Rabu, 30 Juni 2010

Gayus, Untuk Gula Petani

"Gayus" untuk Gula Petani
MEMBACA judul tulisan ini mungkin banyak yang mengernyitkan dahi. Apa hubungan Gayus dengan gula petani? Terbongkarnya kasus mafia pajak yang melibatkan Gayus Tambunan merupakan peristiwa sangat fenomenal. Begitu fenomenalnya sehingga terhadap semua yang menyangkut masalah pajak, publik negeri ini kemudian mengidentikkannya dengan sosok Gayus.

Sementara itu, beberapa hari belakangan santer diberitakan bahwa pe­merintah berencana mengenakan pajak pertambahan nilai (PPN) terhadap gula petani 10 persen. Jadi, mohon dimak­lumi atas keusilan penulis ikut-ikutan latah mengganti kata "pajak" dengan kata "Gayus" pada judul tulisan ini.

Wacana pengenaan PPN tersebut ke­mudian direspons negatif oleh pasar. Harga lelang gula petani terus anjlok. Sekitar 6.700 ton gula petani di wilayah PT Perkebunan Nusantara X tidak laku dijual. Bahkan, lelang gula petani yang diselenggarakan di PT Perkebunan Nu­santara XI, Selasa (15/6), gagal menca­pai kesepakatan harga. Jika pada pekan sebelumnya harga lelang gula petani masih bertengger pada angka Rp 8.060 per kilogram, saat lelang tersebut diselenggarakan, angka penawaran tertinggi hanya Rp 7.200 per kilogram.

Musim panen tak selamanya identik dengan kegembiraan. Setidaknya itulah yang terjadi pada petani tebu saat ini. Menurut hitung-hitungan Abdul Wachid, ketua umum Dewan Pimpinan Nasional Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia (APTRI), pendapatan petani tebu pada musim giling 2010 berpotensi hilang Rp 1,57 triliun. Kondisi ini merupakan resultan dari turunnya harga lelang gula, kecilnya rendemen, anjlok­nya harga tetes tebu, dan naiknya ong­kos tebang angkut (Kompas, 21/6).

Masalah Transmisi Harga

Duka petani tebu ini bermula ketika Un­dang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan memasukkan gula petani sebagai barang kena pajak. Pertimbang­annya, gula dinilai bukan produk primer seperti beras, jagung, kedelai, atau telur, tetapi merupakan barang olahan. Produk primernya sendiri adalah tebu.

Tentu masalah ini mengusik hati nu­rani kita. Pasalnya, petani tebu bukan­lah peng­usaha kena pajak. Umumnya petani tebu adalah petani subsistem yang mengusahakan lahannya sekadar untuk memenuhi kebutuhan hidup minimal keluarga, sehingga tidak pantas dikenai PPN.

Menurut data statistik 2009, produksi gula petani mencapai 1,6 juta ton. Dengan asumsi harga gula di tingkat lelang Rp 8.000/kg, dari pengenaan PPN 10 per­sen akan dapat diraup fulus Rp 1,28 triliun setahun. Nominal ini tentu sangat meng­giurkan bagi aparat pemungut pajak.

Agar tidak terkesan menindas petani, Ditjen Pajak membuat skema pengenaan PPN tersebut tidak langsung kepada petani, tetapi kepada pedagang. Se­pintas terkesan sangat heroik, tapi pemerintah mungkin lupa bahwa pada perdagangan komoditas pertanian, transmisi harga bersifat asimetris. Penurunan harga selalu ditransmisikan dengan cepat kepada petani. Seba­lik­nya, kenaikan harga ditransmisikan dengan lambat.

Kondisi seperti ini sangat kontra produktif dengan upaya pencapaian swasembada gula yang ditargetkan pemerintah pada 2014. Faktor utama yang memengaruhi kegairahan petani dalam mening­katkan produksi adalah adanya insentif yang memadai terhadap harga jual pro­duk. Harga lelang gula yang terus merosot tentu menggerus kegairahan petani tebu untuk meningkatkan produksi.

