Selasa, 24 November 2009

Anggodo Paling Jago Siasati Surat Perjanjian

SEORANG pengusaha kayu yang mengaku sangat hapal sepak terjang Anggodo menceritakan mengapa dia dijuluki si akar jati.

''Kalau sudah lawan Anggodo, itu bukan berhadapan dengan daun jati lagi, tapi akar jati. Menancap di mana-mana pengaruhnya,'' kata pria paro baya yang tak mau disebutkan namanya itu.

Jika pengusaha kayu, lanjutnya, ingin mendapatkan bahan baku dari Perhutani, salah satu cara yang paling paten harus bergabung menjadi "komplotan" Anggodo.

Dilihat dari jejaknya, bisnis Anggodo dimulai dari Semarang, meski ayahnya mempunyai basik bisnis di Surabaya, tepatnya di Jalan Karet. Pada awal 1980-an, Anggodo mempunyai bengkel mobil Fiat dan Mercedes-Benz di Jalan Pemuda, Semarang.

Tak lama kemudian, Anggodo banting setir. Dia menjual dua bengkelnya tersebut (yang kini berdiri gedung BCA), dan menjadikannya modal untuk bisnis kayu. Perlahan Anggodo membangun lobi dan kenalan di Perhutani. Lambat laun pengaruhnya semakin kuat. ''Hampir semua tingkat di Perhutani dia (Anggodo) kenal. Dia juga dikenal royal dan ringan tangan,'' kata seorang bekas petinggi Perhutani yang tak mau disebut namanya.

Tak bisa dipastikan berapa banyak industri kayu yang dimiliki Anggodo. Di Semarang, arah ke Pedurungan, dia pernah punya pa­brik industri kayu, yang tutup pada awal 2000-an. Begitu pula di Driyorejo, Gresik. Anggodo pernah punya sebuah pabrik kayu bernama Sapta Wahana Mulya. Namun, kini sudah tutup, dan kabarnya kini dikelola anaknya.

Pada akhir 1980-an hingga kini, Anggodo dikenal sebagai pengusaha kayu. Pengusaha kayu yang lain sulit menembus do­minasinya di Perhutani. Padahal, semua pengusaha industri kayu di Indonesia bahan bakunya selalu harus dari Perhutani. ''Untuk kayu Jawa, Anggodo tak tertandingi. Ampun-ampun kalau lawan Anggodo,'' tutur seorang pengusaha kayu lain yang tak mau disebut namanya.

Anggodo juga dikenal melakukan monopoli, tentu secara informal. ''Terlihat dalam lelang-lelang kayu. Sistemnya terbuka, tapi apa pun tetap tak bisa mendapatkan kayu dalam lelang bila Anggodo menghendakinya,'' jelasnya. Bagaimana caranya? ''Ya itu, akar jati. Karena punya kenalan banyak di Perhutani, lelang kayu yang berlangsung itu terbuka, namun sekaligus tertutup. Bisa dipastikan siapa pemenangnya,'' imbuhnya.

Seorang mantan petinggi Perhutani membenarkannya. ''Tak ada pengusaha kayu yang sebegitu kuat perannya di Perhutani selain Anggodo. Bahkan, banyak pejabat Perhutani yang tetap menuruti keinginannya meski dampaknya merugikan Perhutani secara ke­seluruhan,'' ucap mantan pejabat itu, yang mengaku juga kenal dekat dengan Anggodo.

Mantan pejabat itu menyebut bahwa Anggodo paling jago dalam menyiasati surat perjanjian. Mi­salnya, ketika Anggodo me­ngekspor kayu olahan. Diduga kongkalikong dengan buyer (pembeli) di luar negeri, setelah kayu olahan tersebut diekspor, se­lalu ada complaint. ''Entah itu diameternya yang kurang, entah itu ada perubahan warna, entah itu kualitas kayunya yang di­bi­lang kurang bagus,'' jelasnya.

Biasanya bila ada pengurangan dalam hal apa pun, ada penurunan harga. Rinciannya, buyer complaint ke Anggodo, dan Anggodo kemudian complaint ke Perhutani. Akibatnya, ada sejumlah pengurangan pembayaran ke Perhutani. Berapa biasanya? ''Tergantung jenis kayu dan complaint-nya,'' tuturnya. Namun, rata-rata antara Rp 1 juta - Rp 2 juta per meter kubiknya. Padahal, dalam setahun, seorang pengusaha kayu kelas kakap bisa mengekspor lebih dari 2.000 meter kubik. ''Kalikan saja. Untuk sekadar mengurusi complaint-complaint, bisa mendapat lebih dari Rp 2 miliar per tahun. Belum dari keuntungannya,'' tambahnya.

jawapos.com