang berlaku pada Pasal 12 ayat 1 Undang-Undang (UU) Nomor 30 Tahun 2002, serta Pasal 31 ayat 1 dan 2 UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronika.
Sehingga menuduh pimpinan KPK menyalahgunakan wewenang yang diatur pada Pasal 421 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP).
Lebih lanjut, Bonaran menyatakan, sesuai undang-undang KPK, pimpinan KPK berhak menyadap pembicaraan orang yang sedang menjalani proses penyelidikan dan penyidikan di KPK.
“Sementara saya dan Anggodo tidak sedang menjalani penyelidikan sehingga KPK tidak boleh menyadap,” ujar Bonaran seraya menambahkan dirinya berstatus sebagai saksi pelapor pada laporan KAI itu.
Isi rekaman percakapan Anggodo dengan Bonaran, serta sejumlah pejabat penegak hukum mencuat ke publik setelah diperdengarkan di sidang Mahkamah Konstitusi (MK), beberapa waktu yang lalu. 
 
surya online

Penyebut Kata RI-1 Sudah Diketahui, Kenapa Anggodo Dibebaskan?

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono seharusnya bisa melaporkan Anggodo Widjojo atas dugaan melakukan pencemaran nama baik dan perbuatan tidak menyenangkan.
Dari putaran rekaman penyadapan KPK, terdengar jelas bahwa Anggodo turut menyebut kata RI-1 dalam perbincangannya dengan seseorang. Keinginan Presiden bahwa pencatut namanya harus diusut bisa dibuktikan dengan melaporkan si pencatut nama ke pihak kepolisian.
Demikian dikatakan pengamat komunikasi politik Universitas Indonesia (UI), Effendi Gazali, di Gedung DPR, Kamis (5/11). “Presiden bilang, usut yang mencatut namanya. Sekarang sudah ketahuan yang mencatut nama Presiden. Lalu, polisi bilang belum menemukan bukti untuk menahan Anggodo. Tapi, kenapa Presiden atau kuasa hukumnya tidak melaporkan Anggodo ke polisi?” kata Effendi.
Secara logika komunikasi politik, menurutnya, menjadi pertanyaan besar jika Presiden tak menindaklanjuti pernyataannya dengan pelaporan. Apa logikanya? “Logika awam, komunikasi dan politik, kalau Presiden sampai besok tidak melaporkan Anggodo untuk perbuatan tidak menyenangkan atau pencemaran nama baik, berarti Presiden mengakui bahwa rekaman itu benar,” ujarnya.
“Secara logika sederhana, Presiden terlibat dalam skenario jika tidak melaporkan Anggodo. Rakyat bisa bilang bahwa Presiden kita terlibat. Yang nyatut siapa, sudah ketahuan kok,” lanjut Effendi.
Berdasarkan transkrip rekaman percakapan yang diputar pada sidang MK dua hari lalu, Anggodo memang menyebutkan RI-1 dalam percakapannya yang diduga merupakan skenario kasus untuk menjerat dua pimpinan KPK (nonaktif), Bibit Samad Rianto dan Chandra M Hamzah. Berikut petikan percakapan tersebut :

Dalam Rekaman SBY disebut Dua Kali, RI 1 Satu kali

Ketika file keempat dari rekaman yang diduga berisi upaya pelemahan KPK diperdengarkan, dua kali disebut sebagai “SBY”, sekali disebut “RI 1″. Ketiganya mengacu pada nama seseorang.
Dalam file yang dikategorikan KPK sebagai “percakapan antara Anggodo Widjojo dan seorang perempuan bernama Yuliana” ini, perempuan tersebut menyebutkan nama SBY. “SBY mendukung Ritonga (Abdul Hakim Ritonga, Wakil Jaksa Agung)….” “SBY mendukung kita….”
Sementara itu, istilah RI 1 disebutkan sekali dalam file percakapan “Anggodo dengan seseorang”. “Untuk menjaga ketidaklangsungan B1 dengan RI 1…”
Sebelum rekaman diperdengarkan pertama kali di MK, transkrip yang beredar di kalangan media juga memuat nama SBY. Penyebutan nama ini berujung pada instruksi presiden kepada Polri untuk mencari perempuan yang dituduh mencatut namanya.

surya online

Mabes Polri Tetap Periksa Ong Yuliana

Wakil Kepala Bareskrim Mabes Polri Polri Inspektur Jenderal Dikdik Mulyana Arif Mansyur menyatakan akan memeriksa semua pihak yang disebut dan diduga terlibat dalam rekaman percakapan pengusaha Anggodo Widjojo, termasuk sosok Ong Yuliana. Bahkan, pemanggilan kepada yang bersangkutan masih tetap dilakukan.
Menurut Dikdik, sejauh ini Polri telah memeriksa delapan saksi guna memproses Anggodo. Namun, Dikdik enggan memberi tahu di mana sosok Ong Yuliana berada. “(Pemanggilan terhadap Ong Yuliana) tetap kami lakukan. Prinsipnya semua kita periksa. Kami sudah memeriksa delapan saksi,” kata Wakil Kepala Badan Reserse dan Kriminal Mabes Polri Inspektur Jenderal Dikdik Mulyana Arif Mansur di Mabes Polri, Jakarta, Selasa (24/11).
Selain keterangan dari delapan saksi tersebut, Polri juga telah meminta klarifikasi sejumlah penyidiknya terkait hal yang sama. Semua penyidik sudah diperiksa.
“Ternyata, anggota saya itu klarifikasi berita acara, tidak berhubungan dengan urusan melanggar hukum,” ungkapnya.
Meski sudah memeriksa sejumlah saksi dan meminta klarifikasi penyidik, Polri belum bisa melakukan penahanan dan penetapan tersangka kepada yang bersangkutan. “Tapi, kami belum ada indikasi untuk mengambil upaya paksa kepada Anggodo,” ujarnya.
Sosok Ong Yuliana merupakan rekan bicara Anggodo Widjojo dalam percakapan yang tersadap KPK. Dalam rekaman itu diduga ada upaya rekayasa terhadap kasus dua pimpinan nonaktif KPK Bibit Samad Rianto dan Chandra M Hamzah.
Dalam percakapannya dengan Anggodo sebagaimana diperdengarkan di Mahkamah Konstitusi (MK) pada 3 November lalu, Ong Yuliana juga menyebut-nyebut nama presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Wakil Jaksa Agung (nonaktif) Abdul Hakim Ritonga. Saat ini Polri dan KPK tengah mengintensifkan koordinasi guna memproses Anggodo.
Dan sejauh ini, Polri masih menetapkan Anggodo sebagai terlapor dengan enam pasal sangkaan, yaitu pencemaran nama baik terhadap presiden, fitnah, penghinaan institusi Polri, penyuapan, perbuatan memfitnah orang lain, dan pengancaman.
Dikdik menegaskan, jika pihak KPK berhasil mengungkap kasus Anggodo, hal itu bukan lah kesuksesan dari KPK atau Polri semata, melainkan kesuksesan aparat penegak hukum. “Kalau KPK bisa, itu bukan suksesnya KPK atau polisi, tapi itu kesuksesan aparat,” pungkasnya.

surya online

Ketidaktegasan Presiden Bisa Picu People Power

 Selasa, 24 November 2009

Bekas Direktur Operasi Khusus Intelijen, Pitut Soeharto, mengatakan, penyikapan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam kasus Bibit-Chandra yang mengambang dapat mendelegitimasi kedudukannya.Pernyataan Pitut ini menanggapi keputusan yang dikeluarkan Presiden dalam menyikapi rekomendasi Tim 8 kasus Bibit-Chandra, Senin malam.

