Minggu, 06 Desember 2009

Markus dan Etika Profesi Hukum

Oleh: Fatria Khairo, STP, SH, MH

Staf Pengajar di Sekolah Tinggi Ilmu Hukum Sumpah Pemuda (STIHPADA) Palembang
SEKARANG ini istilah Markus (makelar kasus) seolah menjadi  pembicaraan hangat, meskipun di kalangan tertentu kata-kata tersebut sudah sangat akrab. Kemunculan markus dalam kasus Cicak Vs Buaya membuat markus seolah diibaratkan fenomena snowball, yang semakin lama semakin kuat dan akhirnya menghantam dan meluluhlantakkan segala apa yang ada disekitarnya. Jika hal itu benar-benar terjadi, maka jangan-jangan para cenayang pun suatu hari akan terkena “bola salju made in markus” tanpa sempat meramalkannya terlebih dahulu. Kalau sudah begitu tidak tahu lagi apa yang akan terjadi.
Sebelum semua itu akan memuncak, sepertinya kita harus balik lagi ke titik awal dalam kancah berfikir, kenapa markus bisa ada di negeri kita tercinta ini? Mungkin dengan pertanyaan sederhana tersebut kita bisa mendapatkan jawaban yang sederhana pula sehingga mudah untuk dicerna oleh siapapun. Berpijak kepada teori penegakan hukum Soerjono Soekamto, faktor-faktor penegakan hukum atau yang lebih dikenal dengan istilah law enforcement yaitu: 1.   
Faktor hukumnya sendiri, yaitu peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia. 2.    Faktor penegak hukum, yakni pihak-pihak yang membentuk maupun menerapkan hukum. 3. Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum. 4. Faktor masyarakat, yakni lingkungan dimana hukum tersebut berlaku atau diterapkan. 5. Faktor kebudayaan, yakni sebagai hasil karya, cipta dan rasa yang didasarkan pada karsa manusia di dalam pergaulan hidup.
Saat ini yang menjadi sorotan yang sangat-sangat menyedot perhatian setiap orang adalah faktor penegak hukum, terutama kasus Cicak versus Buaya. Ruang lingkup penegak hukum sangat luas sekali, oleh karena mencakup mereka yang secara langsung dan secara tidak langsung berkecimpung di bidang penegakan hukum.  Di dalam tulisan ini, maka yang dimaksud dengan penegak hukum akan dibatasi pada kalangan yang secara langsung berkecimpung dalam bidang penegakan hukum yang tidak hanya mencakup law enforcement, akan tetapi juga peace maintenance. Kiranya sudah dapat diduga bahwa kalangan tersebut mencakup mereka yang bertugas di bidang kehakiman, kejaksaan, kepolisian, advokat dan lembaga pemasyarakatan atau yang dikenal dengan Criminal Justice System.
Kembali pada permasalahan adanya Markus, tidak lain adalah seperti pada perkataan bang napi, mengutip dari salah satu acara di salah satu televisi swasta. Kata Bang NAPI: “Kejahatan terjadi bukan hanya karena ada niat pelaku, tapi kejahatan bisa terjadi karna ada kesempatan, waspadalah! waspadalah!”
Bahwa timbulnya Markus tidak lain dikarenakan adanya kesempatan.  Kesempatan apa yang dapat timbul dari masalah ini, tidak lain adalah karena kesempatan yang ditimbulkan dari para aparat penegak hukum sendiri. Sehingga keberadaan markus makin merajalela melenggang dalam pengadilan. Sebenarnya pengaturan untuk mencegah terjadinya markus sebenarnya sudah ada yaitu dengan adanya kode etik pada tiap aparat penegak hukum atau kita lebih kenal dengan Etika Profesi Hukum.
Seharusnya para aparat penegak hukum harus merenungkan kembali apa itu etika profesi hukum yang akhirnya terejawantah dalam kode etik profesi hukum. Istilah etika berhubungan dengan tingkah laku manusia dalam pengambilan keputusan moral. Sedangkan profesi adalah bidang pekerjaan yang dilandasi keahlian, keterampilan, kejuruan tertentu. Sedangkan kode etik adalah norma dan asas yang diterima oleh suatu kelompok tertentu sebagai landasan tingkah laku. Keduanya memiliki kesamaan dalam hal etika moral yang khusus diciptakan untuk kebaikan jalannya profesi yang bersangkutan dalam profesi hukum.
Hubungan etika dengan profesi hukum, bahwa etika profesi adalah sebagai sikap hidup, yang mana berupa kesediaan untuk memberikan pelayanan profesional di bidang hukum terhadap masyarakat dengan keterlibatan penuh dan keahlian sebagai pelayanan dalam rangka melaksanakan tugas yang berupa kewajiban terhadap mayarakat yang membutuhkan pelayanan hukum dengan disertai refleksi yang seksama. Dan oleh karena itulah dalam melaksanakan profesi terdapat kaidah-kaidah pokok berupa etika profesi yaitu sebagai berikut;
1. Profesi harus dipandang sebagai pelayanan dan oleh karena itu sifat “tanpa pamrih” menjadi ciri khas dalam mengembangkan profesi.
2. Pelayanan profesional dalam mendahulukan kepentingan pencari keadilan mengacu pada nilai-nilai luhur.
3. Pengembangan profesi harus selalu berorientasi pada masyarakat sebagai keseluruhan.
4. Persaingan dalam pelayanan berlangsung secara sehat sehingga dapat menjamin mutu dan peningkatan mutu pengemban profesi.
Sinergiditas antara etika profesi dan kode etik adalah seperti  kita ambil dari Yap Thiam Hiem, dalam bukunya “Masalah Pelanggaran Kode Etik Profesi Dalam Penegakan Keadilan dan Hukum”, maksud dan tujuan kode etik ialah untuk mengatur dan memberi kualitas kepada pelaksanaan profesi serta untuk menjaga kehormatan dan nama baik organisasi profesi serta untuk melindungi publik yang memerlukan jasa-jasa baik profesional.  Kode etik jadinya merupakan mekanisme pendisiplinan, pembinaan, dan pengontrolan etos kerja anggota-anggota organisasi profesi.”
Jangan Ada Celah
Dari uraian di atas sesungguhnya Markus tersebut seharusnya sudah tidak dapat lagi hadir dalam criminal justice system kita, jika para unsur catur wangsa (hakim, jaksa, polisi, advokat) penegak hukum di Indonesia telah benar-benar comit dengan kode etik masing-masing. Dengan kata lain jangan ada celah-celah kecil yang makin lama makin meluas (efek kapilaritas) yang akhirnya dapat mengaburkan suatu permasalahan yang sedang terjadi. 
Persoalan yang menyeruak dan menjangkiti hukum di Indonesia saat ini lebih disebabkan karena terjadinya degradasi moral dalam tubuh aparatur penegak hukum kita. Dalam benak penulis, momentum saat ini dapat menjadi langkah awal pemerintah bersama jajaran institusi penegak hukum, akademisi hukum dan pihak lain terkait penegakan hukum, untuk merekonstruksi kode etik profesi hukum dimana substansinya harus jauh lebih accountable (tanggung jawab). Lebih tegas menutup celah-celah penyelewengan hukum, sangat jelas dan transparan serta menjunjung tinggi nilai kejujuran. Pembenahan etika aparatur penegak hukum seharusnya menjadi salah satu agenda pemerintah dalam mereformasi institusi penegak hukum. 
Jadikan kode etik sebagai pedoman dalam melaksanakan tugas profesi hukum yang tidak lain adalah untuk selalu mengacu pada tujuan hukum  yang tidak lain adalah mewujudkan ketertiban yang berkeadilan, yang bertumpu pada penghormatan martabat manusia. Jika boleh meminjam risalahnya Umar bin Khattab kepada Musa Al-AsyÆari, “Samaratakanlah manusia dalam majelismu, dalam pandanganmu, dalam putusanmu, sehingga orang berpangkat tidak mengharapkan penyelewenganmu, dan orang lemah tidak putus asa mendambakan keadilanmu.”

Sumber : sripoku

Sabtu, 05 Desember 2009

Pemimpin Arab perlu belajar dari Chavez

Sayyid Hassan Nasrallah 
 
 

