Selasa, 24 November 2009

Anggodo Pernah Sukses Kerjain Perhutani Tiga Kali

RAJA Kayu, tampaknya, pantas menjadi julukan Anggodo Widjojo. Sebab, meski beberapa kali bisnis kayunya terkena masalah hukum, dia tetap berkuasa. Buktinya, Perum Perhutani dia gugat dan kalah terus hingga kasasi di Mahkamah Agung (MA). Kasus itu bermula dari perjanjian jual beli kayu industri antara Perum Perhutani dan PT Sapta Wahana Mulya (SWM) milik Anggodo.

Perjanjian itu mengharuskan Perhutani menyediakan pasokan kayu jati untuk SWM berdasar jumlah uang yang dibayarkan. Kongsi itu lantas hendak ditingkatkan menjadi pembentukan perusahaan patungan dengan nama PT Perhutani Wahana Industri.

Nah, kasus bermula saat Perhutani hanya memberikan kayu sesuai jumlah uang yang dibayarkan SWM. Rupanya, SWM meminta lebih. Selain itu, perusahaan patungan tersebut tak kunjung jadi. Alasannya, Perhutani belum dapat restu Men BUMN. SWM meradang. Dua persoalan itu dijadikan amunisi oleh SWM untuk menggugat Perhutani dengan alasan wanprestasi alias mengingkari kesepakatan dalam nota kesepahaman.

SWM lantas menggugat Perhutani melalui Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat. Data di PN menunjukkan, SWM mendaftarkan gugatan pada 6 September 2006. Untuk menyukseskan kasus itu, Anggodo menyewa jasa pengacara langganannya, Alexander Arif.

Pengacara yang akrab dipanggil Alex tersebut memang rekan dekat Anggodo. Berdasar rekaman yang dibeber di MK, Alex juga ikut terlibat dalam pembicaraan upaya ''menyelesaikan'' dua pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) nonaktif Bibit Samad Riyanto dan Chandra Marta Hamzah. Alex juga pernah menjadi pengacara Ong Yuliana Gunawan, salah seorang kroni Anggodo yang juga disebut dalam rekaman.

PN Jakarta Pusat memenangkan Anggodo. Gugatan SWM dikabulkan sebagian oleh hakim melalui putusan bernomor 273/Pdt G/2006. Hakim menilai Perhutani terbukti ingkar kesepakatan dan diwajibkan membayar gugatan Rp 38 miliar.

Perhutani tak terima. Padahal, sejumlah bukti sudah mereka lampirkan. Antara lain bukti pembayaran pembelian kayu bundar jati dan pernyataan bahwa izin pendirian perusahaan patungan itu belum turun dari Men BUMN. ''Itu menunjukkan bahwa kami tidak wanprestasi,'' ujar Asisten Direktur Hukum, Keamanan dan Hubungan Masyarakat Perhutani Audy Arthur Pattiruhu ketika itu.

Perhutani lantas banding ke Pengadilan Tinggi (PT) DKI Jakarta. Tapi, kalah lagi. PT menguatkan putusan PN Jakarta Pusat melalui putusan 192/Pdt/2007. Perhutani belum menyerah. Mereka lantas mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung (MA) dan menuntut SWM mengembalikan dana penyertaan modal pendirian perusahaan patungan Rp 8,2 miliar. Lagi-lagi Perhutani keok. MA memutuskan menolak kasasi Perhutani pada 17 September 2008 melalui putusan bernomor 391/K/Pdt/2008.

''Berita'' kekalahan Perhutani itu lantas dikirim ke PN Jakarta Pusat pada 22 Desember 2008. Perhutani tetap diharuskan menyetor duit Rp 38 miliar kepada SWM. ''Perhutani kalah tiga kosong,'' kata salah seorang staf panitera PN Jakarta Pusat bagian kasasi kepada Jawa Pos.

Saat dikonfirmasi koran ini, Kabiro Hukum dan Kepatuhan Perhutani Tardi mengatakan, putusan yang ada selama ini sangat tidak adil dan tidak objektif. "Kalau betul-betul dilaksanakan akan menyebabkan kerugian negara," kata Tardi ditemui di ruang kerjanya.

Dengan pertimbangan itu, pihaknya telah menempuh upaya hukum luar biasa yakni peninjauan kembali (PK) ke MA. PK itu sudah diajukan pada Mei 2009 dengan nomor register PK No 355Pk/PDT/09 tanggal 28 Mei 2009. Menurut Tardi, tudingan bahwa Perhutani wanprestasi tidak tepat. "Justru yang wanprestasi itu SWM," ucapnya.

Tardi berargumen, melaksanakan perusahaan patungan itu harus ada izin dari Menteri BUMN. Selain itu, sudah ada dana senilai Rp 8,2 miliar yang diserahkan kepada PT SWM sebagai penyertaan modal pendahuluan. "Itu ada akta notarisnya," ungkapnya. Jika perusahaan patungan tersebut tidak terbentuk, dana tersebut harus dikembalikan. "Nah ini, uang tidak dikembalikan, tapi malah menggugat," sambungnya.

Keputusan penghentian perjanjian dengan PT SWM itu, lanjut dia, juga didasari pada Dewan Pengawas Perhutani yang meminta kerja sama tersebut ditangguhkan. "Mestinya kalau ditangguhkan, itu selesai," kata Tardi.

Pria asal Ngawi itu menguraikan, putusan pengadilan dinilai tidak adil karena Perhutani harus menyerahkan 25 ribu meter kubik kayu gelondong dan 11 ribu meter kubik kayu persegi dengan harga jual dasar 2004. Itu sesuai dengan tahun perjanjian dilaksanakan. Nah, jika itu dilakukan saat ini, kerugian akan sangat besar. Sebab, kenaikan harganya bisa mencapai 60 persen.

Pengalaman menangani kasus Perhutani selama ini, tidak pelik seperti yang dihadapi Tardi dengan Anggodo saat ini. Dia mengakui bahwa Anggodo memiliki "kemampuan lebih" sehingga bisa menang dalam gugatan itu. "Kemampuan nonteknisnya luar biasa," katanya.

Sejak 1990 hingga 2009, tercatat sudah 81 kasus Perhutani yang ditanganinya. Kasus Perhutani yang digugat perusahaan milik SWM ada di list nomor 72. Kasus itu pula yang dicatat dengan kekalahan. "Baru sekarang saya menghadapi kasus seperti ini karena memang Anggodonya kuat," kata Tardi.

jawapos.com