Sabtu, 05 Desember 2009

Mengapa LSM Berpihak Pada Kaum Rayalis?

Giles Ji Ungpakorn 
 

27 April 2009 -- Dalam krisis politik di Thailand, amatlah mengejutkan bahwa kebanyakan LSM Thailand mempermalukan diri mereka dengan memilih berpihak kepada para elit yang dijuluki “Kelompok Baju Kuning” atau berdiam diri di hadapan serangan besar-besaran terhadap demokrasi. Keadaan ini amatlah mengejutkan sebab sebagian besar aktivis LSM awalnya berpihak pada rakyat miskin dan mereka yang tertindas. Untuk menjelaskan situasi ini, kita harus bisa keluar dari penjelasan sederhana yang mendasarkan argumennya pada kegagalan beberapa individu secara pribadi atau berpendapat bahwa LSM pada dasarnya “memiliki maksud buruk,” atau mereka adalah “agen imperialisme.”
Pada masa awal protes terhadap Perdana Menteri Thaksin, kebanyakan LSM bergabung dengan para demonstran dalam Aliansi Rakyat untuk Demokrasi (People Alliance for Democracy - PAD) yang mengenakan baju kuning sebagai simbol mereka. Hal ini dapat dimengerti sebab pucuk pimpinan PAD merupakan orang-orang yang memiliki jaringan LSM yang kuat. Saat itu adalah sah memprotes ekses-ekses pemerintah, walaupun dipertanyakan mengapa LSM harus bergabung dengan para royalis konservatif seperti Sonti Limtongkul. Sayangnya, tak berapa lama kemudian, keterlibatan LSM dengan PAD, dan kemudian dengan junta militer, setelah kudeta 2006, berubah menjadi sesuatu yang tidak bisa diklasifikasikan sebagai dukungan bagi kebebasan dan demokrasi. Dalam tiap lika-liku krisis, mayoritas LSM pada akhirnya berpihak pada kaum elit dan penindas. Ada kebutuhan riil untuk meninjau ulang taktik dan strategi.
Setelah kudeta 2006, beberapa pemimpin LSM, seperti Rawadee Parsertjaroensuk (Komite Koordinasi LSM), Nimit Tienudom (Jaringan AIDS), Banjong Nasa (Jaringan Komunitas Nelayan Selatan), Witoon Permpongsajaroen (gerakan ekologi) dan Sayamon Kalyurawong (Layanan Relawan Thailand), mengajukan diri dengan harapan militer akan memilih mereka sebagai senator terpilih. Sebelumnya, aktivis LSM seperti Rawadee Parsertjaroensuk dan Nimit Tienudom menghadiri aksi-aksi PAD. Nimit mengklaim bahwa dalam sebuah aksi pada 23 Maret 2005, kebanyakan pendukung Thaksin “tidak mengetahui keadaan yang sesungguhnya” tentang pemerintahan Thaksin.[1] Ini adalah sikap patronase terhadap kaum miskin.
Banyak pimpinan LSM seperti Nimit yang mengatakan kepada pendukungnya untuk tidak memprotes junta militer dalam acara penutupan Forum Sosial Thai pada Oktober 2006, walaupun pimpinan NGO-Coordinating Committee mendukung protes ini. Segera setelah kudeta, bahkan staff Focus on Global South di Thailand mendukung kudeta,[2] meskipun Walden Bello berprinsip menentang kediktatoran. Beberapa aktivis LSM ditunjuk oleh pemerintahan di bawah junta militer. Sebagian besar memiliki ilusi bahwa militer akan membersihkan politik Thailand dengan konstitusi baru mereka. Selama berjalannya Forum Sosial Thai itu sendiri, LSM Thailand yang besar seperti Yayasan Raks Thai membawa kaum royalis baju kuning ke dalam forum. LSM ini menerima dana yang besar dari pemerintah Thailand. Ini mengangkat persoalan "GNGOs" (organisasi pemerintah non pemerintah). Sumber dana yang besar bagi LSM-LSM Thailand saat ini berasal dari "Kantor Dana Penggalakan Kesehatan Thailand".[3]
Amat menarik untuk membandingkan sejumlah pernyataan yang dibuat oleh Komite Nasional Koordinasi LSM (NGO national Coordinating Committee (NGO-COD)) tentang protes PAD yang penuh kekerasan sepanjang 2008, dengan sebuah pernyataan yang dibuat pada April 2009 tentang protes kaum pro-demokrasi “Baju Merah.” Substansi perbedaan ada pada penekanannya. Pada Mei, Juni dan September 2008, Pairot Polpet, ketua NGO-COD meminta pemerintahan pro-Thaksin untuk mengundurkan diri. Senator terpilih sekaligus anggota PAD terpilih, Rosana Tositrakul mengatakan bahwa pemerintah tidak memiliki hak untuk membubarkan para demonstran dari PAD yang telah mengambil-alih Kantor Pemerintahan. Amatlah penting untuk mencatat bahwa pemerintahan pro-Thaksin tidak menggunakan tentara atau peluru beramunisi kepada para demonstran PAD. Tetapi penggunaan gas air mata kemungkinan besar menjadi penyebab kematian satu orang.