Sekretaris Jendral Hizbullah, Sayyid Hassan Nasrallah, yang dinilai sebagai pemimpin paling populer di dunia Arab, berpidato di depan massa pendukungnya di Libanon dalam sebuah konferensi-video pada 7 Januari 2008. Berikut adalah sebagian dari isi pidatonya.
Kebenaran yang brutal, kebenaran tentang kebrutalan dan permusuhan dan rasisme Israel harus menjadi motif tambahan untuk meneruskan sikap kita yang menolak mengakui entitas Zionis.
Saudara dan saudariku yang tercinta,
Memutus hubungan dengan Israel dan menghentikan normalisasi hubungan dengan Israel dan menyatakan bahwa negeri itu sesungguhnya saat ini melakukan pembantaian di Gaza adalah hal termudah yang dapat kita lakukan sebagai kewajiban kita.
Inilah hal termudah yang dapat dilakukan para pemimpin dan rakyat di wilayah ini. Kemarin, Presiden Venezuela Hugo Chavez mengumumkan bahwa ia akan mengusir duta besar Israel di Venezuela. Dia, tentunya, melakukan ini untuk menunjukkan dukungannya terhadap rakyat Palestina. Venezuela sangat dekat dengan Amerika, ia adalah tetangga Amerika. Ini adalah Chavez. Ia melakukan ini karena rasa kemanusiaannya, jiwa revolusinya dan, dengan begitu, ia melepaskan pukulan telak kepada mereka yang saat ini menerima duta besar Israel di ibukota-ibukota mereka dan tidak memiliki cukup keberanian bahkan untuk meminta mereka pergi.
Kini, pemimpin Arab butuh belajar dari pemimpin Amerika Latin ini. Mereka harus mempelajari bagaimana menunjukkan dukungannya terhadap rakyat Palestina.
Saudara dan saudariku yang tercinta,
Entitas kriminal ini harus dihukum atas pembunuhan yang dilakukannya dan ia seharusnya tidak diberikan imbalan apa pun. Entitas ini harus tidak diberikan keuntungan setelah melakukan begitu banyak kejahatan di Gaza dan setelah membunuh begitu banyak orang, wanita dan anak-anak.
Saya yakinkan Anda bahwa rakyat Umat kita akan menghukum entitas ini dan akan menghukum pemimpin entitas ini karena kejahatan yang telah mereka lakukan. Orang-orang ini, pemimpin-pemimpin ini telah selalu menyepelekan aksi-aksi Israel. Rakyat wilayah ini tidak dapat memaafkan Israel dan tanggung jawab pemerintahan Arab hari ini adalah untuk berdiri berdampingan dengan rakyat dan pejuang perlawanan di Palestina dan tidak berperan sebagai penengah antara rakyat Palestina dan penjajahnya.
Para pemimpin Arab harus menolong para pejuang perlawanan untuk mencapai tujuannya, untuk menghentikan kampanye militer dan menghentikan pengepungan dan harus tidak memaksa para pejuang untuk menerima persyaratan memalukan yang diajukan Israel.
Kemarin, seorang pejabat Mesir mengatakan sesuatu yang menarik. Ia bertanya 'Apakah Dewan Keamanan membutuhkan lebih dari 650 syuhada dan lebih dari 2.500 orang terluka untuk membuat keputusan dan beraksi secara bertanggung jawab?' Ini adalah perkataan yang enak untuk didengar dan saya hendak menanyakan pejabat Mesir ini apakah rejim Mesir membutuhkan lebih dari 650 syuhada dan lebih dari 2.500 orang terluuka sebelum ia secara permanen membuka perlintasan perbatasan Rafah untuk menolong agar rakyat Gaza bisa berdiri dengan tegar dan mencapai kemenangan? Pertanyaan sama yang kau tanyakan kepada Dewan Keamanan, kini kutanyakan kepadamu. Saya di sini sedang bicara kepada pejabat Mesir itu.
Yang dibutuhkan dari Mesir hanyalah membuka perlintasan perbatasan, bukan untuk menyatakan perang. Kemarin saya diberitahu beberapa kolega saya bahwa sekelompok pengacara Mesir, yang loyal kepada rejim Mesir, telah benar-benar mengajukan tuntutan hukum terhadap saya secara pribadi. Mereka mengajukan tuntutan ke Sidang Pengadilan Internasional (International Court of Justice) karena pidato saya pada malam pertama peringatan Ashura ketika saya berseru kepada pemimpin Mesir untuk membuka perlintasan perbatasan Rafah dan berseru kepada rakyat Mesir dan angkatan bersenjata Mesir untuk mendesak rejim Mesir agar mengambil langkah positif. Mereka menilai bahwa perkataan saya tidaklah pantas dan merupakan sebuah seruan untuk revolusi demi menjatuhkan rejim Mesir.
Itu hanyalah seruan untuk membuka perlintasan perbatasan Rafah tapi, walau begitu, saya bangga dengan seruan saya itu. Saya bangga karena tuntutan hukum ini diajukan terhadap saya, terutama karena itu berasal dari mereka yang tidak mengambil langkah apa pun setelah pembantaian Israel ini dilaksanakan di Libanon dan di Jabaliya dan di Palestina dan bahkan ketika kaum Zionis melakukan pembantaian terhadap tentara Mesir, para tentara Mesir yang heroik.
Ketika tuntutan hukum diajukan terhadap saya karena pendirian saya dan karena saya berdiri di samping mereka yang ditindas dan dibunuh di Gaza, ini adalah hal yang membuat saya bangga. Saya bangga bahwa orang-orang ini mengajukan tuntutan hukum kepada saya karena saya mengambil pendirian ini. Saya bangga akan hal ini dan saya akan bangga akan hal ini di akhirat nanti.
Tapi saya hendak mengatakan kepada Anda dengan sejujur-jujurnya bahwa kita tidak berupaya menciptakan permusuhan. Kita bukanlah musuh. Kita tidak akan membangun hubungan permusuhan dengan mereka yang berkolaborasi melawan kami, yakni kaum Arab yang berkolaborasi melawan kami saat perang pada bulan Juli 2006 dan mereka yang menuduh kami dan berperan menumpahkan darah kami. Kami tidak akan menjadi musuh mereka tapi kami akan menjadi musuh mereka-mereka yang berkolaborasi melawan rakyat Gaza.
Saya ulangi, kami akan menjadi musuh dari mereka yang berkolaborasi melawan Gaza dan melawan rakyat Gaza dan melawan perjuangan perlawanan Gaza. Kami akan menjadi musuh dari mereka yang mengambil bagian menumpahkan darah rakyat Gaza dan mereka yang menutup pintu kehidupan dari rakyat Gaza.
Saudara dan Saudariku yang tercinta,
Kami juga kemarin mendengar dari John Bolton, seorang Zionis yang sebelumnya menjabat dalam pemerintahan Amerika dan kini sedang frustasi. John Bolton menunjukkan tujuan sesungguhnya dari Amerika dan kaum Zionis. Tujuan sesungguhnya adalah, katanya, menghancurkan perjuangan Palestina. Ia bicara tentang memisahkan Tepi Barat dengan Gaza. Ia bicara tentang mengakhiri usulan dua-negara dengan mempertahankan negara Israel dan memberikan sebagian Tepi Barat ke Yordania dan memberikan Jalur Gaza ke Mesir.
Saya katakan kepada Anda bahwa ini benar-benar rencana Amerika-Zionis. Semua pembicaraan yang kita dengar sebelumnya tentang solusi dua negara adalah omong kosong. Klaim semacam itu adalah kebohongan dan penipuan belaka karena setiap kali mereka benar-benar menentukan batas-batas negara Palestina, mereka tidak memberikan rakyat Palestina teritori yang bisa dijadikan sebuah negeri. Mereka kemudian mengatakan bahwa kami tidak bisa mendirikan dua negara dan maka solusinya adalah untuk menghapuskan perjuangan Palestina.
Ini membutuhkan, pada tingkat pertama, sekali lagi sebuah seruan untuk bersatu. Sekali lagi, kami tekankan pentingnya persatuan Palestina dalam semua bentuknya, semua faksi Palestina, Hamas, Fatah, Jihad Islam, semua faksi-faksi Palestina harus berdiri bersatu karena perjuangan mereka kini sedang menjadi target.
Mereka kini berupaya untuk menghancurkan perjuangan ini, tapi Insya Allah itu tidak akan terjadi. Mereka tidak mencoba menghancurkan pemerintahan Fatah, Hamas dan faksi-faksi lainnya. Mereka kini sedang berupaya menghancurkan seluruh perjuangan Palestina dan maka ini, sekali lagi, mengharuskan kita untuk menekankan pentingnya mendukung perlawanan dan ketegaran Gaza.