Gula Rafinasi

Untuk mencapai target swasembada gula 2014, pemerintah harus secara tegas menunda kebijakan yang sangat tidak populer bagi petani tebu dan menjamin tidak akan ada potongan PPN di kemudian hari. Seharusnya pemerintah lebih fokus pada permasalahan utama peningkatan produksi gula nasional, yaitu sisi off farm.

Rendahnya tingkat otomatisasi pabrik berakibat pada beberapa hal. Misalnya, kualitas gula relatif rendah, tingkat efisiensi rendah, dan daya saing usaha lemah. Saat ini rendemen rata-rata yang dicapai pabrik gula BUMN hanya berkisar tujuh persen. Angka itu dapat ditingkatkan menjadi 9-10 persen jika dilakukan modernisasi pabrik gula yang saat ini umumnya sudah sangat tua. Karena itu, Program Revitalisasi Industri Gula 2010-2014 yang menelan investasi Rp 4,43 triliun, harus banyak menyentuh sisi off farm untuk mengganti mesin/peralatan pabrik yang sudah tua dan tidak efisien.

Kebijakan fiskal yang tepat perlu dila­kukan agar iklim usaha gula domestik lebih kondusif. Sebagai contoh penerapan bea masuk gula impor harus diterap­kan secara progresif. Artinya, jika harga gula di pasar internasional sedang turun, bea masuk harus dinaikkan pada angka signifikan. Melalui cara ini stabilitas harga dan pasokan gula nasional akan terjaga.

Satu hal yang harus diingat, impor gula harus ditempatkan sebagai bagian dari solusi dan strategi produksi nasional yang berkelanjutan. Selama ini kebijakan impor lebih terkesan sebagai kebijakan ad hoc dalam rangka "memadamkan kebakaran".

Pengawasan distribusi gula impor juga masih sangat lemah. Gula rafinasi yang menurut Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 111 Tahun 2009 diperuntukkan bagi industri makanan dan minuman, sekarang ini bocor ke pasaran umum. Kondisi ini tentu berpotensi menjatuhkan harga gula petani.

Program swasembada gula 2014 tak akan tercapai tanpa dukungan moral dan politik dari para penentu kebijakan untuk lebih berpihak kepada petani tebu. Ke­bijakan pengenaan PPN pada gula petani ini sama saja dengan upaya kaum penjajah pada abad ke-19. Mereka membunuh para pe­tani sejak adanya industri agrikultur pa­da 1830. Sedihnya, setelah merdeka, ke­bijakan itu justru dilanjutkan oleh bangsa sendiri. Lalu, apa kata dunia? (*)

*) Toto Subandriyo , alumnus IPB dan MM-Unsoed, kepala BP4K Kab Tegal, Jateng
www.jawapos.co.id

Pergeseran Paradigma Parpol

Oleh : Salahuddin Wahid

KEHIDUPAN kepartaian di Indonesia dalam belasan tahun terakhir mengalami perkembangan menarik, baik dari segi paradigma maupun partainya sendiri (nama dan kekuatan). Hal itu merupakan keniscayaan karena memang telah terjadi perkembangan sosial yang amat luar biasa beberapa puluh tahun terakhir. Tetapi, perubahan itu tidak sempat mewujud dalam kenyataan, karena kehidupan kepartaian kita dikendalikan sepenuhnya oleh pemerintah.

Ketika Presiden Habibie membuka kesempatan mendirikan partai baru, para politikus lama dan politikus baru beramai-ramai mendirikan partai. Dalam waktu cepat berdirilah lebih dari 100 partai. Setelah diverifikasi KPU, 48 partai berhak ikut pemilu.

Secara umum kita melihat bahwa para pendiri partai pada 1998 masih mengacu pada tipologi partai besar hasil pemilu (PNI, Masyumi, NU) dan partainya Orde Baru (Golkar). PKI, karena telah lama dilarang, tidak punya partai reinkarnasi. PNI, Masyumi, NU, dan Golkar, masing-masing menjelma menjadi sejumlah partai.

Hasilnya sudah kita ketahui. PDIP sebagai pelanjut perjuangan BK (identik dengan PNI) menjadi pemenang (sekitar 34 persen suara). Di luar dugaan, Partai Golkar menjadi pemenang kedua (> 20 persen suara). Suara warga NU terbagi ke dua partai menengah: PKB (± 12 persen), PPP (± 10 persen), dan beberapa partai kecil. Suara warga eks Masyumi terbagi ke PAN (±7 persen), PPP (± 3 persen), PBB (± 2 persen), dan beberapa partai kecil.

Menurunnya "Islam Politik"

Sebenarnya di dalam kalangan warga NU telah terjadi perubahan dalam pandangan politik anak-anak muda NU akibat penerimaan Pancasila oleh NU dan juga pengaruh Gus Dur. Sementara itu, banyak kiai berpengaruh di Jatim dan Jateng masih mempunyai pandangan politik seperti pada era NU menjadi partai. Perbedaan inilah yang ikut memicu berdirinya PK NU (2006), selain ketidakcocokan para kiai tersebut di atas dengan langkah politik GD.

Di kalangan warga eks Masyumi juga terjadi perkembangan serupa. Amien Rais menolak tawaran menjadi ketua umum PBB dengan alasan PBB terlalu sempit. Lalu dia membentuk PAN yang dimaksudkan sebagai partai terbuka, seperti yang dimaksud oleh PKS saat ini.

Di dalam Pemilu 1999, jumlah suara partai Islam dan partai berbasis massa Islam di bawah perolehan partai Islam pada 1955. Pada Pemilu 2004 jumlah perolehan suara partai-partai tersebut sedikit meningkat, tetapi pada Pemilu 2009 jumlah tersebut merosot tajam, sekitar separo dari jumlah suara pada Pemilu 1955. Ormas Islam tidak mampu lagi menjadi pengikat dalam sikap politik warganya.

Dengan adanya niat PKS menjadi partai terbuka, pasti timbul pertanyaan, apakah "Islam politik" akan makin kecil pendukungnya. Bagi saya, belum jelas apakah PKS tetap mempertahankan prinsip Piagam Madinah yang selama ini dianutnya atau memilih prinsip-prinsip dalam Pancasila. PKS harus bekerja keras meyakinkan pemilihnya kalau meninggalkan Piagam Madinah. Langkah ini sebetulnya mengandung risiko cukup besar, tetapi tentu tokoh-tokoh PKS, termasuk yang di daerah, telah menghitungnya dengan cermat.

Partai Islam yang masih bisa bertahan adalah PPP, yang perlu bekerja keras mempertahankan jumlah suara kalau ambang batas 5 persen diberlakukan. Apalagi, ada suara lirih tentang niat Parmusi untuk bergabung dengan Golkar, walaupun lalu dibantah. Pemilih PKS yang kental keislamannya bisa digarap PPP. Partai Islam yang kecil (PBB dan PK NU) sulit diharapkan untuk bergabung sehingga praktis tidak akan terwakili di DPR.

Tokoh dan Dana

Tampak adanya perubahan besar pada paradigma partai. Kalau dulu bergantung pada ideologi atau gagasan besar, kini partai berkembang dengan bergantung pada tokoh. Yang tidak bergantung pada tokoh adalah Partai Golkar, PKS, dan PPP. PDIP amat bergantung pada Megawati. PKB bergantung pada GD. PAN bergantung pada Amien Rais. Gerindra bergantung pada Prabowo. Hanura bergantung pada Wiranto.

Yang paling mencolok dan fenomenal adalah ketokohan SBY. Partai Demokrat yang baru berdiri pada 2001 tiba-tiba memperoleh sekitar 7 persen (2004) dari jumlah suara, lalu melejit menjadi sekitar 20 persen (2009). Tidak heran kalau para tokoh PD berani mematok perolehan sekitar 30 persen suara pada 2014.

