Rabu, 25 November 2009

Sipil Melawan Korupsi

Oleh Suripto, Staf Pengajar di Univeritas Muhammadiyah Ponorogo dan STIT
Muhammadiyah Tulungagung; aktifis Pemuda Muhammadiyah Jawa Timur
Pemerintahan baru telah terbentuk. Salah satu pekerjaan rumah yang paling
berat adalah memberantas korupsi. Dan kerja ini terbukti tidak mudah
dilakukan oleh pemerintahan periode sebelumnya (2004-2009). Presiden
Yudoyono yang terpilih untuk kedua kalinya ini telah menggembar-gemborkan
janji di kampanye baik kampanye pemilu 2004 maupun 2009.
Selama periode kepemimpinannya, Yudoyono (waktu itu bersama Jusuf Kalla)
tidak cukup mengecewakan, terbukti dengan ditangkap dan diadilinya beberapa
koruptor kelas kakap, yang salah satunya juga besan-nya sendiri, Aulia
Pohan. Tetapi apakah upaya pemberantasan korupsi di masa depan akan
meningkat?
Jawabannya belum tentu. Terlalu dramatis untuk mengatakan bahwa
pemberantasan korupsi periode sebelum pemilu 2009 ini adalah buah dari
kebijakan atau kepemimpinan Yudoyono. Karena yang selama ini paling getol
getol melakukan pemberantasan korupsi adalah KPK (Komisi Pemberantasan
Korupsi) yang notabene adalah buah dari gerakan demokrasi. Gagasan
berdirinya KPK adalah tuntutan sejarah di mana sejak Orde Baru tumbang (Mei
1998) rakyat bergerak dan menuntut para koruptor ditangkap dan diadili. Kita
masih ingat bagaimana rakyat berdemo di kantor-kantor kelurahan, kecamatan,
di kecamatan, kabupaten, hingga pusat. Banyak kepala desa dan aparatnya,
pejabat-pejabat di tingkat kecamatan, kota, dan kabupaten, propinsi, hingga
pusat harus “turun tahta” karena gerakan massa memaksa para koruptor untuk
turun jabatan dan diseret di penjara.
Kemudian banyak kalangan yang mulai serius untuk mencari alternatif
kelembagaan bagaimana caranya memberantas korupsi pada level yang lebih
besar yang biasanya jarang sersentuh rakyat. Karenanya lahirlah KPK sebagai
tuntutan rakyat yang dulunya menguat.
Lalu apakah dengan berdirinya KPK gerakan rakyat untuk melawan korupsi
menuru? Memang ada penurunan secara kualitas dan kuantitas. Meskipun
belakangan terjadi aksi yang meluas untuk mendukung KPK setelah ada
anasir-anasir politik bahwa lembaga ini akan
diperlemahkan gara-gara tiga orang pimpinannya terkena kasus penyalahgunaan
wewenang. Demo di berbagai daerah untuk mendukung KPK ternyata cukup luas,
demikian juga demo yang menuntut kasus Bank Century yang konon juga
melibatkan jajaran kabinet SBY.
Sekarang kita hidup di negara di mana pemerintah dan elit-elitnya mengamini
pasar bebas (neoliberalisme), yang meningkatkan budaya konsumen (pola hidup
boros) bukan hanya di kalangan remaja tetapi juga kalangan elit. Gaya hidup
boros dan konsumtif ini tampak sekali dapat dilihat dari kegemaran para
anggota DPR yang suka “ngluyur” ke luar negeri dengan alasan studi banding
atau dinas, budaya rapat yang mengabiskan biaya dan maunya dijamu seperti
pesta dan raja. Karenanya tak heran jika uang negara habis untuk politik
berbiaya tinggi dan boros ini. Baik pemilu nasional maupun pilkadal
(pemilihan kepala daerah) yang sangat boros dan menghabiskan banyak dana.
Tak heran jika Ketua Umum PBNU (Pengurus Besar Nahdlatul Ulama) pernah
mengusulkan agar pilkadal dihapuskan saja dan diganti dengan mekanisme
dipilih oleh DPRD.
Inilah repotnya Neoliberalisme yang meningkatkan ketimpangan sosial, kaum
modal dan elit kian kaya sedangkan rakyat kian menderita. Dalam tatanan
sosial yang menguntungkan segelintir orang yang bersenang-senang di atas
penderitaan mayoritas rakyat miskin, upaya membersihkan dan mendemokratiskan
kekuasaan adalah hal yang sangat sulit. Tatanan material masyarakat yang
sudah mengalami industrialisasi (modern) tetapi secara pemikiran masih
feodal tidak menyediakan syarat-syarat bagi relasi sosial yang demokratis,
transparan, dan bersih dari kasak-kusuk atau kongkalikong pihak-pihak yang
ingin memanfaatkan keadaan.