Saudara dan saudariku tercinta,
Pengalaman perang bulan Juli 2006 dan pengalaman perjuangan perlawanan Palestina di Jalur Gaza hingga kini telah memberikan indikasi jelas bahwa dibutuhkan strategi pertahanan yang tepat, baik di Palestina maupun Libanon.
Sebagai salah satu angkatan bersenjata terkuat di dunia, angkatan bersenjata Israel, yang memiliki angkatan udara terkuat di wilayah ini, tidak mampu mencapai tujuan-tujuannya meskipun melawan sebuah kekuatan perlawanan yang sangat sangat kecil yang kekurangan kemampuan tapi memiliki tekad yang kuat dan beroperasi dalam wilayah geografik yang sangat sangat kecil.
Ini menunjukkan bahwa alternatif perlawanan bersenjata kerakyatan yang didasarkan atas keyakinan, kegigihan, dan dukungan rakyat adalah cara terbaik untuk menghadapi angkatan bersenjata yang terkuat di dunia sekalipun bila mana angkatan bersenjata tersebut menjajah suatu negeri. Ini memperbesar keyakinan kami dan mempengaruhi kami dalam jalan yang sedang kita tempuh.
Lihatlah saudara dan saudariku tercinta, bahkan Dewan Keamanan dan keputusan yang dibuatnya dan bahkan komunitas internasional telah terbukti tidak mampu melindungi rakyat Palestina di Gaza dan tidak mampu mengutuk pembantaian yang dilakukan terhadap sebuah sekolah yang dimiliki oleh salah satu komite Perserikatan Bangsa Bangsa...
Bagaimana bisa Dewan Keamanan, yang tidak mampu mengutuk pembantaian yang dilakukan oleh kaum Zionis terhadap perempuan dan anak-anak, melindungi rakyat dan bagaimana ia dapat benar-benar menunjukkan dirinya berbuat adil dalam kasus yang spesifik.
Saudara dan saudariku yang tercinta,
Yang sedang terjadi saat ini menguatirkan kita semua. Saya tahu bahwa di Libanon, mata di wilayah ini sedang melihat ke Anda. Kita semua berada dalam tahap yang sensitif dalam sejarah. Saya katakan kepada Anda bahwa kita belum tahu seberapa besar pengaruh rencana ini, dampak dan jangkauan luas rencana Zionis-Amerika dan pengaruh kolaborasinya. Kita semua harus waspada dalam tiap saat karena apa pun mungkin terjadi. Kita harus berhati-hati dan mengamati perkembangan.
Kemarin pun Olmert menyatakan bahwa hari ini adalah perang melawan Hamas dan esok akan ada perang melawan Hizbullah. Saya akan katakan kepadamu Olmert, sebagai orang yang menemui kegagalan di Libanon, bahwa kau tidak akan mampu menghancurkan Hamas dan kau tidak akan mampu menghancurkan Hizbullah.
Beberapa hari lalu dan bahkan beberapa minggu lalu dan bahkan sebelum ofensif ke Gaza dan setelah ofensif militer ke Gaza, selama keseluruhan periode ini, kita telah mendengar ancaman-ancaman. Seseorang mengatakan bahwa ia hendak menghancurkan kita dalam hitungan hari dan seseorang lainnya berkata ia hendak menghancurkan kita dalam hitungan jam. Saya katakan kepada orang-orang ini bahwa kita tidak dapat dilemahkan dan kita tidak dapat ditakut-takuti dan kita tidak dapat dibuat menyerah dan kita tidak akan menyerah. Kita tidak akan takut terhadap angkatan udaramu dan ancamanmu. Kita tidak akan diteror oleh pesawat-pesawat perangmu. Kita di sini dan kita siap menghadapi perkembangan, peristiwa atau ofensif apa pun yang dapat dilancarkan.
Dan saya tidak akan mengulangi lagi apa yang telah saya katakan sebelumnya. Bila kau datang ke wilayah kami, bila kau mendatangi kampung-kampung, gang-gang dan rumah-rumah, saya akan meresponnya dengan sebuah kalimat sederhana -- kaum Zionis akan menemukan kenyataan bahwa bila mereka mengambil langkah seperti perang Juli (2006) lalu, perang yang lalu itu akan seperti bermain-main dibandingkan perang berikutnya.
Kita di sini dan kita tidak akan menyerahkan senjata kita. Perlawanan kita masih akan menjadi tema utama pengorbanan kita dan darah para syuhada kita dan saya berharap agar suara-suara yang kita dengar di Libanon akan benar-benar memberi Israel kelegaan. Beberapa orang tertentu mengatakan bahwa Hizbullah akan bertindak melawan Israel. Saya lebih memilih agar orang-orang Libanon itu merespon ancaman Israel terhadap Libanon dan terhadap pejuang perlawanan Libanon dan terhadap Hizbullah di Libanon.
Mengapa ketika kaum Zionis mengambil langkah apa pun dan menunjukkan agresinya, kita tidak mendengar respon apa pun, tapi ketika beberapa orang berbicara tentang kemungkinan perang, banyak yang segera mengintervensi dan berupaya melegakan Israel dan meyakinkan Israel bahwa Hizbullah tidak akan mengambil langkah apa pun. Suara-suara ini, respon-respon ini terdengar di saat Libanon sedang diancam dan rakyat Palestina sedang dibunuhi.
Saudara dan saudariku yang tercinta,
Pada hari ke sepuluh Muharram, di tengah-tengah tantangan-tantangan tersebut, kita membutuhkan semangat, visi dan kebijakan Hussein (A.S.). Kita juga membutuhkan Hussein dan Allah untuk menerima kita. Kita membutuhkan Hussein untuk menjaga agar kaki kita tetap berpijak di tanah. Kita membutuhkan semangat Hussein, kecintaannya akan syuhada.
Sebagaimana kita katakan selama dekade-dekade sebelumnya, kita selalu bersama Hussein dan kita siap untuk mengorbankan diri dan jiwa kita seperti halnya saudara-saudara kita mengorbankan jiwa mereka.
As we said during previous decades, we were with Hussein always and we were ready to sacrifice ourselves and our souls just like our brothers sacrifices themselves.
Kita selalu siap menempuh kesusahan dan kematian anak-anak kita, orang-orang yang kita cintai, demi perjuangan yang kita yakini, demi membela kehidupan yang berwibawa dan terhormat. Peristiwa selama beberapa tahun terakhir telah membuktikan keteguhan hati kita dan bahwa arah yang kita tuju adalah benar, dan bahwa alternatif kita adalah alternatif yang benar.
Sekali lagi kita memberikan penghormatan kita kepada pengorbanan Imam Hussein dan menyatakan bahwa turun-temurun lelaki dan perempuan yang setiap harinya mengulang-ngulangi slogan yang kita ketahui bersama tidaklah dapat dikalahkan dan tidak dapat diteror oleh ancaman apa pun selama suara mereka selalu memanggil. Kami berkata bahwa kami akan menjawab panggilanmu Imam Hussein.
Israel adalah musuh kita dan musuh Umat dan akan selalu menjadi musuh bahkan bila beberapa pihak berekonsiliasi dengan Israel. Amerika menciptakan Israel dan melindungi Israel dan maka oleh karena itu adalah musuh Umat dan akan selalu menjadi musuh bahkan bila beberapa pihak berekonsiliasi dengan Amerika.
Saya berterimakasih sekali lagi terhadap partisipasi Anda yang penuh keimanan. Kita sekali lagi hendak meneriakkan suara kita kepada musuh dan memberitahukan musuh kita bahwa bila Umat - dan kita akan selalu menjadi Umat - ditanya apakah "kita akan dipermalukan atau bangkit melawan mereka dengan bermartabat?" Jawabannya akan selalu bahwa posisi kita tidak akan pernah dipermalukan.
Berilah kedamaian bagi Imam Abu Abdullah Al-Hussein, putra Sang Rasul, berilah kedamaian bagi mereka yang menyerahkan dirinya ke dalam perjuanganmu. Sekali lagi, saya memberikan penghormatan dan saya akan selalu menghormatimu dan mengingatmu. Berilah kedamaian bagi Imam Hussein dan Ali, putra Hussein dan semua anak-cucu dan sahabat Hussein.
---------------------------------------------------------------------------------------------------------
Diambil dari Press TV
Diterjemahkan oleh NEFOS.org
---------------------------------------------------------------------------------------------------------