Kita tidak tahu apakah setelah SBY tidak menjabat presiden, suara PD akan merosot. Kita juga tidak tahu apakah PDIP akan merosot suaranya setelah Megawati tidak menjadi ketua umum. Tetapi, kecenderungannya seperti itu, kecuali kedua partai mempersiapkan diri dengan serius. Dalam hal ini, tampaknya, PD lebih siap dengan memilih Anas Urbaningrum sebagai ketua umum.

Partai Golkar dalam perkembangan terakhir tampaknya tidak tergantung pada tokoh, tetapi pada kekuasaan dan dana. Ketika JK menjadi Wapres, dengan kekuasaan di tangan, JK mudah terpilih menjadi ketua umum. Terpilihnya Aburizal Bakrie menunjukkan bahwa faktor utama terpilihnya seseorang menjadi ketua umum PG adalah dana yang berlimpah.

Pragmatisme

Pergeseran paradigma partai itu sejalan dengan pragmatisme para tokoh yang ingin menjadi kepala daerah. Maka, yang muncul menjadi calon kepala daerah adalah mereka yang mempunyai dana dalam jumlah besar. Politik dinasti juga menjadi sesuatu yang menjamur. Kemampuan, apalagi karakter, sang calon kurang menjadi pertimbangan elite partai. Partai hanya menjadi kendaraan politik yang disewa para calon.

Kondisi di atas dilengkapi oleh perilaku negatif, yaitu maraknya politik uang. Pada Pemilu 1999, masalah itu belum muncul, pada Pemilu 2004 juga belum merata walaupun sudah ada, terutama pada pilpres. Tetapi, pada Pemilu 2009 praktik busuk itu sudah merata. Permainan uang itu mencakup pemberian uang kepada pemilih dan pembelian suara, terutama di PPK. Kondisi itu diperburuk dengan kinerja KPU dan KPUD, sehingga terjadi banyak kerusuhan di daerah.

Dengan perilaku pragmatis para pemilih dan praktisi politik seperti itu, sebenarnya tidak penting lagi apakah partai Islam masih ada atau tidak. Sebab, semua partai sudah tidak menunjukkan perilaku yang terpuji. Partai kebangsaan sudah tidak menunjukkan perilaku cinta bangsa dan partai Islam juga tidak menunjukkan perilaku islami. (*)

*)KH. Salahuddin Wahid, pengasuh Pesantren Tebuireng.

www.jawapos.co.id
 

Selasa, 29 Juni 2010

Keberatan Label, Terseok-seok pada SDM

Media Indonesia
kamis, 27 Mei 2010

AROMA tak sedap di balik label rintisan sekolah bertaraf internasional (RSBI) dan sekolah bertaraf internasional (SBI) menyeruak ketika promosi tak sesuai dengan kenyataan. Tak mengherankan bila label RSBI dan SBI hanya dijadikan modus mengumpulkan pundi-pundi rupiah.

Evaluasi Forum Guru Independen Indonesia (FGII) terhadap RSBI dan SBI menyebutkan dari sisi fasilitas, sarana dan prasarana gedung sekolah memang terpenuhi. Namun, sumber daya manusia (SDM) masih kedodoran.

Padahal, peraturan menteri menyebutkan untuk RSBI SMP setidaknya mempunyai minimal 10% guru bergelar S-2 linier sesuai dengan bidang studi dan untuk SMA minimal 20% S-2 linier. "Faktanya belum ada beasiswa untuk guru menempuh S-2 sesuai dengan linier bidang studi dan hanya terdapat guru S-2 di bidang manajemen pendidikan dan teknologi pendidikan," kata Ketua II FGII Gino Vanollie saat dihubungi akhir pekan silam.

FGII menyarankan agar pemerintah tidak memaksakan mendorong munculnya sekolah berlabel internasional yang hanya berorientasi proyek. "Lebih baik satu sekolah berstandar internasional di tiap-tiap provinsi, kabupaten, atau kota kemudian dievaluasi perkembangannya," ungkapnya.