Kemudian, setelah tentara dan PAD berhasil menggiring para Demokrat ke tampuk kekuasaan, pada April 2009 NGO-COD menghimbau kepada Baju Merah untuk menghentikan aksi-aksi protes penuh kekerasan dan kemudian memberikan pujian atas diakhirinya secara sukarela protes-protes Baju Merah. Hal ini dipandang sebagai cara untuk membangun perdamaian. Mereka kemudian meminta pemerintah agar “hanya menggunakan jalur legal untuk membubarkan para demonstran.” Satu hari kemudian, tentara dan pemerintah menggunakan peluru berisi untuk membubarkan Baju Merah. Tindakan ini kemudian membunuh dan melukai banyak orang. Sebuah pernyataan NGO-COD seminggu kemudian tidak meminta pemerintah untuk mundur.[4] Asosiasi Konsumen, Jaringan AIDS, dan Kelompok Pemukim Kumuh bertindak lebih jauh dengan mengutuk aksi Baju Merah pada 13 April, tapi tidak mengatakan apa-apa terhadap tindakan pemerintah.
Terseret ke Kanan?
Bagaimanakah LSM Thailand berubah menjadi begitu reaksioner, berpihak kepada para elit konservatif, berlawanan dengan kaum miskin dalam menindas demokrasi? Ada sebuah kebutuhan mendesak untuk menganalisa problem ini karena para aktivis LSM bermula sebagai pembela kaum miskin. Dapatkah hal yang sama terjadi di tempat lain? Adakah sebuah pelajaran bersifat umum yang dapat ditarik di sini?
Di tahun 1980-an LSM Thailand bekerja di bawah semboyan “Jawabannya ada di Pedesaan,” yang mencerminkan penghormatan kepada para penduduk desa. Meskipun bermaksud baik, kurangnya politik dalam gerakan LSM, juga kurangnya demokrasi dan akuntabilitas, telah membuat mereka merasa kecewa dan semakin tertarik kepada politik reaksioner sayap kanan.
Setelah "keruntuhan komunisme” gerakan LSM telah memalingkan muka dari politik dan keutamaan gerakan massa dan partai-partai politik. Alih-alih, mereka kemudian memilih lobi politik dan anarkisme komunitas. Keduanya sejalan karena keduanya menolak bentuk konfrontasi atau kontestasi apa pun terhadap negara. Mereka menolak membuat sebuah gambaran besar dari analisis politik. Bukannya membangun sebuah gerakan massa yang besar atau partai politik, LSM kemudian berkonsentrasi mengampanyekan isu-isu tunggal sebagai bagian dari usaha mereka untuk menghindarkan konfrontasi dengan negara. Hal ini juga berjalan beriringan dengan aplikasi bantuan dari organisasi-organisasi internasional dan kemudian mendorong terjadinya depolitasasi gerakan. Tetapi LSM juga menolak demokrasi representatif karena mereka percaya bahwa hal ini hanya berujung pada praktek kotor seperti politik uang. Namun demokrasi langsung di komunitas pedesaan, yang mereka bela, tak memiliki kekuatan apa-apa berhadapan dengan negara. Hal ini juga menjunjung tinggi berlangsungnya pimpinan desa yang konservatif dan tradisional.