Mengapa LSM Berpihak Pada Kaum Rayalis?

Giles Ji Ungpakorn 
 

27 April 2009 -- Dalam krisis politik di Thailand, amatlah mengejutkan bahwa kebanyakan LSM Thailand mempermalukan diri mereka dengan memilih berpihak kepada para elit yang dijuluki “Kelompok Baju Kuning” atau berdiam diri di hadapan serangan besar-besaran terhadap demokrasi. Keadaan ini amatlah mengejutkan sebab sebagian besar aktivis LSM awalnya berpihak pada rakyat miskin dan mereka yang tertindas. Untuk menjelaskan situasi ini, kita harus bisa keluar dari penjelasan sederhana yang mendasarkan argumennya pada kegagalan beberapa individu secara pribadi atau berpendapat bahwa LSM pada dasarnya “memiliki maksud buruk,” atau mereka adalah “agen imperialisme.”
Pada masa awal protes terhadap Perdana Menteri Thaksin, kebanyakan LSM bergabung dengan para demonstran dalam Aliansi Rakyat untuk Demokrasi (People Alliance for Democracy - PAD) yang mengenakan baju kuning sebagai simbol mereka. Hal ini dapat dimengerti sebab pucuk pimpinan PAD merupakan orang-orang yang memiliki jaringan LSM yang kuat. Saat itu adalah sah memprotes ekses-ekses pemerintah, walaupun dipertanyakan mengapa LSM harus bergabung dengan para royalis konservatif seperti Sonti Limtongkul. Sayangnya, tak berapa lama kemudian, keterlibatan LSM dengan PAD, dan kemudian dengan junta militer, setelah kudeta 2006, berubah menjadi sesuatu yang tidak bisa diklasifikasikan sebagai dukungan bagi kebebasan dan demokrasi. Dalam tiap lika-liku krisis, mayoritas LSM pada akhirnya berpihak pada kaum elit dan penindas. Ada kebutuhan riil untuk meninjau ulang taktik dan strategi.
Setelah kudeta 2006, beberapa pemimpin LSM, seperti Rawadee Parsertjaroensuk (Komite Koordinasi LSM), Nimit Tienudom (Jaringan AIDS), Banjong Nasa (Jaringan Komunitas Nelayan Selatan), Witoon Permpongsajaroen (gerakan ekologi) dan Sayamon Kalyurawong (Layanan Relawan Thailand), mengajukan diri dengan harapan militer akan memilih mereka sebagai senator terpilih. Sebelumnya, aktivis LSM seperti Rawadee Parsertjaroensuk dan Nimit Tienudom menghadiri aksi-aksi PAD. Nimit mengklaim bahwa dalam sebuah aksi pada 23 Maret 2005, kebanyakan pendukung Thaksin “tidak mengetahui keadaan yang sesungguhnya” tentang pemerintahan Thaksin.[1] Ini adalah sikap patronase terhadap kaum miskin.
Banyak pimpinan LSM seperti Nimit yang mengatakan kepada pendukungnya untuk tidak memprotes junta militer dalam acara penutupan Forum Sosial Thai pada Oktober 2006, walaupun pimpinan NGO-Coordinating Committee mendukung protes ini. Segera setelah kudeta, bahkan staff Focus on Global South di Thailand mendukung kudeta,[2] meskipun Walden Bello berprinsip menentang kediktatoran. Beberapa aktivis LSM ditunjuk oleh pemerintahan di bawah junta militer. Sebagian besar memiliki ilusi bahwa militer akan membersihkan politik Thailand dengan konstitusi baru mereka. Selama berjalannya Forum Sosial Thai itu sendiri, LSM Thailand yang besar seperti Yayasan Raks Thai membawa kaum royalis baju kuning ke dalam forum. LSM ini menerima dana yang besar dari pemerintah Thailand. Ini mengangkat persoalan "GNGOs" (organisasi pemerintah non pemerintah). Sumber dana yang besar bagi LSM-LSM Thailand saat ini berasal dari "Kantor Dana Penggalakan Kesehatan Thailand".[3]
Amat menarik untuk membandingkan sejumlah pernyataan yang dibuat oleh Komite Nasional Koordinasi LSM (NGO national Coordinating Committee (NGO-COD)) tentang protes PAD yang penuh kekerasan sepanjang 2008, dengan sebuah pernyataan yang dibuat pada April 2009 tentang protes kaum pro-demokrasi “Baju Merah.” Substansi perbedaan ada pada penekanannya. Pada Mei, Juni dan September 2008, Pairot Polpet, ketua NGO-COD meminta pemerintahan pro-Thaksin untuk mengundurkan diri. Senator terpilih sekaligus anggota PAD terpilih, Rosana Tositrakul mengatakan bahwa pemerintah tidak memiliki hak untuk membubarkan para demonstran dari PAD yang telah mengambil-alih Kantor Pemerintahan. Amatlah penting untuk mencatat bahwa pemerintahan pro-Thaksin tidak menggunakan tentara atau peluru beramunisi kepada para demonstran PAD. Tetapi penggunaan gas air mata kemungkinan besar menjadi penyebab kematian satu orang.
Kemudian, setelah tentara dan PAD berhasil menggiring para Demokrat ke tampuk kekuasaan, pada April 2009 NGO-COD menghimbau kepada Baju Merah untuk menghentikan aksi-aksi protes penuh kekerasan dan kemudian memberikan pujian atas diakhirinya secara sukarela protes-protes Baju Merah. Hal ini dipandang sebagai cara untuk membangun perdamaian. Mereka kemudian meminta pemerintah agar “hanya menggunakan jalur legal untuk membubarkan para demonstran.” Satu hari kemudian, tentara dan pemerintah menggunakan peluru berisi untuk membubarkan Baju Merah. Tindakan ini kemudian membunuh dan melukai banyak orang. Sebuah pernyataan NGO-COD seminggu kemudian tidak meminta pemerintah untuk mundur.[4] Asosiasi Konsumen, Jaringan AIDS, dan Kelompok Pemukim Kumuh bertindak lebih jauh dengan mengutuk aksi Baju Merah pada 13 April, tapi tidak mengatakan apa-apa terhadap tindakan pemerintah.
Terseret ke Kanan?
Bagaimanakah LSM Thailand berubah menjadi begitu reaksioner, berpihak kepada para elit konservatif, berlawanan dengan kaum miskin dalam menindas demokrasi? Ada sebuah kebutuhan mendesak untuk menganalisa problem ini karena para aktivis LSM bermula sebagai pembela kaum miskin. Dapatkah hal yang sama terjadi di tempat lain? Adakah sebuah pelajaran bersifat umum yang dapat ditarik di sini?
Di tahun 1980-an LSM Thailand bekerja di bawah semboyan “Jawabannya ada di Pedesaan,” yang mencerminkan penghormatan kepada para penduduk desa. Meskipun bermaksud baik, kurangnya politik dalam gerakan LSM, juga kurangnya demokrasi dan akuntabilitas, telah membuat mereka merasa kecewa dan semakin tertarik kepada politik reaksioner sayap kanan.
Setelah "keruntuhan komunisme” gerakan LSM telah memalingkan muka dari politik dan keutamaan gerakan massa dan partai-partai politik. Alih-alih, mereka kemudian memilih lobi politik dan anarkisme komunitas. Keduanya sejalan karena keduanya menolak bentuk konfrontasi atau kontestasi apa pun terhadap negara. Mereka menolak membuat sebuah gambaran besar dari analisis politik. Bukannya membangun sebuah gerakan massa yang besar atau partai politik, LSM kemudian berkonsentrasi mengampanyekan isu-isu tunggal sebagai bagian dari usaha mereka untuk menghindarkan konfrontasi dengan negara. Hal ini juga berjalan beriringan dengan aplikasi bantuan dari organisasi-organisasi internasional dan kemudian mendorong terjadinya depolitasasi gerakan. Tetapi LSM juga menolak demokrasi representatif karena mereka percaya bahwa hal ini hanya berujung pada praktek kotor seperti politik uang. Namun demokrasi langsung di komunitas pedesaan, yang mereka bela, tak memiliki kekuatan apa-apa berhadapan dengan negara. Hal ini juga menjunjung tinggi berlangsungnya pimpinan desa yang konservatif dan tradisional.
Awalnya, LSM mendekati pemerintahan Thaksin yang didukung oleh partai Thai Rak Thai. Mereka percaya bahwa pemerintahan ini terbuka pada lobi-lobi LSM, dan memang saat itu demikianlah keadaannya. Thai Rak Thai merangkul sistem pelayanan kesehatan universal dari para dokter berpandangan progresif dan LSM-LSM kesehatan. Tetapi ketika kemudian mereka dirugikan oleh kebijakan pro-kaum miskin pemerintah, yang seolah-olah membuktikan kepada para penduduk desa bahwa program pembangunan LSM hanya “bermain-main”, mereka bergegas memihak para royalis konservatif. Kondisi yang demikian gamblang ini hanya bisa terjadi dengan mengindahkan sepenuhnya politik, pelajaran internasional dan teori apa pun. Para pemimpin LSM dengan bangga berargumen bahwa mereka adalah “para aktivis sejati”, bukan kutu buku atau teoretisi. Hal ini menjelaskan mengapa mereka bisa membenarkan diri ketika mendukung kudeta tahun 2006 dan mengapa mereka telah gagal membela demokrasi sejak saat itu. Alih-alih bersusah payah menganalisa situasi politik, mereka malah melobi para jenderal, pejabat pemerintah dari berbagai kelompok, dan siapapun yang memiliki kekuasaan.
Memang, saat itu situasi politik amatlah berantakan dan kacau. Pada 2006 ada Thai Rak Thai, sebuah partai bisnis besar dengan catatan pelanggaran HAM dan korupsi. Sementara di sisi lain ada tentara dan kaum royalis konformis, juga dengan catatan pelanggaran HAM dan korupsi. Keduanya bukan pilihan yang baik. Tetapi Thai Rak Thai meraih kekuasaan melalui proses elektoral. Dalam situasi seperti ini LSM seharusnya tetap netral, berpihak pada kaum miskin, dan seharusnya mereka menentang kudeta itu. Tetapi mereka marah karena Thai Rak Thai telah merebut pendukung mereka dan tak percaya pada itikad baik Thai Rak Thai yang menggunakan negara untuk membangun program kesejahteraan dan menstimulasi pertumbuhan ekonomi. Ketidak-peracayaan ini berasal dari ketidakpercayaan anarkis terhadap negara. Bagi banyak LSM, kesejahteraan haruslah diorganisir oleh komunitas. Tetapi posisi anti-negara ini membuka pintu bagi konsep neoliberal tentang negara kecil, sebuah pandangan yang jamak dipegang oleh para royalis konservatif. Penolakan anarkis atas politik representasi juga membuat mereka tak bisa melihat perbedaan antara sebuah parlemen yang dikontrol oleh Thai Rak Thai dan sebuah kudeta militer.
Sejak rakyat miskin memberikan sebagian besar suara mereka kepada Thai Rak Thai, LSM berubah sikap menjadi amat meremehkan para penduduk desa, menyatakan bahwa mereka “kekurangan informasi yang benar” untuk membuat keputusan politis. Bahkan, selalu ada elemen yang meremehkan dalam tindakan-tindakan mereka. Kebanyakan pemimpin LSM Thailand adalah para aktivis kelas menengah yang menolak pemilihan umum dan percaya bahwa LSM seharusnya “mengasuh” [5] kaum miskin dan buruh. Saat ini mereka takut dan membenci gerakan Baju Merah, yang sedang memulai proses pemberdayaan diri kaum miskin. Tentu saja, Baju Merah bukanlah malaikat, tapi dalam krisis yang terjadi saat ini, mereka mewakili rakyat miskin dan kehausan mereka akan kebebasan dan demokrasi.
Hubungan gerakan LSM dengan para pemimpin LSM dan Serikat Buruh di PAD juga merupakan sebuah faktor. Pucuk pimpinan PAD dibentuk dari koalisi antara Sondhi Limtongkul—seorang royalis konservatif yang juga seorang taipan media dan pemilik Manager Group; Chamlong Simuang, pemimpin kharismatik dari kelompok reaksioner anti aborsi Buddhis Santi Asoke, Somsak Kosaisuk—pensiunan pimpinan dari serikat buruh kereta api; Pipop Tongchai—penasihat untuk Campaign for Popular Democracy dan “sesepuh LSM” Somkiat Pongpaiboon—seorang aktivis yang bekerja bersama kelompok guru dan petani; dan Suriyasai Takasila, seorang birokrat yang mantan aktivis mahasiswa.
Persamaan yang dimiliki oleh LSM, aktivis mahasiswa dan serikat buruh yang ada di pucuk pimpinan PAD adalah tidak adanya basis massa yang sebenarnya. Orang-orang semacam Pipop tidak memimpin NGO-COD. Somsak tidak pernah mengorganisir aksi protes di kalangan serikat pekerja kereta api untuk melindungi kondisi kerja para buruh atau menentang privatisasi. Mereka adalah orang-orang yang telah terbirokratisasi dan berjarak dengan kebanyakan aktivis. Mereka kemudian justru mengandalkan kekuatan lain yang dapat memobilisasi massa dan sumber daya, termasuk para royalis konservatif. Tapi mereka memang bisa meminta bantuan secara pribadi dari jaringan LSM dan serikat pekerja perusahaan pemerintah karena "kenangan masa lalu.”
Secara umum, yang dapat disimpulkan dari pengalaman Thailand adalah bahwa LSM saat ini bersekutu dengan para elit melawan massa penduduk.[5] Tidak memungkinkan lagi bagi kaum progresif untuk bekerja bersama mereka.[7] Kecuali terjadi perubahan dan perpecahan yang signifikan, mereka tidak bisa dianggap sebagai bagian dari gerakan masyarakat sipil apa pun untuk demokrasi Thailand.
Pelajaran Internasional?
Apakah pelajaran internasional yang dapat ditarik oleh para aktivis LSM? Hal yang bisa kita generalisasikan dari Thailand adalah bahwa LSM beresiko untuk berpihak pada pihak yang salah dalam konflik serius apa pun. Sesungguhnya, setiap orang bisa membuat kesalahan, termasuk partai-partai sayap kiri! Tetapi untuk LSM ada tiga alasan utama yang bisa menyebabkan kesalahan.
1. Tekanan dari pemberi dana. LSM semakin banyak menerima uang dari pemerintah lokal dan organisasi imperialis semisal The World Bank. Mereka adalah “GNGO” (LSM pemerintah) dan dapat menjadi segan untuk beroposisi terhadap pemerintah.
2. Lobi politik artinya akan selalu ada kecenderungan menjadi oportunis, siap untuk bekerja sama dengan pemerintah yang otoriter.
3. Penolakan terhadap politik, terutama politik kelas. Ketiadaan politik ini berarti bahwa dalam situasi yang sulit dan carut marut, LSM tidak memiliki teori yang dibutuhkan untuk memihak kaum miskin atau demokrasi. Yang dibutuhkan adalah lebih banyak teorisasi politik dan lebih banyak debat terbuka. LSM juga harus memiliki komitmen untuk membangun gerakan massa, alih-alih bersandar pada lobi politik.
[Giles Ji Ungpakorn mengajar di Fakultas Ilmu Politik, Universitas Chulalongkorn, Bangkok, Thailand. Ia dipaksa meninggalkan Thailand setelah dituntut dengan menggunakan UU anti demokrasi Thailand Les Majeste. Ia adalah seorang aktivis yang berafiliasi dengan kelompok Turn Left Thailand. Kunjungi www.pcpthai.org dan wddpress.blog.co.uk ]
Catatan
[1] Prachatai, 23/3/2006, http://www.prachatai.com.
[4] Prachatai, Mei, Juni, September 2008; April 13,15 & 23, 2009. http://www.prachatai.com.
[5] Dalam bahasa Thailand mereka menamakan dirinya Pi Liang.
[6] Pengecualian yang patut dihormati dalam hal ini adalah Kampanye Buruh Thai, yang secara konsisten menentang kudeta dan penghancuran apa pun terhadap demokrasi. http://www.thailabour.org.
[7] Sebagaimana saya meyakininya ketika menuli: “NGOs: Enemies or Allies?”, International Socialism Journal 104, Autumn 2004, UK.
---------------------------------------------------------------------------------------------------------
Diambil dari Links; International Journal of Socialist Renewal
Diterjemahkan oleh NEFOS.org

Apa Neoliberalisme Itu?

"Neo-liberalisme" adalah seperangkat kebijakan ekonomi yang meluas sejak sekitar 25 tahun terakhir ini. Walaupun kata tersebut jarang didengar di Amerika Serikat, Anda dapat melihat efek neoliberalisme secara jelas di sini dengan yang kaya semakin kaya dan yang miskin semakin miskin.
"Liberalisme" dapat mengacu pada ide-ide politik, ekonomi, atau bahkan relijius. Di AS, liberalisme politik merupakan strategi untuk menghindari konflik sosial. Ia dipresentasikan kepada rakyat miskin dan pekerja sebagai sesuatu yang progresif dibandingkan konservatif atau sayap Kanan. Liberalisme ekonomi berbeda. Politikus konservatif yang mengatakan bahwa mereka membenci kaum "liberal" -- artinya dalam hal politik -- tidak memiliki masalah dengan liberalisme ekonomi, termasuk neoliberalisme.
"Neo" berarti kita membicarakan jenis baru liberalisme. Jadi apa jenis lamanya? Pemikiran ekonomi liberal menjadi terkenal di Eropa ketika Adam Smith, seorang pakar ekonomi Skotlandia, menerbitkan buku pada 1776 berjudul THE WEALTH OF NATIONS. Ia dan beberapa lainnya mengadvokasikan penghapusan intervensi pemerintah dalam masalah perekonomian. Tidak ada pembatasan dalam manufaktur, tidak ada sekat-sekat perdagangan, tidak ada tarif, katanya; perdagangan bebas adalah cara terbaik bagi perekonomian suatu bangsa untuk berkembang. Ide-ide tersebut "liberal" dalam arti tidak ada kontrol. Penerapan individualisme ini mendorong usaha-usaha "bebas", kompetisi "bebas" -- yang kemudian artinya menjadi bebas bagi kaum kapitalis untuk mencetak keuntungan sebesar yang diinginkannya.
Liberalisme ekonomi berlangsung di Amerika Serikat sepanjang 1800an dan awal 1900an. Kemudian Depresi Besar tahun 1930an membuat seorang pakar ekonomi bernama John Maynard Keynes merumuskan sebuah teori yang menyangkal liberalisme sebagai kebijakan terbaik bagi kaum kapitalis. Ia berkata, pada intinya, bahwa kesempatan kerja penuh (full employment) dibutuhkan agar kapitalisme tumbuh dan itu hanya dapat dicapai bila pemerintah dan bank sentral melakukan intervensi untuk meningkatkan kesempatan kerja. Ide-ide ini banyak mempengaruhi program New Deal Presiden Roosevelt -- yang sempat memperbaiki kehidupan banyak orang. Keyakinan bahwa pemerintah harus menomorsatukan kepentingan umum diterima secara meluas.
Tapi krisis kapitalis selama 25 tahun terakhir, dengan penyusutan tingkat profitnya, menginspirasikan para elit korporasi untuk menghidupkan kembali liberalisme. Inilah yang menjadikannya "neo" atau baru. Kini, dengan globalisasi ekonomi kapitalis yang pesat, kita menyaksikan neo-liberalisme dalam skala global.
Definisi yang berkesan tentang proses ini datang dari Subcomandante Marcos di Encuentro Intercontinental por la Humanidad y contra el Neo-liberalismo (Pertemuan Antar-Benua untuk Kemanusiaan dan Melawan Neo-liberalisme) pada Agustus 1996 di Chiapas ketika ia mengatakan: "apa yang ditawarkan kaum Kanan adalah mengubah dunia menjadi sebuah mal besar di mana mereka dapat membeli kaum Indian di sini, perempuan di sana..." dan ia dapat juga menambahkan, anak-anak, imigran, pekerja atau bahkan seluruh negeri seperti Meksiko."
Pokok-pokok pemikiran neo-liberalisme mengandung:
1. KEKUASAAN PASAR. Membebaskan usaha "bebas" atau usaha swasta dari ikatan apa pun yang diterapkan oleh pemerintah (negara) tak peduli seberapa besar kerusakan sosial yang diakibatkannya. Keterbukaan yang lebih besar bagi perdagangan internasional dan investasi, seperti NAFTA. Menurunkan upah dengan cara melucuti buruh dari serikat buruhnya dan menghapuskan hak-hak buruh yang telah dimenangkan dalam perjuangan bertahun-tahun di masa lalu. Tidak ada lagi kontrol harga. Secara keseluruhan, kebebasan total bagi pergerakan kapital, barang dan jasa. Untuk meyakinkan kita bahwa semua ini baik untuk kita, mereka mengatakan bahwa "pasar yang tak diregulasi adalah cara terbaik meningkatkan pertumbuhan ekonomi, yang akhirnya akan menguntungkan semua orang." Itu seperti ekonomi "sisi persediaan" (supply-side)dan "tetesan ke bawah" (trickle-down) yang dijalankan Reagan -- tapi kekayaannya sedemikian rupa tidak banyak menetes.
2. MEMANGKAS PEMBELANJAAN PUBLIK UNTUK LAYANAN SOSIAL seperti pendidikan dan layanan kesehatan. MENGURANGI JARINGAN-PENGAMANAN BAGI KAUM MISKIN, dan bahkan biaya perawatan jalanan, jembatan, persediaan air -- lagi-lagi atas nama mengurangi peran pemerintah. Tentunya, mereka tidak menentang subsidi dan keuntungan pajak bagi bisnis besar.
3. DEREGULASI. Mengurangi regulasi pemerintah terhadap segala hal yang dapat menekan profit, termasuk perlindungan lingkungan hidup dan keamanan tempat kerja.
4. PRIVATISASI. Menjual perusahaan-perusahaan, barang-barang, dan jasa milik negara kepada investor swasta. Ini termasuk bank, industri kunci, perkereta-apian, jalan tol, listrik, sekolah, rumah sakit dan bahkan air bersih. Walau biasanya dilakukan atas nama efisiensi yang lebih besar, yang sering dibutuhkan, privatisasi terutama berdampak pada pengonsentrasian kekayaan kepada pihak yang jumlahnya semakin sedikit dan menjadikan khalayak umum harus membayar lebih untuk kebutuhannya.
5. MENGHAPUS KONSEP "BARANG PUBLIK" atau "KOMUNITAS" dan menggantikannya dengan "tanggung-jawab individu." Menekan rakyat yang termiskin dalam masyarakat untuk mencari solusi sendiri terhadap minimnya layanan kesehatan, pendidikan dan keamanan sosial mereka -- kemudian menyalahkan mereka, bila gagal, karena "malas."
Di penjuru dunia, neo-liberalisme didesakkan oleh institusi-institusi finansial besar seperti Dana Moneter Internasional (IMF), Bank Dunia (World Bank) dan Bank Pembangunan Inter-Amerika. Ia merajalela di penjuru Amerika Latin. Contoh pertama pelaksanaan neoliberalisme secara terang-terangan terdapat di Chile (berkat pakar ekonomi Universitas Chicago, Milton Friedman), setelah kudeta dukungan-CIA terhadap rejim Allende yang dipilih rakyat pada 1973. Negeri-negeri lainnya menyusul, dengan sebagian dampak terburuknya di Meksiko, di mana upah menurun 40-50% dalam tahun pertama NAFTA sementara biaya hidup naik 80%. Lebih dari 20.000 bisnis kecil dan sedang menderita kebangkrutan dan lebih dari 1000 perusahaan milik negara diprivatisasi di Meksiko. Sebagaimana dikatakan oleh seorang akademisi "Neoliberalisme berarti neo-kolonisasi Amerika Latin."
Di Amerika Serikat neo-liberalisme menghancurkan program-program kesejahteraan; menyerang hak-hak buruh (termasuk semua pekerja migran); dan memangkas program-program sosial. "Kontrak" Partai Republikan terhadap Amerika adalah murni neo-liberalisme. Para pendukungnya bekerja keras menolak perlindungan terhadap anak-anak, pemuda, perempuan, planet itu sendiri -- dan mencoba menipu kita agar menerimanya dengan mengatakan bahwa ini akan "menyingkirkan beban pemerintah dari pundak saya." Pihak yang diuntungkan oleh neo-liberalisme hanyalah minoritas rakyat dunia. Bagi mayoritas besarnya ia membawa lebih banyak penderitaan daripada sebelumnya: menderita tanpa capaian kecil yang susah payah dimenangkan dalam 60 tahun terakhir, penderitaan tiada henti.
-------------
Elizabeth Martinez telah lama dikenal sebagai aktivis hak-hak sipil dan penulis beberapa buku termasuk "500 Years of Chicano History in Photographs."
Arnoldo Garcia adalah anggota Comite Emiliano Zapata yang bermarkas di Oakland dan berafiliasi dengan Komisi Nasional untuk Demokrasi di Meksiko.
Kedua penulis adalah anggota Jaringan Nasional untuk Hak-hak Imigran dan Pengungsi; mereka juga menghadiri Pertemuan Antar-Benua untuk Kemanusian dan Melawan Neoliberalisme, yang digelar 27 Juli - 3 Agustus 1996 di La Realidad, Chiapas
---------------------------------------------------------------------------------------------------------
Diambil dari CorpWatch
Diterjemahkan oleh NEFOS.org
---------------------------------------------------------------------------------------------------------
Sumber : Koran Berdikari Online

Gara-Gara Century Gate, SBY Bisa Tumbang Dengan Tragis


Sosiolog Universitas Indonesia Thamrin Tamagola menyatakan jika presiden Susilo Bambang Yudhoyono tak segera mengambil tindakan untuk menyelesaikan kasus Bank Century dan Masaro, maka kedua kasus tersebut akan terus bergulir menjadi Masaro Century Gate, yang bisa menumbangkan SBY dari pangku kekuasaannya secara tragis.

"Kalau ini tidak ditangani secara sangat cekatan dan bijak oleh SBY, ini bisa menjadi sesuatu yang saya sebut sebagai Masaro Century Gate," kata Thamrin Tamagola, Jakarta, Sabtu (7/11).

Gate menurut Thamrin memiliki tujuh ciri, yakni melibatkan petinggi negara yaitu presiden, melibatkan orang dalam istana, dan selalu terbongkar dari peristiwa yang sepele.

"Misalnya polisi menangkap orang yamg masuk ke dalam gedung Water Gate di Amerika. Kalau di sini kan tukang pijatnya Gus Dur jadi Bulog Gate, kalau kemarin tuh Rani, itu kan peristiwa-peristiwa sepele," paparnya.

Ciri lain gate, yakni saat kasus tersebut terbongkar, maka semua yang terlibat di dalamnya akan tergopoh-gopoh melakukan komunikasi intensif untuk membangun suatu rekayasa. Rekayasa tersebut sewaktu-waktu berubah karena panik.

Selain itu, gate memiliki ciri adanya rekaman yang membuktikan kasus tersebut, di mana tidak ada keraguan di dalamnya.

Gate selalu disandingkan dengan pers mempunyai peranan yang sangat penting di dalam dinamika kasus tersebut. "Baik yang terjadi saat water gate maupun Bulog gate, maupun yang sekarang kalau jadi bergulir. Jadi, pers sangat penting peranannya, karena itu ada di ranah publik, opini publik," jelasnya.

Terakhir, jika gate tersebut terus bergulir tanpa ada penyelesaian, maka presiden yang bersangkutan bisa tumbang secara tragis. "Amit amit cabang bayi, jangan sampai terjadi adalah presiden yang bersangkutan harus turun secara tragis. Richard Nixon turun dengan segala kemaluannya, waktu dia turun pesawat dia tertunduk. Lihat Abdurrahman Wahid, walaupun dia menggagah-gagahkan diri, tapi tetap saja dia malu. Amit-amit jangan sampai terjadi sama SBY," tuturnya.

Kasus PT Masaro sendiri merupakah rangkaian kasus panjang yang melibatkan buronan Anggoro Widjojo dan berujung pada penahanan dua pimpinan non aktif Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Bibit Samad Rianto dan Chandra Hamzah. Penahanan terhadap Bibit dan Chandra memancing kemarahan publik, karena dianggap alasan penahanan tidak jelas.

Bahkan, kasus tersebut makin melebar saat terkuak dugaan rekayasa terhadap kasus mereka, seperti rekaman yang diperdengarkan di Mahkamah Konsitusi (MK). Dalam rekaman itu diketahui adik Anggoro, Anggodo menjadi tokoh sentral yang diduga melakukan rekayasa dengan melibatkan petinggi Polri, Kejaksaan Agung, KPK, LPSK, sejumlah orang, bahkan nama RI-1 ikut disebut. Akibatnya, masyarakat merasa cemas akan penegakkan hukum di Indonesia.

Meski demikian, Thamrin tidak yakin jika SBY terlibat kasus Bank Century dan ikut merekayasa kasus Bibit dan Chandra. "Saya enggak yakin dia (SBY) merekayasa. kalau dia melakukan kecerobohan, iya," kata Thamrin.

Terkait kasus Bank Century, seharusnya Wapres Boediono yang saat itu menjabat Gubernur Bank Indonesia dan Menteri Keuangan Sri Mulyani, diperiksa soal alasan mengucurkan dana "bailt out" Rp 6,7 triliun yang melebihi usulan DPR yakni hanya Rp 1,2 triliun. Apalagi undang-undang untuk pengambil alihan Bank Century oleh Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) adalah salah. "Jadi, Boediono dan Sri Mulyani yang harus dikejar kalau kasus Century terbongkar. Mau tidak mau, suka tidak suka Century akan dibongkar," cetusnya.

Harus Copot Kapolri dan Jaksa Agung
Thamrin mengusulkan SBY merombak sistem dan pergantian jabatan di tubuh Polri, Kejaksaan Agung, dan DPR sebagai proses jangka panjang untuk mengembalikan kepercayaan publik soal penegakkan hukum. "Lembaga warisan orde baru itu, harus turun mesin. Pergantian sistem dan orang-orangnya yang ada di situ," ujarnya.

Namun, untuk langkah awal, seharusnya SBY mengganti Kepala Polri Bambang Hendarso Danuri dan Jaksa Agung Hendarman Supandji. " Untuk mengembalikan kepercayaan publik, tindakan yang paling bagus kalau dia (SBY) mengganti dua pimpinan ini, Polri dan Kejaksaan Agung. SBY harus ganti," kata Thamrin.

SBY juga harus berhati-hati memilih pengganti dua pucuk pimpinan lembaga penegak hukum itu. Penggantinya harus punya rekam jejak yang bersih dari korupsi, kredibel, dan profesional.

Yang penting, lanjut Thamrin, biarkan kasus Bibit dan Chandra bergulir di pengadilan. Jika Kapolri dan Kejaksaan Agung yakin punya bukti yang kuat, maka bisa dilihat kebenarannya di pengadilan.