Menurut Pitut, bukan tak mungkin ketidakpuasan itu akan berkembang menjadi gerakan massa atau people power untuk menurunkan Presiden Yudhoyono. "Jaringan saya menginformasikan sudah ada yang mau bergerak," kata Pitut yang juga pernah aktif di Badan Koordinasi Intelijen Negara ini di Surabaya, Jawa Timur, Senin (23/11) malam.

Pitut juga tak membantah sinyalemen Adnan Buyung Nasution yang menyebutkan ada operasi intelijen untuk melemahkan Komisi Pemberantasan Korupsi. Anggodo Widjoyo dan Ary Muladi, menurut Pitut, merupakan orang-orang yang menjadi trigger terjadinya operasi intelijen itu.

Saat ditanya apakah Anggodo dan Ary adalah agen ganda, Pitut berujar, "Anggodo pernah kami galang, dan pejabat Kejaksaan Agung dan Polri yang saat ini terlibat juga pernah saya pakai," kata pria yang sering menjadi sumber Secret Operation di salah satu stasiun televisi swasta itu.

Namun, Pitut membantah bila kasus ini merupakan refleksi perselisihan tentara dan polisi. Sebab, menurutnya, meski saat ini tentara relatif tak diakomodasi dalam kabinet Yudhoyono, namun justru secara lembaga mereka diuntungkan.

Pitut juga mengesampingkan kasus Bibit-Chandra ini merupakan letupan ketidakpuasan karena Kepala Badan Intelijen Negara dipegang oleh seorang polisi. "Salah kalau analisanya ke sana, meskipun SBY saya nilai kurang tepat mengangkat kepala intelijen dari kalangan polisi," kata Pitut.

Lebih jauh Pitut mengungkapkan, sejak masih dinas di ketentaraan, Yudhoyono sulit mengambil keputusan tegas.  "Saat SBY masih menjadi wakil komandan batalyon saya ikut membina dia, dan dalam banyak hal sikapnya memang agak ragu-ragu," kata Pitut.

Pada periode pertama Yudhoyono menjabat presiden, Pitut mengaku pernah empat kali dipanggil ke istana untuk dimintai masukan tentang masalah ekonomi, sosial, budaya, dan intelijen.

Namun, kata purnawirawan jenderal bintang dua ini, seluruh masukan yang dia berikan ke SBY tidak ada yang ditindaklanjuti. Akhirnya saat Presiden memanggil untuk kelima kalinya Pitut tidak datang. "Ya, buat apa datang kalau masukan saya tidak dipakai," kata Pitut yang kini berumur 80 tahun.

Sekretaris Jenderal PDIP Pramono Anung menyayangkan pidato tanggapan Presiden Yudhoyono terhadap rekomendasi Tim 8. Pidato tersebut justru menimbulkan ketidakpastian (uncertainty) di kalangan masyarakat.

"Ini betul-betul membuang energi kita. Publik masih harus menunggu proses penyelesaian (hukum kasus Bibit-Chandra) yang akan dilakukan," kata Pramono di Jakartaa, Selasa (24/11).

Sedangkan Ketua MPR Taufiq Kiemas, Selasa (24/11), malas untuk mengomentari sikap Presiden atas kasus Bibit-Chandra. "Malas juga (mengomentari pidato). Bicaranya begitu. Muter saja di situ terus," kata Taufik di Jakarta.

Di Yogyakarta, mahasiswa yang tergabung dalam Aliansi Jogja untuk Indonesia Damai (AJI Damai) mengadakan aksi teaterikal dengan memasang bendera setengah tiang dan melakukan aksi bungkam di Perempatan Tugu, Yogyakarta, Selasa, (24/11).

Bendera setengah tiang mereka kibarkan karena merasa berkabung atas pernyataan Presiden yang dinilai tidak jelas menuntaskan masalah pada kasus Bibit Samad Rianto dan Chandra M. Hamzah serta penanganan kasus Bank Century. “Kami kecewa dengan pidato Presiden yang muter-muter, mengambang, dan sangat lamban penyelesaiannya,” tegas Koordinator Aksi Subkhi Ridho.

Dari Surakarta, Jawa Tengah, aktivis antikorupsi yang tergabung dalam Gerakan Rakyat Antikorupsi atau Gerak mengecam sikap Presiden Yudhoyono yang dinilai tidak tegas dalam pemberantasan korupsi.

Hal itu, menurut mereka, terlihat dari sikap Presiden Yudhoyono yang tidak mengambil tindakan tegas dalam kasus Bank Century. "Jelas-jelas Bank Cantury telah merugikan keuangan negara hingga Rp 6,7 triliun. Tapi sepertinya penanganannya tidak serius," tandas Koordinator Gerak, Winarso dalam aksi yang digelar di Bundaran Gladag Surakarta, Selasa (24/11).
Dia mendesak Presiden memerintahkan pengusutan tuntas kasus Bank Century dan menyeret mereka yang bersalah ke pengadilan. "Seperti Boediono dan Sri Mulyani," lanjutnya.

Di Surabaya, Jawa Timur, ratusan massa dari Liga Mahasiswa Nasional untuk Demokrasi (LMND), Serikat Rakyat Miskin Indonesia (SRMI) serta beberapa organisasi lainnya, berunjuk rasa di depan gedung Negara Grahadi Surabaya, Selasa (24/11).

Massa menilai Presiden tidak tegas dalam menyelesaikan skandal kasus Century dan kriminalisasi terhadap pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi. "Pidato Yudhoyono semalam terkesan ragu dan gamang serta belum mencerminkan rasa keadilan masyarakat," kata Suprayitno, koordinator aksi.

Padahal, selama ini, masyarakat sangat haus keadilan dan menunggu kebijakan Presiden untuk menyelesaikan dua masalah yang sangat menyita perhatian publik itu.

Sementara di Lampung, puluhan mahasiswa yang tergabung dalam Liga Mahasiswa Nasional Untuk Demokrasi berunjuk rasa menuntut Presiden Yudhoyono dan Wakil Presiden Boedino meletakkan jabatan.