Awalnya, LSM mendekati pemerintahan Thaksin yang didukung oleh partai Thai Rak Thai. Mereka percaya bahwa pemerintahan ini terbuka pada lobi-lobi LSM, dan memang saat itu demikianlah keadaannya. Thai Rak Thai merangkul sistem pelayanan kesehatan universal dari para dokter berpandangan progresif dan LSM-LSM kesehatan. Tetapi ketika kemudian mereka dirugikan oleh kebijakan pro-kaum miskin pemerintah, yang seolah-olah membuktikan kepada para penduduk desa bahwa program pembangunan LSM hanya “bermain-main”, mereka bergegas memihak para royalis konservatif. Kondisi yang demikian gamblang ini hanya bisa terjadi dengan mengindahkan sepenuhnya politik, pelajaran internasional dan teori apa pun. Para pemimpin LSM dengan bangga berargumen bahwa mereka adalah “para aktivis sejati”, bukan kutu buku atau teoretisi. Hal ini menjelaskan mengapa mereka bisa membenarkan diri ketika mendukung kudeta tahun 2006 dan mengapa mereka telah gagal membela demokrasi sejak saat itu. Alih-alih bersusah payah menganalisa situasi politik, mereka malah melobi para jenderal, pejabat pemerintah dari berbagai kelompok, dan siapapun yang memiliki kekuasaan.
Memang, saat itu situasi politik amatlah berantakan dan kacau. Pada 2006 ada Thai Rak Thai, sebuah partai bisnis besar dengan catatan pelanggaran HAM dan korupsi. Sementara di sisi lain ada tentara dan kaum royalis konformis, juga dengan catatan pelanggaran HAM dan korupsi. Keduanya bukan pilihan yang baik. Tetapi Thai Rak Thai meraih kekuasaan melalui proses elektoral. Dalam situasi seperti ini LSM seharusnya tetap netral, berpihak pada kaum miskin, dan seharusnya mereka menentang kudeta itu. Tetapi mereka marah karena Thai Rak Thai telah merebut pendukung mereka dan tak percaya pada itikad baik Thai Rak Thai yang menggunakan negara untuk membangun program kesejahteraan dan menstimulasi pertumbuhan ekonomi. Ketidak-peracayaan ini berasal dari ketidakpercayaan anarkis terhadap negara. Bagi banyak LSM, kesejahteraan haruslah diorganisir oleh komunitas. Tetapi posisi anti-negara ini membuka pintu bagi konsep neoliberal tentang negara kecil, sebuah pandangan yang jamak dipegang oleh para royalis konservatif. Penolakan anarkis atas politik representasi juga membuat mereka tak bisa melihat perbedaan antara sebuah parlemen yang dikontrol oleh Thai Rak Thai dan sebuah kudeta militer.
Sejak rakyat miskin memberikan sebagian besar suara mereka kepada Thai Rak Thai, LSM berubah sikap menjadi amat meremehkan para penduduk desa, menyatakan bahwa mereka “kekurangan informasi yang benar” untuk membuat keputusan politis. Bahkan, selalu ada elemen yang meremehkan dalam tindakan-tindakan mereka. Kebanyakan pemimpin LSM Thailand adalah para aktivis kelas menengah yang menolak pemilihan umum dan percaya bahwa LSM seharusnya “mengasuh” [5] kaum miskin dan buruh. Saat ini mereka takut dan membenci gerakan Baju Merah, yang sedang memulai proses pemberdayaan diri kaum miskin. Tentu saja, Baju Merah bukanlah malaikat, tapi dalam krisis yang terjadi saat ini, mereka mewakili rakyat miskin dan kehausan mereka akan kebebasan dan demokrasi.
Hubungan gerakan LSM dengan para pemimpin LSM dan Serikat Buruh di PAD juga merupakan sebuah faktor. Pucuk pimpinan PAD dibentuk dari koalisi antara Sondhi Limtongkul—seorang royalis konservatif yang juga seorang taipan media dan pemilik Manager Group; Chamlong Simuang, pemimpin kharismatik dari kelompok reaksioner anti aborsi Buddhis Santi Asoke, Somsak Kosaisuk—pensiunan pimpinan dari serikat buruh kereta api; Pipop Tongchai—penasihat untuk Campaign for Popular Democracy dan “sesepuh LSM” Somkiat Pongpaiboon—seorang aktivis yang bekerja bersama kelompok guru dan petani; dan Suriyasai Takasila, seorang birokrat yang mantan aktivis mahasiswa.