Sumber : sripoku

Kamis, 03 Desember 2009

Memberdayakan PKL

Apakah Pedagang Kaki Lima (PKL) tergolong dalam usaha mikro? Secara ekonomi tentu ia. Bahkan jumlahnya sangat signifikan. Tengoklah berbagai kota di Indonesia, ciri khasnya antara lain PKL. Di Bandung, Jakarta, Surabaya, Yogyakarta dan seluruh kota, baik kota besar dan kecil di Indonesia dipenuhi oleh PKL. Bahkan di negara lain pun, seperti Thailand misalnya, demikian adanya.
Di Bandung misalnya, begitu banyak pusat jajanan pinggir jalan yang jika malam tiba dipadati oleh pengunjung. Bahkan jajanan pinggiran yang itu dilakukan oleh PKL merupakan bagian dari pariwisata, karena dinikmati oleh wisatawan yang berkunjung. Di Malioboro Yogyakarta juga, akan lebih asyik jika makan malam di pinggiran sambil menikmati suasana kota.
Dari sudut pandang filsafat ekonomi, PKL adalah antitesis dominasi korporatisme global yang mendominasi seluruh sudut kota dengan jaringan pertokoan ritel. Sebagai antitesis, PKL adalah manifestasi perlawanan dari si kecil melawan si besar. Perlawanan pemodal kecil dengan pemodal besar yang mampu membangun pusat pertokoan di berbagai lokasi strategis, tentu dengan biaya mahal.
Bagi konsumen, PKL adalah solusi pemenuhan kebutuhan di tengah harga-harga yang melambung tinggi. Konsumen dengan daya beli rendah akan cenderung memilih barang-barang dari PKL dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Tentu saja, ada simbiosis mutualisma antara konsumen dengan PKL. Dengan demikian, pemerintah sebagai pelayan masyarakat, seharusnya bukan mengobrakabrik PKL, namun seharusnya memberdayakannya.
Dari sisi budaya, PKL adalah penyemarak kegairahan budaya, ekonomi dan pariwisata suatu kota. Bahkan bukan sekedar penyemarak, PKL adalah penanda (icon) suatu kegiatan perkumpulan, pesta dan kerumunan masa. Lihat saja, pasar tumpah yang terjadi diberbagai sudut kota di hari minggu, dimana masyarakat banyak yang melakukan aktivitas pagi di pusat keramaian tertentu. Di Bandung, itu terkonsentrasi di Gasibu dan tempat lainnya.
Bagaimana jika data dan sejarah ekonomi republik ini yang bicara? Harus diakui, Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM), yang di dalamnya ada PKL, sangat berperan dalam membangun pondasi perekonomian nasional. Selain menyumbang Produk Domestik Bruto (PDB) sebesar 1.505,3 triliun (30,3 persen), sektor usaha mikro juga mampu menyerap tenaga kerja sebanyak 83.647.711 (89,3 persen). Pelaku usaha mikro di negeri kita mendominasi jenis usaha bangsa ini dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Menurut pengelolaan database usaha mikro, kecil dan menengah, jumlah usaha mikro di Indonesia adalah sekitar 50,70 juta usaha atau 98,9 persen.
Coba kita bandingkan dengan usaha besar yang hanya berjumlah 43,7 ribu dan menyerap tenaga kerja 2,3 juta (2,9 persen). Meskipun sumbangan bagi PDB relatif besar, terlihat jelas UMKM lebih berperan bagi pemberdayaan masyarakat. Maka, untuk menciptakan kekuatan ekonomi bangsa ke depan, diperlukan transformasi atau upaya ekspansif dari pengusaha mikro untuk memajukan usahanya. Dalam bahasa lain, ekspansi dari jenis usaha mikro, kemudian menjadi usaha kecil sampai bertransformasi dalam bentuk/jenis usaha menengah.
Dari sisi regulasi, keberadaan PKL yang makin menjamur dan dinilai mengganggu ketertiban umum itu mencerminkan ketidakpastian aturan yang ditetapkan dan bermainnya oknum-oknum aparat yang menikmati jasa keamanan. Argumentasi ini lah yang dipergunakan aparat pemerintah untuk membubarkan PKL.
Jika dilihat dari sisi teologi, keberadaan PKL jika itu dinilai mengganggu ketertiban umum, tentunya tidak dibenarkan oleh ajaran agama sekalipun. Meski demikian, membubarkan dan mengejar-ngejar PKL di suatu lokasi, sementara di lokasi lain tidak dilakukan juga tentu bukan suatu kebijakan yang tepat. Terlebih jika pembubaran itu dimaksudkan untuk memuluskan kepentingan pemodal (investor) yang akan mendirikan pusat perbelanjaan, mengingat di lokasi tersebut telah terkonsentasi masa, jelas itu perbuatan yang tidak bermoral.
Di atas itu semua, sesungguhnya diperlukan kebijakan komprehensif dan berkelanjutan untuk menangani dan memberdayakan PKL. Argumentasinya jelas, landasan konstitusional pemberdayaan PKL diatur oleh kewajiban negara untuk memberikan penghidupan yang layak bagi warga negaranya.
Faktanya, pelaku usaha PKL adalah mereka yang secara ekonomi lemah. Menjadi PKL demi untuk menjaga kelangsungan hidup mereka, bukan untuk memperkaya diri. Dengan demikian, keberadaan PKL harus dijaga dan diberdayakan.
Pemberdayaan itu dilakukan dengan beberapa langkah. Pertama, melakukan edukasi soal aturan hukum dan kesadaran keagamaan. Dalam konteks ini, jangan ada sikap rancu dan premanisme. Jika kebijakannya ambigu, disatu sisi dibubarkan, di sisi lain diminta setoran, maka selama itu PKL akan ada. PKL adalah wajah kebobrokan oknum aparat keamanan dan ketertiban negara.
Dalam edukasi dan pembinaan keagamaan, sebaiknya dilakukan kerjasama dengan organisasi keagamaan yang dekat dengan wilayah tersebut. Selain itu, PKL harus diorganisir. Kepentingan diorganisir adalah agar keanggotaannya terkontrol dan tidak terjadi hukum rimba. Selama ini, pengorganisasian itu lebih untuk kepentingan memungut retribusi dibandingkan pembinaan. Lebih lanjut, di setiap wilayah didirikan koperasi sebagai lembaga yang menaungi para anggota PKL yang telah diorganisir itu.
Kedua, bagi PKL yang lokasinya tidak mengganggu ketertiban umum, sebaiknya terus dibina dan diberdayakan untuk menjadi duta pariwisata. PKL yang dilokalisir di daerah tertentu, dengan keunikannya yang khas, akan bisa menjadi primadona pariwisata.
Ketiga, edukasi dan pembinaan sebaiknya diarahkan juga pada upaya untuk menaikkelaskan PKL. Keberadaan koperasi dan lembaga keuangan penting agar PKL yang omsetnya ratusan ribu naik kelas menjadi ratusan juta. Berbagai pelatihan bidang administrasi dan akses ke perbankan harus dilakukan.
Keempat, konsistensi pemerintah daerah mutlak diperlukan. Pemda harus melihat PKL sebagai aset ekonomi yang mampu menggerakan ekonomi masyarakatnya lebih baik. Bukan sebaliknya, dipandang sebagai pengganggu ketertiban dan sumber retribusi semata. Pemda harus mengatur PKL di lokasi yang strategis dan memang selama ini banyak pembeli yang datang. Namun harus diatur sedemikian rupa agar tidak mengganggu ketertiban. Komitmen itu harus dibangun oleh kelompok PKL yang diorganisir. Sehingga merekalah yang menjaga agar lokasi usahanya tetap tertib.
Selama ini, penolakan pemindahan yang dilakukan PKL karena lokasi yang ditawarkan selalu bermasalah. Ini soal moralitas kepemimpinan. Pemerintah harus berpihak kepada PKL.
PKL usianya sama dengan usia keberadaban manusia yang mulai mengenal pasar sebagai pusat kegiatan ekonomi. Jadi, secara antropologis, PKL adalah kebudayaan ekonomi yang telah lama usianya dan penting bagi kehidupan manusia. Jika demikian, yang penting adalah memberdayakannya, bukan membubarkannya. Karena, PKL pun harus makan, punya anak dan istri yang tiada lain adalah anak bangsa yang harus hidup layak.

Rabu, 02 Desember 2009

TEORY CULTIVITION

CULTIVATION THEORY
Epistimologis dari cultivation adalah penanaman. Cultivation Theory- Teori Kultivasi-, adalah sebuah teori dalam konteks keterkaitan media massa dengan penanaman terhadap suatu nilai yang akan berpengaruh pada sikap dan perilaku khalayak. Teori ini, digagas oleh seorang Pakar komunikasi dari Annenberg School of Communication, Profesor George Gerbner. Pada 1960, Profesor Gerbner melakukan penelitian tentang “indikator budaya” untuk mempelajari pengaruh televisi. Profesor Gerbner ingin mengetahui pengaruh-pengaruh televisi terhadap tingkah laku, sikap, dan nilai khalayak. Dalam bahasa lain, Profesor Gerbner memberikan penegasan dalam penelitiannya berupa dampak yang di timbulkan televisi kepada khalayak.
Teori Kultivasi berpandangan bahwa media massa, yang dalam konteks teori ini adalah televisi, memiliki andil besar dalam penanaman dan pembentukan nilai-nilai yang ada dalam masyarakat. “Menurut teori ini, televisi menjadi alat utama dimana para penonton televisi itu belajar tentang masyarakat dan kultur di lingkungannya”(Nurudin, 2004). Persepsi dan cara pandang yang ada dalam masyarakat, sangat besar dipengaruhi oleh televisi. Atau dalam kalimat lain, apa yang kita pikirkan adalah apa yang dipikirkan media massa. Melaui kaca mata kultivasi, cara pikir masyarakat di konstruksi sedemikian rupa sehingga leading opinion yang dilakukan televisi (media massa) dapat diterima oleh khalayak, meski seringkali proporsionalitas dari pemberitaan amat minim. Issu terorisme cukup menjadi permisalan yang relevan ditampilkan. Ketika mendengar atau melihat kata terorisme, yang terlintas dalam benak dan pikiran masyarakat adalah “jenggot” dan “sorban”. Penayangan media massa televisi berulang-ulang telah membawa opini masyarakat dan menanmkan pendefinisian istilah terorisme dengan “jenggot” dan “sorban”. Atau setidaknya dekat dengan hal itu. Dalam pandangan kultivasi ini, media massa televisi seringkali melakukan generalisasi. Bisa jadi, adalah suatu kebenaran seorang yang melakukan tindakan terorisme adalah mereka yang “berjenggot dan bersorban”. Namun, bukan berarti, semua yang “berjenggot dan bersorban” adalah teroris dan pelaku terorisme. Tak dapat dipungkiri, opini yang dibangun media menuntun sebagian besar masyarakat untuk melakukan generalisasi terhadap hal-hal seperti ini.
Pandangan Kultivasi tentang media massa dan kejahatan
Zulkarimein Nasution memiliki pandangan bahwa salah satu dampak penayangan kejahatan di televisi adalah dapat memberikan inspirasi seseorang (khalayak) untuk melakukan kejahatan itu sendiri. Penulis memiliki anggapan bahwa dalam konteks inilah dapat dikatakan media massa melakukan kejahatan. Media massa televisi menggiring seseorang (khalayak) pada suatu nilai yang diingini media, dimana nilai itu disampaikan dalam suatu penayangan sikap di televisi secara berulang, dan pada akhirnya khalayak menerimanya sebagai suatu nilai yang disimbolkan melalui sikap yang memang pantas diterima.
Misalnya, pada suatu masyarakat terdapat suatu nilai bahwa melakukan pemerkosaan adalah suatu hal yang jahat. Individu yang melakukan pemerkosaan akan mendapat hukuman yang berat, baik sanksi formal maupun informal. Televisi, terlebih saat ini, seringkali menayangkan adegan-adegan semacam perkosaan dengan penyensoran “seadanya”. Masyarakat sebagai audiens, jika hal ini dilakukan berulang-ulang, dapat menganggap sebagai suatu hal yang dapat diterima dan, lebih dari itu, audiens dapat meniru adegan-adegan yang ditayangkan.
Media massa dalam bentuk lain (selain televisi), juga memiliki andil besar dalam penanaman nilai dan pembentukan sikap khalayak. Seringkali kita jumpai, kasus-kasus pemerkosaan yang disebabkan pelaku terpengaruh dengan tayangan-tayangan dalam film -yang didalamnya terdapat unsur pornografi- yang sering ia tonton sebelumnya. Konteks ini penulis pahami bahwa media massa menanamkan nilai-nilai kesusilaan di destruksikan sebagai hal yang wajar, sehingga menimbulkan pengaruh berupa gejala sosial kejahatan yang dilakukan oleh oknum audiens.


Referensi
1. Nurudin, Komunikasi Massa, Yogyakarta.2004
2. Bahan ajar mata kuliah Media Masa dan kejahatan
3. Bhakti Eko Nugroho,mahasiswa Kriminologi UI

Komunikasi Politik

Komunikasi politik (political communication) adalah komunikasi yang melibatkan pesan-pesan politik dan aktor-aktor politik, atau berkaitan dengan kekuasaan, pemerintahan, dan kebijakan pemerintah. Dengan pengertian ini, sebagai sebuah ilmu terapan, komunikasi politik bukanlah hal yang baru. Komunikasi politik juga bisa dipahami sebagai komunikasi antara ”yang memerintah” dan ”yang diperintah”. Mengkomunikasikan politik tanpa aksi politik yang kongkret sebenarnya telah dilakukan oleh siapa saja: mahasiswa, dosen, tukang ojek, penjaga warung, dan seterusnya. Tak heran jika ada yang menjuluki Komunikasi Politik sebagai neologisme, yakni ilmu yang sebenarnya tak lebih dari istilah belaka.
Dalam praktiknya, komunikasi politik sangat kental dalam kehidupan sehari-hari. Sebab, dalam aktivitas sehari-hari, tidak satu pun manusia tidak berkomunikasi, dan kadang-kadang sudah terjebak dalam analisis dan kajian komunikasi politik. Berbagai penilaian dan analisis orang awam berkomentar sosal kenaikan BBM, ini merupakan contoh kekentalan komunikasi politik. Sebab, sikap pemerintah untuk menaikkan BBM sudah melalui proses komunikasi politik dengan mendapat persetujuan DPR, Gabriel Almond (1960): komunikasi politik adalah salah satu fungsi yang selalu ada dalam setiap sistem politik. “All of the functions performed in the political system, political socialization and recruitment, interest articulation, interest aggregation, rule making, rule application, and rule adjudication,are performed by means of communication.” Komunikasi politik merupakan proses penyampaian pesan-pesan yang terjadi pada saat keenam fungsi lainnya itu dijalankan. Hal ini berarti bahwa fungsi komunikasi politik terdapat secara inherent di dalam setiap fungsi sistem politik. Process by which a nation’s leadership, media, and citizenry exchange and confer meaning upon messages that relate to the conduct of public policy. Communication (activity) considered political by virtue of its consequences (actual or potential) which regulate human conduct under the condition of conflict (Dan Nimmo). Kegiatan komunikasi yang dianggap komunikasi politik berdasarkan konsekuensinya (aktual maupun potensial) yang mengatur perbuatan manusia dalam kondisi konflik. Cakupan: komunikator (politisi, profesional, aktivis), pesan, persuasi, media, khalayak, dan akibat.      Communicatory activity considered political by virtue of its consequences, actual, and potential, that it has for the funcioning of political systems (Fagen, 1966). Political communication refers to any exchange of symbols or messages that to a significant extent have been shaped by or have consequences for the political system (Meadow, 1980). Komunikasi politik merupakan salah satu fungsi partai politik, yakni menyalurkan aneka ragam pendapat dan aspirasi masyarakat dan mengaturnya sedemikian rupa –“penggabungan kepentingan” (interest aggregation” dan “perumusan kepentingan” (interest articulation) untuk diperjuangkan menjadi public policy. (Miriam Budiardjo). Jack Plano dkk. Kamus Analisa Politik: penyebaran aksi, makna, atau pesan yang bersangkutan dengan fungsi suatu sistem politik, melibatkan unsur-unsur komunikasi seperti komunikator, pesan, dan lainnya. Kebanyakan komunikasi politik merupakan lapangan wewenang lembaga-lembaga khusus, seperti media massa, badan informasi pemerintah, atau parpol. Namun demikian, komunikasi politik dapat ditemukan dalam setiap lingkungan sosial, mulai dari lingkup dua orang hingga ruang kantor parlemen. Wikipedia: Political communication is a field of communications that is concerned with politics.
Communication often influences political decisions and vice versa. The field of political communication concern 2 main areas:
1. Election campaigns – Political communications deals with campaigning for elections.
2. Political communications is one of the Government operations. This role is usually fullfiled by the Ministry of Communications and or Information Technology. Mochtar Pabotinggi (1993): dalam praktek proses komunikasi politik sering mengalami empat distorsi :
1. Distorsi bahasa sebagai “topeng”; ada euphemism (penghalusan kata); bahasa yang menampilkan sesuatu lain dari yang dimaksudkan atau berbeda dengan situasi sebenarnya, bisa disebut seperti diungkakan Ben Anderson (1966), “bahasa topeng”.
2. Distorsi bahasa sebagai “proyek lupa”; lupa sebagai sesuatu yang dimanipulasikan; lupa dapat diciptakan dan direncanakan bukan hanya atas satu orang, melainkan atas puluhan bahkan ratusan juta orang.”
3.Distorsi bahasa sebagai “representasi”; terjadi bila kita melukiskan sesuatu tidak sebagaimana mestinya. Contoh: gambaran buruk kaum Muslimin dan orang Arab oleh media Barat.
4. Distorsi bahasa sebagai “ideologi”. Ada dua perspektif yang cenderung menyebarkan distoris ideologi. Pertama, perspektif yang mengidentikkan kegiatan politik sebagai hak istimewa sekelompok orang –monopoli politik kelompok tertentu. Kedua, perspektif yang semata-mata menekankan tujuan tertinggi suatu sistem politik. Mereka yang menganut perspektif ini hanya menitikberatkan pada tujuan tertinggi sebuah sistem politik tanpa mempersoalkan apa yang sesungguhnya dikehendaki rakyat.  

Sumber : Soekartono Online

Politik Pencitraan dan Korupsi

Sejak menjadi presiden, jenderal bintang empat ini memang hanya mengandalkan kemampuan personalnya dalam membangun kekuatan politiknya. Image “personalnya” sanggup menjadi magnet bagi mayoritas pemilih Indonesia dalam dua kali pemilu (2004 dan 2009), bahkan sanggup menerangi pembesaran partainya, demokrat. Kesemuanya itu dibangun melalui politik pencitraan.

Politik Pencitraan

Meski dia adalah jenderal bintang empat, tetapi dia lebih menonjolkan dirinya sebagai seorang yang berpikiran cerdas, berwawasan luas, bijaksana, dan penuh perhitungan ilmiah, sesuai dengan kapabelitasnya sebagai seorang yang bergelar doktor kehormatan (honoris causa).

Di layar kaca, setiap penampilannya selalu memukau publik, bukan hanya orang awam tapi juga kalangan menengah ke atas, melalui gerakan mimik muka yang ekspresif, gerakan tangan dalam menekankan point pembicaraan, hingga tempo dan tekanan suara yang enak didengar orang-orang timur.

Dengan begitu, dia selalu berhasil menguasai keadaan; mengontrol emosi publik dan menggunakannya untuk menyerang lawan-lawan politik yang agressif. Dalam kultur timur—tepatnya Melayu, pesona petarung seperti ini memang nyaris sempurna, ketimbang petarung yang agressif, kasar, dan “maksain”.

Melihat fenomena ini, saya selalu senang untuk membandingkannya dengan presiden yang digelari si tangan besi, Margareth Thatcher. Selain sama-sama memiliki kecenderungan model kebijakan ekonomi yang anti buruh dan kaum miskin, keduanya juga sanggup mengubah personality mereka 180 derajat.

Sebelum memasuki pertarungan pemilu presiden, khalayak dan jurnalis mengenal Thatcher sebagai sosok perempuan keras, reaksioner, dan penuh kemewahan. Dia sendiri adalah istri seorang jutawan inggris. Dialah orang yang mencabut kebiasaan susu gratis untuk anak-anak sekolah dasar.

Ditangan seorang produser TV terkenal, Gordon Reece, Thatcher mulai berubah menjadi seorang yang berbicara lembut, aksen bicaranya sangat teratur, hingga akhirnya terpilih menjadi pemimpin kharismatik partai konservatif, partai Tory. Atas nasihat Reece, dia mulai mengubah potongan rambut, gaya berbusana, menggunakan sarung tangan, dan berjuang keras menurunkan nada dan tempo suaranya. Pemilih inggris memilih Margareth Thatcher, sang ibu rumah tangga superstar, menjadi perdana menteri pada tanggal 4 Mei 1979. Sejak itu, Reece selalu berada di belakangnya, sebagai penata “image” personalnya.

Thatcher melembagakan gaya politik baru dalam menjaga keseimbangan kekuasaannya. Pada masa awal pemerintahaannya, dia berusaha membangun dan menemukan pola komunikasi politik diluar keumumam atau kelaziman protokoler politik era rejim sebelumnya. Dia seolah-olah membawa tradisi berpolitik baru. Ketika kebijakannya diserang oposisi, dia segera mencuri start untuk menjelaskan panjang lebar di media TV dan cetak, khususnya mengenai ketidaktahuan oposisi akan ‘maksud baik” kebijakannya.

Dia sangat “licik” dalam memukul oposisi. Dengan dukungan kelas berkuasa inggris di tangannya, dia bisa mengontrol media dan menggunakannya untuk mendiskreditkan oposisi, idealisme, atau yang berbau “sosial/kerakyatan”. Gerakan buruh segera dituduh ditunggangi oleh komunisme, dan komunisme disamakan dengan ide ketinggalan jaman, kediktatoran, horror, dan berbagai ketakutan.