Tak ada alasan pemerintah berpangku tangan melihat sejumlah sekolah RSBI dan SBI yang sekadar kedok cari duit. Menurut Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian Pendidikan Nasional Mansyur Ramly, untuk mengendalikan pungutan RSBI dan SBI yang gila-gilaan, alatnya ialah PP No 17/2010 tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan. Dalam Pasal 154 disebutkan satuan pendidikan dilarang menggunakan nama internasional sebelum ada penetapan atau persetujuan dari pemerintah.

Menurut rencana, Balitbang Kemendiknas pada akhir 2010 mengeluarkan unit cost untuk menetapkan satuan biaya sekolah yang patut dipungut untuk mutu pendidikan sekolah berlabel internasional.

Unit cost itu berbeda-beda di setiap daerah, dipisahkan menurut standar provinsi, kabupaten, dan kota atau menurut tingkat mutu SBI di daerah tersebut.

Menimbang Konfederasi Parpol

Oleh : Ahmad Nyarwi

Gagasan Partai Amanat Nasional (PAN) soal format konfederasi partai politik (parpol) menarik untuk dicermati. Tujuan Ketua DPP PAN Bima Arya Sugiarto menawarkan model konfederasi, Indonesia mampu mencapai penataan koalisi yang lebih maju. Asumsinya, dengan diikat landasan hukum yang jelas, sifat koalisi atau konfederasi bisa lebih permanen.

Jika melihat kecenderungan format koalisi parpol dalam dua periode terakhir, gagasan tersebut cukup menarik. Selama itu, koalisi parpol mewujud dalam tiga peristiwa penting. Pertama, koalisi menjelang pemilu presiden. Kedua, koalisi menjelang pilkada. Ketiga, koalisi untuk mendukung rezim politik pemenang pascapilpres.

Dua format pertama hanyalah koalisi "papan peluncur". Sedangkan format terakhir hanyalah koalisi berbasis transaksi politik. Keduanya jelas menyimpan kelemahan serius. Puncak kelemahan format koalisi parpol itu adalah ketidakefektifan dan ketidakstabilan pemerintahan serta konspirasi elite yang dominan di setiap parpol sehingga meminggirkan kepentingan publik.

Plus-Minus

Jika merujuk model Malaysia, konfederasi politik yang digagas Bima Arya dkk itu memang bisa menjadi jalan keluar yang menarik. Format koalisi sebelum pemilu dan pilkada jelas memiliki kelemahan mendasar yang terkait dengan fungsi dan dampaknya bagi kelangsungan kinerja rezim politik pemenang. Begitu pula koalisi pascapemilu, sebagaimana yang saat ini dipraktikkan melalui Sekber -kemudian menjadi Setgab- Koalisi. Koalisi pascapemilu tersebut juga rentan akan transaksi politik di luar mekanisme elektoral.

Jika mengacu model konfederasi politik UMNO di Malaysia, koalisi itu memiliki keunggulan utama. Yaitu, daya ikatnya yang permanen. Sebagaimana yang kita saksikan, kekuatan UMNO yang dimotori Barisan Nasional, yakni United Malays National Organization (UMNO), Malaysian Chinese Association (MCA), dan Malaysian Indian Congress (MIC), terbukti mampu menjadi penopang rezim politik dengan lebih stabil dan efektif dalam menjalankan pemerintahan.

Model konfederasi politik itu juga memiliki sejumlah kelemahan mendasar. Kelemahan utama terkait dengan kecenderungan arah perkembangan model demokrasi di negeri ini. Malaysia jelas menganut pseudo democracy. Tentu saja paham itu berbeda dengan acuan Indonesia, yang telah bergerak jauh ke arah liberal democracy, yang berbasis pada pemilu langsung.

