Selasa, 24 November 2009

Tipu-tipu Kecil, Untung Miliaran Rupiah

HASIL penelusuran Jawa Pos dari orang-orang yang mengenal Anggodo di bisnis perkayuan, terungkap adanya praktik kongkalikong antara Anggodo dan beberapa oknum di Perhutani dalam hal ukuran kayu.

Beberapa sumber Jawa Pos menyebutkan, dalam perhitungan kayu, dibedakan dari diameter dan gradenya. Untuk lonjoran berdiameter 20-29 cm, kayu itu masuk kategori A2. Kayu berdiameter 30-39 cm masuk kategori A3, demikian seterusnya.

Nah, yang sering dimainkan adalah ukuran kayu tersebut. ''Contohnya, kayu berdiameter 41 cm. Ini seharusnya masuk kategori A4, namun diturunkan menjadi A3. Kendati diameternya selisih sedikit, perbedaan harganya besar,'' tambahnya. Bisa mencapai Rp 1 juta per meter kubik.

''Coba kalikan dengan 2.000 atau 3.000 meter kubik. Miliaran nilainya dari tipu-tipu kecil seperti ini,'' tambahnya.

Selain itu, seorang mantan pejabat di Perhutani yang tak mau disebut namanya mengatakan, sering Anggodo melakukan fait accomply ke Perhutani. Misalnya, kendati Bank Garansi hanya mencakup 2.000 meter kubik, Anggodo sering menunjukkan order dari luar negeri yang jumlahnya hingga 4.000 meter kubik.

Bila sesuai aturan, Perhutani seharusnya tidak boleh memberikan bahan baku lebih banyak daripada bank garansi tersebut. Namun, pada praktiknya, hal itu sering terjadi. ''Ini sama saja dengan melepas kayu tanpa jaminan apa pun. Ini sangat gawat,'' tuturnya.

Saat itu, tak ada yang berani menentang. Selain karena selalu ''royal'' dalam memberikan servis kepada pejabat, yang menentang pun kadang tiba-tiba mendapat mutasi dadakan. ''Karena memang pengaruh dia sangat mengakar di Perhutani,'' tandasnya.

Kabiro Hukum dan Kepatuhan Per­hutani Tardi menyatakan, Anggodo memang sering berhubungan dengan Perhutani. Meski tidak tahu persisnya mulai kapan, hal itu sudah berlangsung lama. ''Memang sudah lama. Tapi, selama ini dalam konteks jual beli,'' kata Tardi.

Menurut dia, selama ini proses jual beli di antara kedua pihak ber­langsung lancar. Namun, saat me­reka hendak mengembangkan joint venture (patungan), prosesnya mengalami kendala. Karena belum ada izin dari menteri BUMN, perjanjian itu urung dilakukan. Akhirnya Anggodo menggugat Perhutani karena dianggap wanprestasi. "Sejak saat itu hubungannya seperti putus, tidak ada aktivitas," terang pria asal Ngawi itu.

jawapos.com