Tuntutan mahasiswa itu terkait pidato Presiden yang tidak tegas terhadap kasus kriminalisasi dua pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi. “Presiden tidak tegas dan mengambang. Jika tidak terlibat upaya pelemahan Komisi Pemberantasan Korupsi kenapa harus ragu dan pengecut,” tegas Ketua Liga Mahasiswa Nasional Untuk Demokrasi Bandar Lampung, Dewa Putu Adi Wibawa, Selasa (24/11).

Aksi serupa juga digelar di Jakarta dan Bandung, Jawa Barat, yang melibatkan ratusan massa.

tempointeraktif

Selasa, 24 November 2009

Tak Kunjung Menemukan Bukti, Polisi Serahkan Anggodo ke KPK

TEMPO Interaktif, Jakarta - Penyidik Polri serahkan berkas kasus dugaan korupsi Anggodo Widjojo ke penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi. Menurut Wakil Kepala Bareskrim Mabes Polri Irjen Dikdik M Arif Mansur, kasus yang bersentuhan dengan dugaan korupsi kita serahkan ke KPK, sedangkan yang berhubungan pidana umum ditangani penyidik Polri.
"Kami persilahkan KPK seluas-luasnya untuk menangani (kasus) Anggodo," kata Dikdik, Selasa (24/11).
Untuk itu, penyidik Mabes Polri akan memfasilitasi semua keperluan KPK dalam menangani kasus Anggodo. "Kalau KPK minta difasilitasi, misalnya untuk upaya paksa (panggil Anggodo), ya kami persilahkan."
Anggodo Widjojo merupakan adik tersangka dugaan suap kasus sistem komunikasi di Departemen Kehutanan, Anggoro Widjojo. Nama Anggodo menjadi pembicaraan publik setelah Mahkamah Konstitusi memutar rekaman pembicaraan antara Anggodo dengan beberapa orang, termasuk oknum polisi dan jaksa.
Akibat rekaman itu, Anggodo diancam dengan enam sangkaan. Salah satunya adalah dugaan usaha penyuapan kepada pimpinan KPK Bibit Samad Rianto dan Chandra M Hamzah.
Namun hingga sekarang, status Anggodo masih terlapor. Penyidik masih kesulitan mencari bukti untuk menjerat Taipan itu menjadi tersangka.
Salah satu usaha pencarian bukti itu adalah dengan meminta keterangan dari Ary Muladi dan penyidik yang namanya disebut dalam rekaman. Ada sekitar delapan saksi yang sudah diminta keterangannya oleh penyidik. "Tapi dari delapan saksi itu belum ada indikasi untuk mengambil langkah yang sifatnya upaya paksa untuk Anggodo," kata Dikdik.

Kejaksaan: Pengucuran Dana Talangan Century Hanya Melanggar Administrasi

TEMPO Interaktif, Jakarta -  Kejaksaan Agung menyatakan tak tertutup kemungkinan ada perbuatan melawan hukum dalam pengucuran dana talangan Bank Century sebesar Rp 6,7 triliun. "Perbuatan melawan hukum kemungkinan ada dalam arti pelanggaran administrasi," kata Hendarman di Kejaksan Agung, Selasa (24/11). "Tapi pidananya belum ditemukan."
Menurut dia, Kejaksaan akan menyelidiki kepatutan pengucuran dana tersebut. "Proper atau tidak," kata dia.
Selain itu, Kejaksaan juga akan menyelidiki kemungkinan adanya kebocoran dalam pengucuran dan penggunaan dana talangan tersebut. "Itu harus dilihat dari data PPATK," ujarnya.
Sejauh ini, dia menambahkan, Kejaksaan masih fokus menyidik perkara penggelapan dana oleh Rafat Ali Rizvi dan Hesham El Warraq, pengendali saham Century berkebangsaan asing. Dalam perkara ini, kata Hendarman, "Tak tertutup kemungkinan ada tersangka baru."

Pendukung Bibit-Chandra Kecewa dengan Pidato Yudhoyono

TEMPO Interaktif, Jakarta - Sesaat setelah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menyatakan sikap atas rekomendasi Tim Delapan, para pendukung Bibit Samad Rianto dan Chandra M Hamzah mengungkapkan kekecewaannya.
Para tokoh yang tergabung dalam Koalisi Masyarakat Sipil Darurat Keadilan yang menggelar acara nonton bareng di kantor Imparsial langsung berteriak marah.

Mantan aktivis 98 Ray Rangkuti mengajak sekitar 120 penonton mengarahkan jari jempol ke arah tanah. Para penonton pun berteriak, "Lawan, lawan, lawan SBY. Lawan SBY sekarang juga."

Pengamat politik Sukardi Rinakit pun mengaku sangat kecewa dengan sikap Presiden. "Kalau begini, kita lawan SBY," kata dia.

Hadir juga pengamat politik Universitas Indonesia Boni Hargens, pengamat politk Universitas Paramadina Yudi Latief, seniman Franky Sahilatua, Koordinator KontraS Usman Hamid, koordinator Indonesia Corruption Watch Danang Widoyoko.
Bibit dan Chandra merupakan tersangka kasus penyalahgunaan wewenang dan pemerasan terhadap tersangka kasus dugaan korupsi Sistem Komunikasi Radio Terpadu di Departemen Kehutanan, Anggoro Widjojo. Tim Delapan pada Selasa lalu merekomendasikan kepada Yudhoyono untuk menghentikan kasus Bibit dan Chandra. Dalam pidatonya, Yudhoyono hanya mengisyaratkan untuk menghentikan kasus Bibit dan Chandra setelah menerima rekomendasi Tim Independen Verifikasi Fakta dan Kasus Hukum Bibit dan Chandra M Hamzah (Tim Delapan). 

Sikap Presiden Bisa Munculkan Gerakan Rakyat

TEMPO Interaktif, Jakarta - Koordinator Komisi Nasional untuk Orang Hilang dan Tindak Kekerasan Usman Hamid menyatakan pernyataan sikap Presiden Susilo Bambang Yudhoyono bisa memunculkan gerakan rakyat atau people power. Menurut dia, gerakan mendukung Komisi Pemberantasan Korupsi telah menyentuh semua lapisan.
Pada Senin malam, Yudhoyono memberikan keterangan pers mengenai rekomendasi Tim Independen Verifikasi Fakta dan Kasus Hukum Bibit Samad Rianto dan Chandra M Hamzah (Tim Delapan). Rekomendasi Tim Delapan menyarankan Yudhoyono menghentikan kasus Bibit dan Chandra. Akan tetapi, dalam pidatonya, Yudhoyono tidak menjelaskan secara tegas untuk menghentikan kasus yang menjerat dua pimpinan nonaktif Komisi Pemberantasan Korupsi tersebut.
“Bukan hanya aktivis, tapi masyarakat juga telah menyampaikan keprihatinannya,” kata Usman di kantor Imparsial, Jakarta, Senin (23/11) malam.

Indikatornya, kata dia, aksi unjuk rasa mendukung Komisi Pemberantasan Korupsi kian marak. Di situs jejaring sosial Facebook pun pendukung Chandra dan Bibit mencapai 1,4 juta orang. Usman menilai gerakan ini tak lagi hanya di dunia maya. “Mereka telah bergerak ke jalan,” kata dia.

Ia percaya, gerakan ini akan terus didukung masyarakat. Ia mencontohkan, gerakan rakyat di Filipina juga dimulai dari ratusan orang saja. Lama-kelamaan, gerakan itu makin besar dan menyentuh segala lapisan. Usman menilai kondisi di Filipina sudah mulai terjadi di Indonesia.

Pengamat politik Sukardi Rinakit menilai pernyataan Yudhoyono menjadi bom waktu. Sukardi juga memperkirakan gerakan mendukung Komisi Pemberantasan Korupsi akan terus menguat. “Eskalasi gerakan akan terus menguat,” kata dia.

Ia bahkan memperkirakan gerakan tak lagi sebatas mendukung Komisi Pemberantasan Korupsi dan menghujat Kepolisian dan Kejaksaan. Tapi, gerakan akan menjadi perlawanan pada Presiden sendiri. “Presiden akan jadi musuh bersama,” ujar dia.

Meski demikian, Sukardi memperkirakan gerakan rakyat ini tak akan mampu menggulingkan Presiden. Pasalnya, sejumlah elemen seperti TNI dan pengusaha belum mendukung gerakan pendukung KPK. “Mungkin Presiden baru bisa jatuh kalau dia sampai memperpanjang masa jabatannya melalui amandemen Konstitusi,” ujarnya.

Bibit dan Chandra Diminta Tanda Tangani Kontrak Politik

TEMPO Interaktif, Jakarta -  Aktivis Koalisi Masyarakat Sipil Antikorupsi (Kompak) Fadjroel Rachman menyatakan Bibit Samad Rianto dan Chandra Hamzah harus menandatangani kontrak politik jika kembali menjadi pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi. Isinya, Bibit dan Chandra harus menuntaskan kasus PT Masaro Radiokom.
"Tidak ada yang gratis. Bibit dan Chandra harus tanda tangani kontrak politik," kata Fadjroel dalam orasinya di acara nonton bareng sikap Presiden Susilo Bambang Yudhoyono atas rekomendasi Tim 8 di kantor Imparsial, Jakarta, Senin (23/11) malam.
Menurut dia, Bibit dan Chandra juga harus membongkar kasus dugaan gratifikasi yang melibatkan mantan Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia Miranda Goeltom. Apalagi, saat ini sebagian anggota yang diduga terlibat dalam kasus gratifikasi itu ikut mendukung hak angket Century. "Bibit dan Chandra juga harus menuntaskan kasus Century," katanya.
Fadjroel juga menilai para anggota DPR yang tersangkut kasus Miranda tak pantas bergabung dalam panitia angket. "Mereka harus keluar dari panitia angket," ujarnya.

Kapolri: Jika Berkas Bibit Kembali, Mungkin Di-SP3

JAKARTA, KOMPAS.com - Kepala Polri Jenderal Pol Hendarso Danuri mengungkapkan, kepolisian masih menunggu keputusan Kejaksaan Agung terhadap berkas perkara pimpinan KPK nonaktif Bibit S Rianto. Jika berkas perkara dikembalikan dari Kejakgung (P19), kemungkinan perkara Bibit akan dikeluarkan Surat Penghentian Pekara (SP3).
"Apabila berkas kembali (ke penyidik) itu jadi otoritas kita. Mungkin akan kita lakukan penghentian (SP3)," ucap Kapolri saat pertemuan dengan pimpinan dan jajaran redaksi harian Kompas, di Kantor Kompas Gramedia, Jakarta, Selasa (24/11).

Kapolri menjelaskan, jika sebaliknya berkas perkara Bibit yang sedang diperiksa di Kejakgung dinyatakan P21, maka keputusan akhir menjadi kewenangan Kejakgung. Sedangkan untuk kasus Chandra, kepolisian tidak dapat mencampuri karena berkas perkaranya telah dinyatakan lengkap oleh Kejakgung.
"Jelas berkas Chandra sudah habis (lengkap). Itu otoritas Kejaksaan Agung (keputusan akhir). Untuk berkas Bibit kita tunggu dari Kejaksaan, apa P-21 atau P-19. Jika diputuskan P-21 berarti otoritas di Kejaksaan ," kata dia.

Seperti diberitakan, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono telah mengatakan tidak dapat mencampuri proses hukum Bibit-Chandra karena penghentian perkara bukan kewenangan Presiden. Proses hukum diserahkan sepenuhnya kepada Kejaksaan Agung dan Kepolisian.

Tipu-tipu Kecil, Untung Miliaran Rupiah

HASIL penelusuran Jawa Pos dari orang-orang yang mengenal Anggodo di bisnis perkayuan, terungkap adanya praktik kongkalikong antara Anggodo dan beberapa oknum di Perhutani dalam hal ukuran kayu.

Beberapa sumber Jawa Pos menyebutkan, dalam perhitungan kayu, dibedakan dari diameter dan gradenya. Untuk lonjoran berdiameter 20-29 cm, kayu itu masuk kategori A2. Kayu berdiameter 30-39 cm masuk kategori A3, demikian seterusnya.

Nah, yang sering dimainkan adalah ukuran kayu tersebut. ''Contohnya, kayu berdiameter 41 cm. Ini seharusnya masuk kategori A4, namun diturunkan menjadi A3. Kendati diameternya selisih sedikit, perbedaan harganya besar,'' tambahnya. Bisa mencapai Rp 1 juta per meter kubik.

''Coba kalikan dengan 2.000 atau 3.000 meter kubik. Miliaran nilainya dari tipu-tipu kecil seperti ini,'' tambahnya.

Selain itu, seorang mantan pejabat di Perhutani yang tak mau disebut namanya mengatakan, sering Anggodo melakukan fait accomply ke Perhutani. Misalnya, kendati Bank Garansi hanya mencakup 2.000 meter kubik, Anggodo sering menunjukkan order dari luar negeri yang jumlahnya hingga 4.000 meter kubik.

Bila sesuai aturan, Perhutani seharusnya tidak boleh memberikan bahan baku lebih banyak daripada bank garansi tersebut. Namun, pada praktiknya, hal itu sering terjadi. ''Ini sama saja dengan melepas kayu tanpa jaminan apa pun. Ini sangat gawat,'' tuturnya.