Persamaan yang dimiliki oleh LSM, aktivis mahasiswa dan serikat buruh yang ada di pucuk pimpinan PAD adalah tidak adanya basis massa yang sebenarnya. Orang-orang semacam Pipop tidak memimpin NGO-COD. Somsak tidak pernah mengorganisir aksi protes di kalangan serikat pekerja kereta api untuk melindungi kondisi kerja para buruh atau menentang privatisasi. Mereka adalah orang-orang yang telah terbirokratisasi dan berjarak dengan kebanyakan aktivis. Mereka kemudian justru mengandalkan kekuatan lain yang dapat memobilisasi massa dan sumber daya, termasuk para royalis konservatif. Tapi mereka memang bisa meminta bantuan secara pribadi dari jaringan LSM dan serikat pekerja perusahaan pemerintah karena "kenangan masa lalu.”
Secara umum, yang dapat disimpulkan dari pengalaman Thailand adalah bahwa LSM saat ini bersekutu dengan para elit melawan massa penduduk.[5] Tidak memungkinkan lagi bagi kaum progresif untuk bekerja bersama mereka.[7] Kecuali terjadi perubahan dan perpecahan yang signifikan, mereka tidak bisa dianggap sebagai bagian dari gerakan masyarakat sipil apa pun untuk demokrasi Thailand.
Pelajaran Internasional?
Apakah pelajaran internasional yang dapat ditarik oleh para aktivis LSM? Hal yang bisa kita generalisasikan dari Thailand adalah bahwa LSM beresiko untuk berpihak pada pihak yang salah dalam konflik serius apa pun. Sesungguhnya, setiap orang bisa membuat kesalahan, termasuk partai-partai sayap kiri! Tetapi untuk LSM ada tiga alasan utama yang bisa menyebabkan kesalahan.
1. Tekanan dari pemberi dana. LSM semakin banyak menerima uang dari pemerintah lokal dan organisasi imperialis semisal The World Bank. Mereka adalah “GNGO” (LSM pemerintah) dan dapat menjadi segan untuk beroposisi terhadap pemerintah.
2. Lobi politik artinya akan selalu ada kecenderungan menjadi oportunis, siap untuk bekerja sama dengan pemerintah yang otoriter.
3. Penolakan terhadap politik, terutama politik kelas. Ketiadaan politik ini berarti bahwa dalam situasi yang sulit dan carut marut, LSM tidak memiliki teori yang dibutuhkan untuk memihak kaum miskin atau demokrasi. Yang dibutuhkan adalah lebih banyak teorisasi politik dan lebih banyak debat terbuka. LSM juga harus memiliki komitmen untuk membangun gerakan massa, alih-alih bersandar pada lobi politik.
[Giles Ji Ungpakorn mengajar di Fakultas Ilmu Politik, Universitas Chulalongkorn, Bangkok, Thailand. Ia dipaksa meninggalkan Thailand setelah dituntut dengan menggunakan UU anti demokrasi Thailand Les Majeste. Ia adalah seorang aktivis yang berafiliasi dengan kelompok Turn Left Thailand. Kunjungi www.pcpthai.org dan wddpress.blog.co.uk ]
Catatan
[1] Prachatai, 23/3/2006, http://www.prachatai.com.
[4] Prachatai, Mei, Juni, September 2008; April 13,15 & 23, 2009. http://www.prachatai.com.
[5] Dalam bahasa Thailand mereka menamakan dirinya Pi Liang.
[6] Pengecualian yang patut dihormati dalam hal ini adalah Kampanye Buruh Thai, yang secara konsisten menentang kudeta dan penghancuran apa pun terhadap demokrasi. http://www.thailabour.org.
[7] Sebagaimana saya meyakininya ketika menuli: “NGOs: Enemies or Allies?”, International Socialism Journal 104, Autumn 2004, UK.
---------------------------------------------------------------------------------------------------------
Diambil dari Links; International Journal of Socialist Renewal
Diterjemahkan oleh NEFOS.org

Tidak ada komentar: