Kamis, 08 Juli 2010

Bailout Century Sarat dengan Pelanggaran

Audit investigatif Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) atas kasus PT Bank Century Tbk (kini Bank Mutiara) akhirnya tuntas. Meski tidak dilengkapi laporan aliran dana talangan (bailout), audit investigatif tersebut cukup gamblang membeber kasus Bank Century. Mulai proses merger hingga bailout yang dinyatakan sarat dengan pelanggaran.

Ketua BPK Hadi Poernomo menyatakan, audit investigatif terhadap Bank Century tersebut merupakan tindak lanjut permintaan resmi DPR yang dilayangkan pada 1 September lalu. ''Saya tegaskan, tidak ada tekanan apa pun, baik dari institusi maupun perorangan, dalam proses audit ini,'' tegasnya setelah menyerahkan laporan hasil audit investigatif kepada pimpinan DPR di Gedung Nusantara III DPR kemarin (23/11).

Menurut dia, hasil audit investigatif tersebut menunjukkan berbagai dugaan pelanggaran yang dilakukan pihak-pihak terkait. Mulai pemilik lama Bank Century, Bank Indonesia (BI), hingga Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK). ''Berbagai pelanggaran dilakukan sejak proses merger tiga bank menjadi Bank Century hingga pengucuran dana bailout,'' katanya.

Dalam ringkasan audit yang dibacakan Hadi, BPK menemukan dugaan pelanggaran yang terbagi dalam lima bagian. Pertama, proses merger dan pengawasan Bank Century oleh BI. Poin kesatu menyebutkan, dalam proses merger Bank Danpac, Bank Pikko, dan Bank CIC menjadi Bank Century, BI dinilai tidak tegas dan tidak bersikap prudent dalam menerapkan aturan serta persyaratan yang ditetapkan sendiri.

Poin kedua berbunyi, BI tidak bertindak tegas terhadap pelanggaran Bank Century selama 2005-2008. Misalnya, tidak menempatkan Bank Century sebagai bank dalam pengawasan khusus, meski rasio kecukupan modalnya atau capital adequacy ratio (CAR) minus 132,5 persen saat itu.

Tidak tegasnya tindakan BI, menurut BPK, juga terlihat dari pemberian keringanan sanksi denda atas pelanggaran posisi devisa netto (PDN) sebesar 50 persen atau Rp 11 miliar. ''BI juga tidak mengenakan sanksi pidana atas pelanggaran BMPK (batas maksimum pemberian kredit),'' terang Hadi.

Bagian kedua yang menjadi objek audit BPK adalah periode pemberian fasilitas pendanaan jangka pendek (FPJP). Dalam proses tersebut, kata dia, BI patut diduga mengubah persyaratan CAR dalam Peraturan BI untuk merekayasa agar Bank Century memperoleh FPJP senilai Rp 689 miliar.

Saat pengucuran FPJP itu, CAR Bank Century sebetulnya minus 3,53 persen. Dengan demikian, kucuran FPJP tersebut melanggar ketentuan PBI No 10/30/PBI/2008 yang menyatakan bahwa bank yang dapat mengajukan FPJP adalah bank dengan CAR positif. Selain itu, nilai jaminan FPJP yang diperjanjikan hanya 83 persen, sehingga melanggar ketentuan PBI yang menyatakan bahwa jaminan dalam bentuk aset kredit minimal 150 persen dari plafon FPJP.

Bagian ketiga dalam penanganan Bank Century yang menurut BPK sarat pelanggaran adalah proses penetapan Bank Century sebagai bank gagal yang berdampak sistemik dan penanganannya oleh LPS (Lembaga Penjamin Simpanan). Lagi-lagi, BI diduga menjadi pihak yang melakukan banyak pelanggaran.

Menurut Hadi, dalam proses pengambilan keputusan, BI tak memberi informasi sesungguhnya, lengkap, dan mutakhir kepada KSSK. ''Akibatnya, biaya penanganan Bank Century yang semula diperkirakan Rp 632 miliar membengkak hingga Rp 6,7 triliun,'' ujarnya.

Informasi yang tidak diberikan seutuhnya adalah terkait PPAP (penyisihan penghapusan aktiva produktif) atas SSB (surat-surat berharga) valas yang mengakibatkan penurunan ekuitas yang menurunkan CAR dan meningkatkan biaya penanganan.

Pelanggaran lain dalam proses penyelamatan Bank Century adalah BI dan KSSK tidak memiliki kriteria terukur dalam menetapkan dampak sistemik. ''Tapi, penetapannya lebih didasarkan pada judgment,'' jelas Hadi.

Selain itu, Komite Koordinasi (KK) yang beranggota Menteri Keuangan Sri Mulyani (sebagai ketua), Gubernur BI (saat itu) Boediono (sebagai anggota), dan Ketua Dewan Komisioner LPS Rudjito (sebagai anggota) belum pernah dibentuk berdasar UU. ''Itu bisa memengaruhi status hukum atas kelembagaan KK dan penanganan Bank Century oleh LPS,'' tegasnya.