Saat itu, tak ada yang berani menentang. Selain karena selalu ''royal'' dalam memberikan servis kepada pejabat, yang menentang pun kadang tiba-tiba mendapat mutasi dadakan. ''Karena memang pengaruh dia sangat mengakar di Perhutani,'' tandasnya.

Kabiro Hukum dan Kepatuhan Per­hutani Tardi menyatakan, Anggodo memang sering berhubungan dengan Perhutani. Meski tidak tahu persisnya mulai kapan, hal itu sudah berlangsung lama. ''Memang sudah lama. Tapi, selama ini dalam konteks jual beli,'' kata Tardi.

Menurut dia, selama ini proses jual beli di antara kedua pihak ber­langsung lancar. Namun, saat me­reka hendak mengembangkan joint venture (patungan), prosesnya mengalami kendala. Karena belum ada izin dari menteri BUMN, perjanjian itu urung dilakukan. Akhirnya Anggodo menggugat Perhutani karena dianggap wanprestasi. "Sejak saat itu hubungannya seperti putus, tidak ada aktivitas," terang pria asal Ngawi itu.

jawapos.com

Berurusan Dengan Kejaksaan, Hubungi Anggodo Beres. . .

ANGGODO Widjojo juga dikenal sebagai makelar kasus. Sepak terjang pria yang memiliki nama Tionghoa Ang Tju Nek itu terbaca di kejaksaan. Dia tak segan menawarkan jasa untuk membereskan kasus yang dihadapi pejabat atau orang yang dikenalnya.

Misalnya, yang terjadi di Perum Perhutani. ''Dia menawari, kalau ada masalah dengan kejaksaan, hubungi Anggodo, pasti beres,'' kata seorang sumber koran ini.

Tentu saja, jasa yang diberikan Anggodo itu tidak cuma-cuma. Sebagai balasan, Perhutani banyak bekerja sama dengan Anggodo dalam jual beli kayu. Selain itu, ada beberapa proyek yang dikerjakan.

Menurut sumber tersebut, salah satu contoh adalah kasus dugaan ko­rupsi proyek corporate image di Perhutani. Dalam kasus yang ter­jadi pada 2003 itu, Bambang Aji yang menjabat Kadiv Perencanaan Pembangunan Perhutani ditetapkan sebagai tersangka. Sementara itu, Dirut Perhutani kala itu Marsanto tidak ikut terjerat. "Menurut cerita, Anggodo bilang itu karena dia,'' kata sumber tersebut.

Bukan hanya itu. Sepak terjang Anggodo juga dalam ''membantu'' Perhutani. Sumber tadi menceritakan, jika ada orang Perhutani yang diperiksa kejaksaan dan kebetulan Anggodo berada di situ, tinggal kontak bisa langsung diajak pulang. ''Dia menghubungi pimpinannya. Penyidik ya cuma bisa melongo,'' terang dia.

Sumber itu mengakui kehebatan Anggodo dalam membereskan kasus. ''Hebatnya, dia itu kenal semua orang yang terkait penegakan hukum,'' katanya.

Karenai itu, tidak heran jika dalam rekaman pembicaraan yang diputar di Mahkamah Konsitusi (MK) beberapa waktu lalu Anggodo berbincang atau setidaknya me­nyebut nama-nama petinggi lembaga penegak hukum. Misalnya, Kabareskrim Komjen Pol Susno Duadji, mantan JAM Intelijen Wisnu Subroto, dan mantan JAM Pidum Abdul Hakim Ritonga.

Secara terpisah, Transtoto Handadhari, mantan Dirut Perum Perhutani, mengatakan pernah mendengar nama Anggodo dan kaitannya dengan Perhutani. Namun, dia mengaku baru sekali bertemu dengan adik Anggoro Widjojo itu. ''Sekitar 2005. Kamu to yang namanya Anggodo,'' kata Transtoto menceritakan awal bertemu dengan Anggodo.

Pria asal Jogjakarta itu mengungkapkan, Anggodo belum pernah datang secara khusus kepadanya saat menjabat Dirut Perhutani. Tapi, dia membenarkan ucapan sumber Jawa Pos tentang tawaran membereskan kasus. ''Ya, saya pernah ditawari,'' ujar pria yang pernah mendapat award Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas KKN 2007 itu.

Informasi yang diperoleh koran ini menyebutkan, pencopotan Transtoto dari kursi nomor satu Perhutani itu disebabkan faktor Anggodo. Dia menghentikan rencana kerja sama perusahaan pa­tungan Perhutani dengan Anggodo melalui PT Sapta Wahana Mulia. Namun, Transtoto yang dikonfirmasi membantah kabar tersebut.

''Tidak ada yang berkaitan dengan itu (pencopotan Dirut dan Anggodo, Red),'' tegas mantan kepala Pusat Informasi Kehutanan Dep­hut itu. Menurut Transtoto, peng­hentian atau penangguhan rencana kerja sama itu dilakukan karena ada usul dari dewan pengawas dan Menhut.

Doktor Ilmu Ekonomi Kehutanan Universitas Gadjah Mada (UGM), Jogjakarta, itu menjelaskan, dirinya dicopot dari posisi Dirut karena dinilai ada penurunan kinerja dan disharmoni antardireksi Perhutani. Dia menilai, ada yang ganjil dalam pelengseran dirinya tersebut. Karena itu, dia menempuh upaya hukum dengan mengajukan gugatan melalui pengadilan tata usaha negara.

''Di tingkat pertama (pengadilan negeri) dan tingkat banding (pengadilan tinggi) saya menang. Tinggal di MA,'' terang pria kelahiran Jogjakarta, 6 Maret 1951, itu.

jawapos.com

Anggodo Paling Jago Siasati Surat Perjanjian

SEORANG pengusaha kayu yang mengaku sangat hapal sepak terjang Anggodo menceritakan mengapa dia dijuluki si akar jati.

''Kalau sudah lawan Anggodo, itu bukan berhadapan dengan daun jati lagi, tapi akar jati. Menancap di mana-mana pengaruhnya,'' kata pria paro baya yang tak mau disebutkan namanya itu.

Jika pengusaha kayu, lanjutnya, ingin mendapatkan bahan baku dari Perhutani, salah satu cara yang paling paten harus bergabung menjadi "komplotan" Anggodo.

Dilihat dari jejaknya, bisnis Anggodo dimulai dari Semarang, meski ayahnya mempunyai basik bisnis di Surabaya, tepatnya di Jalan Karet. Pada awal 1980-an, Anggodo mempunyai bengkel mobil Fiat dan Mercedes-Benz di Jalan Pemuda, Semarang.