Andrew Aeria (2005) dalam Mavis Puthucheary dan Norani Othman (2005) lewat Elections and Democracy in Malaysia menjelaskan, model konfederasi politik ala Malaysia cenderung menguatkan patronase politik di level nasional dan lokal. Dampaknya, menurut Sharaad Kuttan (2005), model konfederasi politik tersebut dalam kadar tertentu meng­ancam civil society dan pressure group.

Kelemahan berikutnya terkait dengan kelangsungan performance tiap parpol anggota konfederasi maupun yang bukan anggota. Khoo Boo Teik (2005) menyimpulkan bahwa konfederasi politik model Malaysia memberikan sejumlah batas terhadap tiap parpol dalam berdemokrasi. Faktor ekonomi nasional, pertimbangan ideologi negara, dan kelompok koalisi yang berkuasa cenderung dikedepankan melampui kepentingan publik mana pun dalam demokrasi.

Faktor-faktor itu tentu sangat subjektif dan cenderung menguntungkan parpol-parpol anggota konfederasi yang berkuasa daripada yang tidak berkuasa. Akibatnya, diskriminasi politik sangat potensial dilakukan oleh mereka yang berkuasa. Risiko terburuk model konfederasi politik itu adalah menguatnya model otoritarianisme baru yang berbasis konfederasi.

Menimbang Konfederasi

Fakta itu hanyalah sepenggal peristiwa politik yang terus berlangsung di negeri jiran tersebut. Lantas, apakah model itu cocok dengan Indonesia? Indonesia dan Malaysia jauh berbeda. Malaysia menganut sistem parlementer serta berbasis partai lokal dan nasional. Sedangkan Indonesia, walaupun belum sempurna, menganut sistem presidensial dengan basis partai mayoritas nasional. Malaysia memiliki struktur sosial masyarakat yang tidak terlalu kompleks dan didominasi identitas sosial yang berbasis tiga etnis utama, yakni Melayu, Tionghoa, dan India. Walaupun sama-sama dihuni mayoritas muslim, Malaysia tidak terlalu liberal dan sekuler sebagaimana Indonesia. Sementara itu, persoalan Indonesia jauh lebih kompleks. Kompleksitas konfigurasi politik tidak hanya berbasis etnis, tapi juga agama, ras, dan kelas sosial.

Kalau bertujuan melahirkan format koalisi permanen serta mendukung kinerja dan efektivitas pemerintahan, jelas konfederasi politik ala Malaysia menjadi model yang menarik untuk diadopsi di Indonesia. Hal tersebut penting untuk menjaga manuver elite parpol agar tidak terlalu liar. Namun, bila dipraktikkan, kemudian melahirkan persaingan loyalitas antarelite parpol dengan cara mengooptasi, bahkan mengerangkeng kekuatan ormas, civil society, dan pressure group agar tidak kritis pada rezim politik, konfederasi politik itu tentu berbahaya bagi masa depan demokrasi negeri ini.

Pada level elite, konfederasi tersebut menarik untuk dikembangkan di Indonesia. Hanya, model itu harus disertai regulasi yang lebih jelas dan detail dengan mempertimbangkan aspek yang lebih substansial bagi masa depan demokrasi Indonesia. Selain itu, jika mau mengadopsi model tersebut, regulasi politik harus dilakukan secara formal (tidak sekadar konvensi antarparpol) dengan mengedepankan aspek konsistensi, kejujuran, dan keterbukaan. Jika tidak, model konfederasi politik itu cenderung memberikan kontribusi negatif bagi demokrasi negeri ini.

Pada level publik, model konferedasi politik ala Malaysia ini sebenarnya cukup menarik. Apalagi jika mampu menghasilkan kapasitan rejim politik dan pemerintahan yang excellent dan memiliki prestasi luar biasa bagi meningkatnya kesejahteraan publik. Boleh saja model ini diadopsi di Indonesia, namum dengan catatan harus selalu mempertimbangkan sejumlah faktor.

*) Ahmad Nyarwi, pengajar di Jurusan Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (Fisipol) Universitas Gadjah Mada (UGM), Jogjakarta

http://www.jawapos.com