Terkait penyaluran penyertaan modal sementara (PMS) sebesar Rp 6,7 triliun oleh LPS melalui empat tahap, penyaluran kedua sebesar Rp 2,2 triliun tidak dibahas dengan KK. Itu bertentangan dengan UU LPS. ''LPS juga diduga merekayasa perubahan peraturan agar Bank Century memperoleh tambahan PMS,'' tuturnya.

Audit BPK juga menyorot legalitas suntikan dana LPS. Sebab, rapat paripurna DPR sudah menolak Perppu No 4/2008 tentang Jaring Pengaman Sistem Keuangan (JPSK). Jadi, penyaluran PMS setelah 18 Desember 2008, yakni Rp 1,101 triliun (tahap 2); Rp 1,155 triliun (tahap 3); dan Rp 630 miliar (tahap 4) tidak memiliki dasar hukum.

Bagian keempat yang masuk audit investigatif adalah penggunaan dana FPJP dan PMS. Audit BPK menyebutkan, penarikan dana pada periode Bank Century oleh pihak terkait dalam pengawasan khusus (6 November 2008-11 Agustus 2009) sebesar ekuivalen Rp 938,65 miliar melanggar ketentuan Peraturan BI.

Selain itu, Bank Century mengalami kerugian karena mengganti deposito milik Boedi Sampoerna (nasabah) yang digelapkan senilai USD 18 juta dengan dana PMS. Pemecahan deposito milik Boedi Sampoerna senilai USD 42,8 juta oleh Bank Century menjadi 247 deposito dengan nilai masing-masing Rp 2 miliar merupakan akal-akalan pemilik lama untuk mengantisipasi jika Bank Century ditutup, sehingga deposito Boedi Sampoerna bisa dijamin LPS.

Dalam kesempatan tersebut, BPK menyatakan tidak memberikan laporan tentang aliran rinci dana bailout karena terkendala pasokan data dari Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK). ''Undang-undang PPATK hanya memperbolehkan data disampaikan kepada penyidik, bukan kepada pihak lain, termasuk BPK,'' jelas Hadi.

Lalu, bagaimana tanggapan Menkeu Sri Mulyani Indrawati? Sebagai ketua KSSK, Sri Mulyani memang menjadi salah satu pihak yang paling bertanggung jawab atas keputusan penyelamatan Bank Century. Sayangnya, dia tutup mulut. ''Besok saja saya jelasin,'' katanya singkat saat dicegat di Gedung Depkeu.

Siang kemarin, Sri Mulyani memang mengundang Kepala Eksekutif LPS Firdaus Djaelani membahas hasil audit BPK. Senada dengan Sri, Firdaus juga enggan berkomentar. ''Nanti sore atau besok, kami akan berikan jawaban resmi,'' ujarnya.

jawapos.com

Memberantas (Polisi) Korup

Oleh: Adnan Topan Husodo*

Reformasi Polri yang telah berjalan 10 tahun tidak berpengaruh signifikan terhadap profesionalisme aparat baju cokelat itu. Berbagai kasus kekerasan Polri terhadap masyarakat masih kerap terjadi. Laporan atas rekayasa penanganan kasus terus bermunculan dan skandal besar yang melibatkan pati (perwira tinggi) Polri justru timbul silih berganti.

Terakhir, gonjang-ganjing rekening gendut yang dimiliki salah seorang pati Polri menjadi menu utama yang paling disorot publik. Kasus itu meledak saat HUT Ke-64 Polri, sebuah kado yang tidak enak.

Ada beberapa faktor yang membuat agenda pembenahan Polri tidak berjalan mulus. Dugaan korupsi sehingga bisa menggelembungkan pundi-pundi kekayaan pati Polri, misalnya, mengarahkan pada ingatan bahwa mafia hukum masih kukuh menjerat markas Trunojoyo. Kasus Gayus Tambunan barangkali hanya secuil perkara yang mewakili berbagai transaksi ilegal yang dilakukan anggota Polri dengan para ''pembeli'' kepentingan.

Jika miliaran rupiah bisa ditimbun, kita dapat membayangkan bahwa praktik beking terhadap pembalakan liar, penambangan liar, penyelundupan manusia, penanganan kasus pencucian uang, hingga kejahatan pajak menjadi sumber utamanya.

Barangkali, profesi sebagai aparat penegak hukum seperti polisi merupakan pekerjaan yang paling rentan godaan. Sebagaimana disebutkan Adrianus Meilala (2005), mantan staf ahli Kapolri, penyebab utama profesi polisi mudah diselewengkan adalah karena pekerjaan sebagai penegak hukum bersifat soliter, sangat otonom dan sewaktu-waktu dapat bertindak berdasar pertimbangan pribadi.