Tak lama kemudian, Anggodo banting setir. Dia menjual dua bengkelnya tersebut (yang kini berdiri gedung BCA), dan menjadikannya modal untuk bisnis kayu. Perlahan Anggodo membangun lobi dan kenalan di Perhutani. Lambat laun pengaruhnya semakin kuat. ''Hampir semua tingkat di Perhutani dia (Anggodo) kenal. Dia juga dikenal royal dan ringan tangan,'' kata seorang bekas petinggi Perhutani yang tak mau disebut namanya.

Tak bisa dipastikan berapa banyak industri kayu yang dimiliki Anggodo. Di Semarang, arah ke Pedurungan, dia pernah punya pa­brik industri kayu, yang tutup pada awal 2000-an. Begitu pula di Driyorejo, Gresik. Anggodo pernah punya sebuah pabrik kayu bernama Sapta Wahana Mulya. Namun, kini sudah tutup, dan kabarnya kini dikelola anaknya.

Pada akhir 1980-an hingga kini, Anggodo dikenal sebagai pengusaha kayu. Pengusaha kayu yang lain sulit menembus do­minasinya di Perhutani. Padahal, semua pengusaha industri kayu di Indonesia bahan bakunya selalu harus dari Perhutani. ''Untuk kayu Jawa, Anggodo tak tertandingi. Ampun-ampun kalau lawan Anggodo,'' tutur seorang pengusaha kayu lain yang tak mau disebut namanya.

Anggodo juga dikenal melakukan monopoli, tentu secara informal. ''Terlihat dalam lelang-lelang kayu. Sistemnya terbuka, tapi apa pun tetap tak bisa mendapatkan kayu dalam lelang bila Anggodo menghendakinya,'' jelasnya. Bagaimana caranya? ''Ya itu, akar jati. Karena punya kenalan banyak di Perhutani, lelang kayu yang berlangsung itu terbuka, namun sekaligus tertutup. Bisa dipastikan siapa pemenangnya,'' imbuhnya.

Seorang mantan petinggi Perhutani membenarkannya. ''Tak ada pengusaha kayu yang sebegitu kuat perannya di Perhutani selain Anggodo. Bahkan, banyak pejabat Perhutani yang tetap menuruti keinginannya meski dampaknya merugikan Perhutani secara ke­seluruhan,'' ucap mantan pejabat itu, yang mengaku juga kenal dekat dengan Anggodo.

Mantan pejabat itu menyebut bahwa Anggodo paling jago dalam menyiasati surat perjanjian. Mi­salnya, ketika Anggodo me­ngekspor kayu olahan. Diduga kongkalikong dengan buyer (pembeli) di luar negeri, setelah kayu olahan tersebut diekspor, se­lalu ada complaint. ''Entah itu diameternya yang kurang, entah itu ada perubahan warna, entah itu kualitas kayunya yang di­bi­lang kurang bagus,'' jelasnya.

Biasanya bila ada pengurangan dalam hal apa pun, ada penurunan harga. Rinciannya, buyer complaint ke Anggodo, dan Anggodo kemudian complaint ke Perhutani. Akibatnya, ada sejumlah pengurangan pembayaran ke Perhutani. Berapa biasanya? ''Tergantung jenis kayu dan complaint-nya,'' tuturnya. Namun, rata-rata antara Rp 1 juta - Rp 2 juta per meter kubiknya. Padahal, dalam setahun, seorang pengusaha kayu kelas kakap bisa mengekspor lebih dari 2.000 meter kubik. ''Kalikan saja. Untuk sekadar mengurusi complaint-complaint, bisa mendapat lebih dari Rp 2 miliar per tahun. Belum dari keuntungannya,'' tambahnya.

jawapos.com

Anggodo Pernah Sukses Kerjain Perhutani Tiga Kali

RAJA Kayu, tampaknya, pantas menjadi julukan Anggodo Widjojo. Sebab, meski beberapa kali bisnis kayunya terkena masalah hukum, dia tetap berkuasa. Buktinya, Perum Perhutani dia gugat dan kalah terus hingga kasasi di Mahkamah Agung (MA). Kasus itu bermula dari perjanjian jual beli kayu industri antara Perum Perhutani dan PT Sapta Wahana Mulya (SWM) milik Anggodo.

Perjanjian itu mengharuskan Perhutani menyediakan pasokan kayu jati untuk SWM berdasar jumlah uang yang dibayarkan. Kongsi itu lantas hendak ditingkatkan menjadi pembentukan perusahaan patungan dengan nama PT Perhutani Wahana Industri.

Nah, kasus bermula saat Perhutani hanya memberikan kayu sesuai jumlah uang yang dibayarkan SWM. Rupanya, SWM meminta lebih. Selain itu, perusahaan patungan tersebut tak kunjung jadi. Alasannya, Perhutani belum dapat restu Men BUMN. SWM meradang. Dua persoalan itu dijadikan amunisi oleh SWM untuk menggugat Perhutani dengan alasan wanprestasi alias mengingkari kesepakatan dalam nota kesepahaman.

SWM lantas menggugat Perhutani melalui Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat. Data di PN menunjukkan, SWM mendaftarkan gugatan pada 6 September 2006. Untuk menyukseskan kasus itu, Anggodo menyewa jasa pengacara langganannya, Alexander Arif.

Pengacara yang akrab dipanggil Alex tersebut memang rekan dekat Anggodo. Berdasar rekaman yang dibeber di MK, Alex juga ikut terlibat dalam pembicaraan upaya ''menyelesaikan'' dua pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) nonaktif Bibit Samad Riyanto dan Chandra Marta Hamzah. Alex juga pernah menjadi pengacara Ong Yuliana Gunawan, salah seorang kroni Anggodo yang juga disebut dalam rekaman.

PN Jakarta Pusat memenangkan Anggodo. Gugatan SWM dikabulkan sebagian oleh hakim melalui putusan bernomor 273/Pdt G/2006. Hakim menilai Perhutani terbukti ingkar kesepakatan dan diwajibkan membayar gugatan Rp 38 miliar.

Perhutani tak terima. Padahal, sejumlah bukti sudah mereka lampirkan. Antara lain bukti pembayaran pembelian kayu bundar jati dan pernyataan bahwa izin pendirian perusahaan patungan itu belum turun dari Men BUMN. ''Itu menunjukkan bahwa kami tidak wanprestasi,'' ujar Asisten Direktur Hukum, Keamanan dan Hubungan Masyarakat Perhutani Audy Arthur Pattiruhu ketika itu.

Perhutani lantas banding ke Pengadilan Tinggi (PT) DKI Jakarta. Tapi, kalah lagi. PT menguatkan putusan PN Jakarta Pusat melalui putusan 192/Pdt/2007. Perhutani belum menyerah. Mereka lantas mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung (MA) dan menuntut SWM mengembalikan dana penyertaan modal pendirian perusahaan patungan Rp 8,2 miliar. Lagi-lagi Perhutani keok. MA memutuskan menolak kasasi Perhutani pada 17 September 2008 melalui putusan bernomor 391/K/Pdt/2008.

''Berita'' kekalahan Perhutani itu lantas dikirim ke PN Jakarta Pusat pada 22 Desember 2008. Perhutani tetap diharuskan menyetor duit Rp 38 miliar kepada SWM. ''Perhutani kalah tiga kosong,'' kata salah seorang staf panitera PN Jakarta Pusat bagian kasasi kepada Jawa Pos.

Saat dikonfirmasi koran ini, Kabiro Hukum dan Kepatuhan Perhutani Tardi mengatakan, putusan yang ada selama ini sangat tidak adil dan tidak objektif. "Kalau betul-betul dilaksanakan akan menyebabkan kerugian negara," kata Tardi ditemui di ruang kerjanya.

Dengan pertimbangan itu, pihaknya telah menempuh upaya hukum luar biasa yakni peninjauan kembali (PK) ke MA. PK itu sudah diajukan pada Mei 2009 dengan nomor register PK No 355Pk/PDT/09 tanggal 28 Mei 2009. Menurut Tardi, tudingan bahwa Perhutani wanprestasi tidak tepat. "Justru yang wanprestasi itu SWM," ucapnya.

Tardi berargumen, melaksanakan perusahaan patungan itu harus ada izin dari Menteri BUMN. Selain itu, sudah ada dana senilai Rp 8,2 miliar yang diserahkan kepada PT SWM sebagai penyertaan modal pendahuluan. "Itu ada akta notarisnya," ungkapnya. Jika perusahaan patungan tersebut tidak terbentuk, dana tersebut harus dikembalikan. "Nah ini, uang tidak dikembalikan, tapi malah menggugat," sambungnya.

Keputusan penghentian perjanjian dengan PT SWM itu, lanjut dia, juga didasari pada Dewan Pengawas Perhutani yang meminta kerja sama tersebut ditangguhkan. "Mestinya kalau ditangguhkan, itu selesai," kata Tardi.

Pria asal Ngawi itu menguraikan, putusan pengadilan dinilai tidak adil karena Perhutani harus menyerahkan 25 ribu meter kubik kayu gelondong dan 11 ribu meter kubik kayu persegi dengan harga jual dasar 2004. Itu sesuai dengan tahun perjanjian dilaksanakan. Nah, jika itu dilakukan saat ini, kerugian akan sangat besar. Sebab, kenaikan harganya bisa mencapai 60 persen.

Pengalaman menangani kasus Perhutani selama ini, tidak pelik seperti yang dihadapi Tardi dengan Anggodo saat ini. Dia mengakui bahwa Anggodo memiliki "kemampuan lebih" sehingga bisa menang dalam gugatan itu. "Kemampuan nonteknisnya luar biasa," katanya.

Sejak 1990 hingga 2009, tercatat sudah 81 kasus Perhutani yang ditanganinya. Kasus Perhutani yang digugat perusahaan milik SWM ada di list nomor 72. Kasus itu pula yang dicatat dengan kekalahan. "Baru sekarang saya menghadapi kasus seperti ini karena memang Anggodonya kuat," kata Tardi.

jawapos.com

Membedah Kasus Penyelamatan Bank Century

Banyak Simpan Produk Busuk

Sabtu pekan lalu (21/11), genap setahun PT Bank Century Tbk (kini Bank Mutiara) diambil alih Lembaga Penjamin Simpanan (LPS). Dalam setahun ini pula polemik seputar kucuran duit ke Century terus mengemuka.

---

Pada 21 November 2008, pemerintah resmi mengambil alih Bank Century. Waktu itu, pemerintah menunjuk tiga orang dari Bank Mandiri untuk mengelola Bank Century.

Belakangan, bergabung pula mantan bankir dari Bank OCBC NISP. Mere­ka harus bekerja keras membereskan problem kronis di bank hasil merger Bank CIC, Bank Pikko, dan Bank Danpac itu.

Dirut Bank Mutiara Maryono meng­akui, manajemen baru benar-benar mewarisi bank busuk. Bila boleh memilih, bankir dari Bank Mandiri itu lebih senang membikin bank baru daripada mengelola Bank Century. ''Itu saking beratnya problem di Bank Century,'' tuturnya kepada Jawa Pos di Jakarta, Jumat (20/11).

Direktur Bank Mutiara Ahmad Fajar menjelaskan, kebobrokan Bank Century disebabkan empat faktor utama. Pertama, banyaknya surat berharga bu­suk yang dimiliki pemegang saham lama. Yakni, Ravat Ali Rijvi (warga ke­turunan Pakistan berkebangsaan Inggris) dan Hesham al Warraq (warga Arab Saudi). Mereka adalah pemilik First Gulf Asia Holding yang menjadi pemegang saham pengendali dan menguasai 9,55 persen saham Bank Century.

Untuk menutupi surat berharga busuk tersebut, lanjut bankir Bank Mandiri itu, pemilik lama menjaminkan uang tunai USD 220 juta di Bank Dresdner, Swiss, sehingga seakan-akan lancar. ''Padahal, semua surat berharga yang dibuat orang asing itu busuk,'' ujarnya.

Kedua, kualitas kredit sangat jelek. Kre­dit tersebut, lanjut Fajar, diberikan oleh manajemen lama kepada pihak-pihak yang masih memiliki kaitan dengan para pemilik. Nah, kredit tersebut diberikan dengan agunan saham Bank Century dan surat berharga yang busuk.

''Aneh kan, orang mau kredit mestinya memberikan agunan. Nah, agunannya itu ya saham dan surat berharganya sendiri,'' katanya.

Karena diberikan sembarangan, banyak kredit yang akhirnya macet. Namun, pemilik sudah menggarong dana ratusan miliar rupiah dari kredit fiktif tersebut. ''Duit itu ternyata digunakan untuk membayar investor Antaboga (reksadana Antaboga Sekuritas) yang jatuh tempo. Jadi, duitnya itu muter-muter saja,'' jelasnya.

Ketiga, kredit ekspor atau L/C fiktif. Menurut Fajar, dalam modus tersebut, pemilik lama menerbitkan L/C fiktif dengan jaminan, lagi-lagi surat berharga milik Bank Century.

''Setelah cair, duit itu digunakan lagi untuk membayar nasabah Antaboga yang jatuh tempo. Jadi, ini tambal sulam saja. Misalnya, ada dana yang disetor nasabah Antaboga. Itu sebagian digunakan untuk ekspansi usaha pemilik lama dan sebagian dibawa ke luar negeri. Begitu ada nasabah yang jatuh tempo, duitnya diambilkan dari rekayasa keuangan di Bank Century itu juga,'' paparnya.