Dia juga tidak segan mengeritik pedas dan menjatuhkan kabinet dan bawahannya, meskipun ini sekedar sandiwara palsu untuk menarik simpati rakyat. Ia juga selalu “lihai” melimpahkan kesalahan dan kegagalan pada pejabat departemen di bawahnya, padahal dia sendiri adalah pihak yang bertanggung jawab. Ketika berdiskusi dan menarik solusi untuk mengatasi sebuah persoalan besar, dia tidak segan memanggil banyak pihak dan tim ahli di bidangnya. Namun, setelah proses diskusi, dia meluncurkan sendiri ide kelompok elit di dekatnya, sembari menyatakan bahwa itu bukan idenya.

Melihat Thatcher secara sekilas, saya langsung melihat bahwa bapak presiden kita kini sedang menjadikannya acuan, meskipun tidak langsung, atau setidaknya oleh penata gaya presiden saat ini. Memang betul, seperti dikatakan oleh Nunn, peneliti di departemen media, komunikasi, dan studi-studi budaya Middlesex University, bahwa konstruksi image di layar kaca sangat mempengaruhi fantasi-fantasi khalayak luas.

Korupsi dan Pertaruhan Image

Dalam kekisruhan politik akhir-akhir ini, terutama semenjak isu kriminalisasi menggoyang lembaga yang masih cukup kredibel, KPK, presiden SBY terlihat mau memilih berada di luar arena kekacauan tersebut. Ini jelas terlihat dan tersirat dalam pernyataannya, presiden memandang kasus KPK versus Polri (didukung kejaksaan dan Komisi III DPR) bukan dalam domain kewenangannya.

Hanya setelah publik bereaksi keras, presiden mulai memanggil sejumlah tokoh nasional dan intelektual paling berwibawa, untuk mendiskusikan metode penyelesaian masalah. Dari situ, lahirlah tim independen pencari fakta (Tim-8), sebuah jalan keluar paling aman dan tidak mengikis kredibiltas personal sang presiden.

Setelah tim-8 menjalankan pekerjannya; melakukan investigasi, menggali informasi, kajian, memanggil berbagai pihak terkait, dan akhirnya melahirkan rekomendasi, presiden malah bersikap “cuek-cuek” aja.

Hari ini (21/11/09), seperti yang dilangsir sejumlah media, presiden malah memanggil Kapolri dan kejagung untuk menanyakan pendapat dan kajian kedua institusi ini terhadap rekomendasi tim-8. Ini sangat aneh, sebab presiden sebagai kepala negara dan pemerintahan malah bertindak ibarat “mediator” antara pihak-pihak bermasalah. Publik mengenal betul, bahwa Polri dan kejaksaan adalah dua pihak “tersangka” dalam kekisruhan hukum di tanah air.

Kenapa dia hanya kelihatan jadi mediator, bukankah dia presiden dan punya kewenangan berlebih. Belum lagi dia merupakan perpaduan jenderal bintang empat dan doktor, seharusnya memiliki ketegasan, ketelitian, kejelian, dan integritas untuk bertindak cepat.

Pertanyaanya; kenapa bisa begitu? Seperti juga gurunya Thatcher, presiden menghindarkan diri atau personalnya sebagai bagian atau salah satu subjek masalah. Isu kriminalisasi KPK hingga terbongkarnya rekaman percakapan memalukan Anggodo Widjoyo dan sejumlah pejabat penegak hukum adalah lumpur paling kotor dalam sejarah penegakan hukum Indonesia. Kalau presiden sampai ada di dalam sandiwara itu, maka politik pencitraannya akan ambruk seketika. Inilah point pertamanya.

Kedua, korupsi adalah moral paling bejat dan juga dikutuk oleh kapitalisme, terutama neoliberal. Oleh penganut neoliberal, moral paling bejat ini selalu dialamatkan untuk mendiskreditkan model-model ekonomi yang mengandalkan negara. Mereka segera menuduh rejim korup sebagai akibat pelibatan atau peran negara yang terlampau besar.

Pada kenyataannya, sejumlah rejim neoliberal diguncang korupsi sangat memalukan di mana-mana, termasuk di Indonesia. Di negeri ibu pertiwi ini, korupsi dan kejahatan ekonomi dibalutkan pada sebuah make-up penyelamatan ekonomi bernama bailout. Itulah skandal bank century, dimana pengikut paling setia dan kader terbaik neoliberal (Budiono dan Sri Mulyani) diduga tersangkut paut.

Bukankah dulu Sri Mulyani, ketika menjadi ekonom, menjadi pengeritik paling pedas terhadap pengelolaan ekonomi orde baru (kapitalisme kroni). Kini, dia sendiri berada dalam sandera kutukan itu sendiri.

Ini benar-benar pertaruhan citra. Dan pemerintahan bersih benar-benar merupakan make-up paling laris dari jualan SBY-Budiono dalam pemilu presiden lalu. Sekali pak presiden tersangkut dalam kekisruhan itu, maka bangunan politik pencitraan akan tergulung oleh tsunami ketidakpercayaan. Ibarat pemain film bertema religi; ketika kepergok melakukan perbuatan tidak senonoh (seks, judi, mabuk), maka nilai “personalnya” akan runtuh seketika.



*) Peneliti Lembaga Pembebasan Media dan Ilmu Sosial (LPMIS), pemimpin redaksi Berdikari Online, dan pengelola jurnal Arah Kiri.



Apakah Indonesia Negara Demokratis?

Indonesia lahir sebagai sebuah negara di akhir perang dunia kedua. Tepatnya ketika pasukan sekutu pimpinan Amerika Serikat berhasil mengalahkan Jerman dan menjatuhkan bom atom di Hiroshima dan Nagasaki untuk mengakhiri perang di Pasifik. Seperti tertulis pada sejarah, Indonesia menetapkan 17 Agustus 1945 sebagai hari kemerdekaannya.
Yang istimewa dari kemerdekaan itu adalah rangkaian kata-kata dalam pembukaan konstitusi republik yang berpihak pada kemerdekaan universal, mencerdaskan bangsa dan penghormatan pada hak individu.
Pembukaan konstitusi itu tidak dipikirkan dan dibuat dalam kurun waktu singkat. Namun, pemikiran tentang kemerdekaan dan kebebasan sebagai suatu bangsa dalam pergaulan diantara bangsa-bangsa yang lain sudah dirancang sejak masa sarjana muda Indonesia kembali dari perjalanan akademisnya.
Para sarjana yang belajar ke negeri Belanda seperti Hatta dan Sjahrir, yang pergi ke Belanda karena politik etis Ratu Wilhelmina, belajar dengan cepat tentang kemerdekaan Perancis dan Amerika Serikat. Prinsip-prinsip tentang liberate, fraternite, dan egaliterite merasuk cepat pada pikiran-pikiran anak muda Indonesia kala itu. Sampai mereka di Indonesia organisasi-organisasi yang berjuang atas nama kemerdekaan dan kebebasan muncul dimana-mana.
Slogan-slogan tentang kebebasan dan kemerdekaan berkibar dimana-mana. Kebebasan seperti kebebasan untuk berekspresi dan kemerdekaan untuk menentukan nasib sendiri merupakan salah satu misi utama yang diperjuangkan.
Kebebasan menyangkut pada hak-hak individu pribumi untuk bertindak tanpa paksaan dan dengan paksaan. Beragam implementasi kebebasan itu sendiri seperti, mendapatkan informasi dan menggunakan informasi serta menyampaikan informasi. Hak individu untuk bertindak dan berbuat tanpa gangguan dari penguasa. Kemerdekaan menentukan nasib sendiri terkait dengan hak-hak ekonomi dan sipil-politik.
Sebagaimana diketahui, pemerintah kolonial Belanda di awal abad 1900-an, sangat tidak mentolerir tindakan-tindakan anak muda terkait kampanye dan pendidikan rakyat. Mereka anggap hal itu bisa membuat keonaran dan kerusuhan umum. Salah satu contoh praktek represif kolonial adalah saat mengadili Soekarno, Gatot Mangkoepradja, Maskoen Soemadiredja, dan Soepriadinata di Bandung. Kolonial menganggap aktivitas keempat anak muda itu akan mengancam pemerintah yang sah.
Gerakan kebebasan dan kemerdekaan ini memang dimotori oleh azas-azas Revolusi Perancis dan Amerika. Sikap politik liberalisme ini di awal abad ke-19 menjadi semangat politik di seluruh dunia, termasuk Indonesia.
Kaum liberal menginisiasi prinsip kebebasan. Pada dasarnya mereka menganggap manusia sebagai makluk rasional. Gagasan-gagasan dari pemikiran liberal ini diantaranya adalah:[1]
Pertama: Pembatasan tindakan pemerintah yang aktifitas dan wewenang kekuasaannya harus terikat pada terjaminnya hak-hak kebebasan.
Kedua; Persoalan-persoalan individu dan negara atau individu dan individu harus berdasarkan hukum. Artinya secara hukum, paham ini menghendaki negara berciri negara hukum yang kuat.
Lantas bagaimana Indonesia sejak kemerdekaan hingga hari ini?
Cukup pelik menyatakan Indonesia berstatus A atau B. Dihitung sejak era reformasi, ketika suara kebebasan bergema seperti era perjuangan kemerdekaan, desakan agar negara menghormati hak-hak individu gencar diperjuangkan. Hasilnya, instrumen negara malah membuat beberapa produk aturan yang berimplikasi pada pemenjaraan warga negara.
Dalam sistem hukum Indonesia, muatan Kitab Undang-undang Hukum Pidana dikenal tiga jenis tindak pidana terkait dengan penghinaan, yaitu pencemaran, fitnah dan penghinaan ringan. Penghinaan atau defamation secara harfiah didefinisikan sebagai sebuah tindakan yang merugikan nama baik dan kehormatan seseorang.
Masih adanya penggunaan ketentuan itu dalam sistem hukum Indonesia, pro dan kontra terus berlanjut. Sisi yang pro menghapus ketentuan defamation merupakan aturan pembatasan dalam kebebasan berekspresi dan berpendapat yang diduga hanya untuk membatasi akses masyarakat terhadap informasi. Sementara pembuat UU menyatakan hal ini untuk mencegah warga negara saling menghina di depan umum.
Pihak-pihak seperti Aliansi Jurnalis Independen, Dewan Pers, Persatuan Wartawan Indonesia, dan Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia pernah menggugat penghapusan pasal-pasal ini ke Mahkamah Konstitusi. Tapi pihak Mahkamah tidak mengabulkan gugatan mereka dan mempertahankan keberadaan pasal-pasal penghinaan.
Pasca keputusan itu, pembuat UU malah mengeluarkan produk baru undang-undang. Pasal-pasal penghinaan tidak hanya dimuat dalam KUHP, tapi juga dalam undang-undang baru yang disebut UU Informasi dan Transfer Elektronik. Isu yang mengemuka UU ITE malah lebih ”galak” dibanding KUHP memberi ruang yang samar apakah seseorang bisa membela diri atau tidak.
Sebagaimana dalam KUHP, seseorang dianggap mencemarkan nama baik bisa membela diri jika menggunakan pendapat atau tulisannya untuk kepentingan umum atau membela diri. Sedangkan dalam UU ITE hal ini tidak diatur.
Makin kuatnya pasal-pasal penghinaan dalam sistem hukum Indonesia lantas menimbulkan pertanyaan akan kemana nasib kebebasan itu sendiri di negeri yang mengaku demokratis.

Sumber : Forum-Politisi