Unsur subjektivitas yang kuat dalam menjalankan fungsi sebagai penegak hukum mengondisikan penyimpangan. Di samping itu, sebagai aparat penegak hukum, polisi memiliki kewenangan diskresional yang tak terbatas.

Sebagaimana rumusan sederhana kejahatan korupsi Robert Klitgaard, korupsi adalah perpaduan antara kekuasaan diskresional dan monopoli kewenangan minus akuntabilitas (corruption = discretion + monopoly - accountability).

Karena itu, tak heran jika kecenderungan sewenang-wenang menjadi tak terbendung. Sangat mudah menangkap orang, menahan, menetapkan sebagai tersangka, menakut-nakuti, mengancam, melakukan kekerasan, serta berdamai dalam penanganan kasus dalam situasi yang keputusannya diambil tanpa mekanisme pertanggungjawaban.

Derajat akuntabilitas tugas Polri yang tidak memadai bisa kita periksa dalam sistem yang mengatur mereka. Secara internal, memang kita melihat ada beberapa instrumen untuk mengan­tisipasi penyelewengan fungsi.

Ada mekanisme dewan kehormatan perwira, irwasum, dan propam yang menjalankan fungsi kontrol atas pekerjaan pokok Polri. Tapi, dalam situasi yang tingkat penyimpangannya sudah menjalar hingga ke pucuk pimpinan, mustahil menyandarkan fungsi kontrol pada mekanisme internal.

Kompolnas (Komisi Polisi Nasional) yang dibentuk juga tak bertaring sebagai pengawasan eksternal. Gagasan awalnya, Kompolnas menjadi lembaga pengawas eksternal yang independen yang wewenangnya dapat memeriksa secara mandiri atas dugaan penyimpangan aparat kepolisian. Namun, postur ideal Kompolnas tak tercapai karena posisi Kompolnas dalam skema yang dibangun justru menjadi sebatas lembaga di bawah presiden yang memiliki tugas pokok memberikan saran dan masukan.

Mencari Jalan Keluar

Dengan pertimbangan bahwa sistem yang dibangun tak memadai sebagai mekanisme checks and balances dalam pelaksanaan kerja-kerja Polri, perlu ada gagasan lain yang bisa memperkuat agenda reformasi di tubuh kepolisian. Seandainya diserahkan kepada Mabes Polri, agenda perbaikan polisi ini bisa dibilang sebagai langkah konyol. Memercayai reformasi Polri dan pengawasannya dilakukan secara internal oleh polisi sama saja dengan membiarkan jatuhnya kredibilitas Polri di mata publik.

Tak bisa dimungkiri, membenahi Polri memang membutuhkan komitmen yang serius dari berbagai pihak. Karena tugas memperbaiki tatanan di kepolisian telah menjadi pekerjaan rumah bersama, peran -terutama- DPR dan presiden sangat diharapkan. Memperkuat pengawasan eksternal yang independen adalah salah satu solusinya.

Dengan wewenang legislasinya, DPR dan presiden bisa memperkuat posisi Kompolnas daripada menciptakan lembaga ad hoc seperti Satgas Pemberantasan Mafia Hukum yang kurang bergigi. Kompolnas yang ideal semestinya berada di luar lembaga eksekutif, independen, memiliki wewenang untuk mengawasi dan memeriksa skandal yang dilakukan -khususnya- perwira polisi, dan komposisinya mewakili kepentingan publik luas.

Presiden juga harus dapat memastikan perbaikan di lembaga penegak hukum itu dengan melakukan penyegaran yang radikal pada posisi-posisi strategis di Polri dengan para perwira Polri yang reformis.

Pemikiran lain yang bisa disodorkan, wewenang Polri dalam menangani kasus perlu dibatasi, tidak seperti sekarang yang demikian luas. Asumsinya, anggota Polri kerap bermain mata dalam penanganan kasus-kasus besar. Untuk kasus korupsi misalnya, akan lebih baik jika Polri tak lagi menangani karena sudah ada kejaksaan dan KPK. Selain bisa mempersingkat birokrasi penanganan kasus korupsi, hal tersebut ditujukan untuk mengantisipasi lempar tanggung jawab antarpihak. Misalnya, bolak-balik berkas perkara korupsi dari kepolisian ke kejaksaan.

Terakhir, KPK harus mengambil inisiatif untuk menjadikan aparat penegak hukum sebagai fokus dalam pemberantasan korupsi. Laporan rekening fantastis milik pati Polri bisa dijadikan pintu masuk untuk mendorong bersih-bersih di tubuh kepolisian. Kita berharap KPK tidak ragu untuk masuk ke wilayah yang selama ini tak disentuhnya. Jika KPK saja tak sanggup, tentu harapan publik terhadap perbaikan lembaga penegak hukum akan menjadi sirna. (*)

*) Adnan Topan Husodo, wakil koordinator ICW
sumber : www.jawapos.com