Keempat, fraud (penipuan) maupun biaya-biaya fiktif. Biasanya, kata Fajar, dana fiktif tersebut diatasnamakan biaya marketing ataupun renovasi yang jumlahnya mencapai miliaran rupiah.

''Penipuan ini awalnya kecil-kecil, tapi akhirnya terakumulasi menjadi besar. Saat bank akan kolaps dan harus membuat laporan keuangan, untuk menutup bolong-bolong itu, pemilik lama menggunakan dana milik seorang nasabah (Boedi Sampoerna, Red), sehingga muncullah kasus penggelapan USD 18 juta dolar itu,'' bebernya.

Dari modus-modus tersebut, kata Fajar, yang menjadi korban kejahatan para pemilik lama adalah institusi Bank Century dan nasabah Antaboga. Sebab, begitu masuk, dana nasabah Antaboga itu langsung dibawa ke luar.

''Jadi, kalau (nasabah Antaboga) melakukan klaim ke kami (manajemen baru, Red), ya kurang tepat. Sebab, kami sebenarnya di pihak yang sama, sama-sama sebagai korban. Jadi, kalau mau nuntut, ya bareng-bareng saja. Manajemen sekarang bersama nasabah Antaboga gabung untuk ngejar si pemilik lama,'' tegasnya.

Karena itu, tambah Maryono, pihaknya tetap tidak bisa membayar klaim ribuan nasabah Antaboga. Sebab, dana tersebut memang tidak ada di Bank Mutiara saat ini. Selain itu, sebagai produk investasi, nasabah Antaboga bukanlah nasabah Bank Century, tapi investor Antaboga.

''Kalau saya membayar nasabah Antaboga dengan duit Bank Mutiara, saya bisa ditangkap (dipidanakan, Red). Sebab, itu duitnya LPS selaku pemegang saham,'' ujarnya serius.

Soal klaim nasabah Antaboga yang mengaku dananya di Century dipindahkan secara sepihak oleh manajemen lama ke rekening Antaboga, Maryono meminta agar melihat kasus per kasus. ''Itu mungkin hanya ada beberapa. Kalau kasus yang seperti itu, silakan diselesaikan melalui pengadilan,'' katanya

Dirut Bank Mutiara: Tidak Benar Dana Mengalir ke Parpol untuk Biaya Kampanye

Hingga saat ini publik masih bertanya-tanya tentang aliran duit bailout Bank Century (kini Bank Mutiara). Berikut wawancara Jawa Pos dengan Dirut Bank Mutiara Maryono di kantor pusat Bank Mutiara, Gedung Sentral Senayan II lantai 22, Jumat malam (20/11).

Kabarnya, setelah bailout, dana triliunan rupiah ditarik nasabah besar. Lalu, sebagian mengalir ke partai politik untuk membiayai kampanye Pemilu 2009. Benarkah?

Itu sama sekali tidak benar.

Lantas ke mana saja dana itu?

Dari total dana yang masuk, Rp 5,3 triliun berbentuk setoran uang dan Rp 1,4 triliun lainnya dalam bentuk surat utang negara (SUN) dan surat perbendaharaan negara (SPN). Pencairannya pun bertahap, hingga 24 kali. Sekitar Rp 4,3 triliun kami gunakan untuk membayar dana pihak ketiga (DPK), dan Rp 2,3 triliun lainnya ditempatkan dalam instrumen SUN senilai Rp 900 miliar, dan SBI (Sertifikat Bank Indonesia) serta Fasbi (Fasilitas Simpanan Bank Indonesia) Rp 1,4 triliun.

Apakah Rp 4,3 triliun itu mayoritas ditarik nasabah kakap?

Bukan. Mayoritas dana tersebut justru dicairkan nasabah kecil yang simpanannya di bawah Rp 2 miliar. Kalau nasabah besar, sebagian justru bertahan (tidak mencairkan dana). Nasabah besar (memiliki simpanan di atas Rp 2 miliar) di Century berjumlah 89 dengan total simpanan Rp 3,3 triliun. Dari total tersebut, dana yang ditarik hanya Rp 890 miliar yang sebagian besar dilakukan nasabah BUMN dan dana pensiun. Sisanya dari kalangan swasta. (Kabar saat itu, nasabah BUMN yang menarik dana besar-besaran adalah PT Jamsostek dan PT Timah, Red).

Kapan penarikan dana besar-besaran dimulai?

Pada hari pertama Century diambil alih, kewajiban pada pihak ketiga dalam bentuk tabungan, deposito, dan kliring mencapai Rp 1,14 triliun. Artinya, pada hari pertama itu (diambil alih LPS 21 November 2008, Red) nasabah yang antre mencairkan dananya mencapai Rp 1,14 triliun. Kami bisa memahami karena memang saat itu kepercayaan nasabah pada Century sudah hancur.

Mengapa perhitungan bailout berubah-ubah?

Perhitungan saat penyuntikan dana pertama hingga ketiga untuk mencukupi rasio modal (CAR) Century, BI memang masih menggunakan laporan dari manajemen lama yang belum diaudit. Baru pada penyuntikan dana terakhir, BI mendapatkan laporan ke­uangan audited yang sudah final. Itu sebabnya, mengapa angkanya berubah-ubah.

Sebagai perusahaan publik, apa tidak ada laporan keuangan yang resmi?

Ketika kami masuk, yang ada adalah laporan keuangan manajemen lama yang banyak menutupi berbagai kecurangan. Laporan keuangan yang mereka buat tidak sesuai kondisi sebenarnya. Ternyata, laporan keuangan rekayasa itu dibuat manajemen lama untuk menutupi bolong-bolong Antaboga (reksadana Antaboga Sekuritas).

Apakah Century memang berdampak sistemik dan rawan bila dilikuidasi?

Begini. Saya akan beberkan kalkulasi untung rugi jika Century diselamatkan atau dilikuidasi. Ini kalkulasi dari kacamata bisnis, silakan dinilai sendiri. Saat Century kolaps, jumlah simpanan milik nasabah kecil (di bawah Rp 2 miliar) mencapai Rp 5,2 triliun. Artinya, jika bank dilikuidasi, jumlah itulah yang harus dibayar LPS (Lembaga Penjamin Simpanan). Jika itu dibayarkan, duit LPS akan hilang.

Kalau diselamatkan?

LPS memang harus menyuntikkan dana hingga Rp 6,7 triliun. Namun, duit LPS tersebut tidak serta merta hilang karena dihitung sebagai penyertaan modal. Selan itu, Rp 2,3 triliun di antaranya masih utuh dalam bentuk SUN dan SBI serta Fasbi. Karena itu, biaya yang sebenarnya digunakan adalah Rp 4,3 triliun. Perlu dicatat, ini bukan bailout, tapi penyertaan modal sementara. Duitnya pun bukan dari pemerintah, tapi hasil pembayaran premi perbankan nasional.

jawapos.com