Selain semakin kuatnya budaya feudal yang sama-sama menindasnya dengan
tatanan kapitalis. Korupsi adalah kelanjutan sejarah kaum priyayi yang harus
terus menyogok atasannya dan menginjak lapisan bawahnya, menjilat, demi
mengamankan posisi dan kemakmurannya, seperti Sastrokassier menyogok Asisten
Residen dengan menjual Sanikem (yang kemudian dikenal dengan Nyai
Ontosoroh), anaknya sendiri—dalam novel “*Bumi Manusia*” karya Pramoedya
Ananta Toer. Lebih dari soal mentalitas, korupsi berkaitan dengan rendahnya
produktivitas bangsa. Korupsi adalah tentang pemimpin, birokrasi, dan rakyat
yang (tidak difasilitasi) kapasitasnya untuk semakin produktif, yang nihil
semangat untuk menghargai kerja, yang minim etos kerja. Dalam globalisasi
neo-liberal, saat kaum imperialis sedang gencar-gencarnya menggempur dan
melakukan ekspansi konsumerisme di mana Indonesia hendak dijadikannya tempat
melempar barang-barang over-produksinya, makin menjadi perilaku korup ini.
Partisipasi aktif dalam masalah negara sebagai keseluruhan dan
masalah-masalah pemerintah secara kemasyarakatan, juga terhadap
perusahaan-perusahaan besar (kapitalis), memerlukan formasi
kelompok-kelompok yang di dalamnya terjadi proses saling memberi informasi,
perdebatan dan pembuatan keputusan yang diperlukan. Harus ada informasi yang
objektif dan relevan yang merupakan dasar bagi setiap orang untuk memiliki
gambaran jelas dan akurat mengenai persoalan-persoalan mendasar yang harus
diberikan kepada setiap kelompok. Yang perlu diingat adalah bahwa informasi
dan debat akan tetap mandul dan impoten jika kelompok masyarakat tidak
memiliki hak untuk membuat keputusan-keputusan dan atau jika
keputusan-keputusan itu tidak diterjemahkan ke dalam proses sosial yang
nyata.*** Sipill Melawan Korupsi
Oleh Suripto, Staf Pengajar di Univeritas Muhammadiyah Ponorogo dan STIT
Muhammadiyah Tulungagung; aktifis Pemuda Muhammadiyah Jawa Timur
Pemerintahan baru telah terbentuk. Salah satu pekerjaan rumah yang paling
berat adalah memberantas korupsi. Dan kerja ini terbukti tidak mudah
dilakukan oleh pemerintahan periode sebelumnya (2004-2009). Presiden
Yudoyono yang terpilih untuk kedua kalinya ini telah menggembar-gemborkan
janji di kampanye baik kampanye pemilu 2004 maupun 2009.
Selama periode kepemimpinannya, Yudoyono (waktu itu bersama Jusuf Kalla)
tidak cukup mengecewakan, terbukti dengan ditangkap dan diadilinya beberapa
koruptor kelas kakap, yang salah satunya juga besan-nya sendiri, Aulia
Pohan. Tetapi apakah upaya pemberantasan korupsi di masa depan akan
meningkat?
Jawabannya belum tentu. Terlalu dramatis untuk mengatakan bahwa
pemberantasan korupsi periode sebelum pemilu 2009 ini adalah buah dari
kebijakan atau kepemimpinan Yudoyono. Karena yang selama ini paling getol
getol melakukan pemberantasan korupsi adalah KPK (Komisi Pemberantasan
Korupsi) yang notabene adalah buah dari gerakan demokrasi. Gagasan
berdirinya KPK adalah tuntutan sejarah di mana sejak Orde Baru tumbang (Mei
1998) rakyat bergerak dan menuntut para koruptor ditangkap dan diadili. Kita
masih ingat bagaimana rakyat berdemo di kantor-kantor kelurahan, kecamatan,
di kecamatan, kabupaten, hingga pusat. Banyak kepala desa dan aparatnya,
pejabat-pejabat di tingkat kecamatan, kota, dan kabupaten, propinsi, hingga
pusat harus “turun tahta” karena gerakan massa memaksa para koruptor untuk
turun jabatan dan diseret di penjara.
Kemudian banyak kalangan yang mulai serius untuk mencari alternatif
kelembagaan bagaimana caranya memberantas korupsi pada level yang lebih
besar yang biasanya jarang sersentuh rakyat. Karenanya lahirlah KPK sebagai
tuntutan rakyat yang dulunya menguat.
Lalu apakah dengan berdirinya KPK gerakan rakyat untuk melawan korupsi
menuru? Memang ada penurunan secara kualitas dan kuantitas. Meskipun
belakangan terjadi aksi yang meluas untuk mendukung KPK setelah ada
anasir-anasir politik bahwa lembaga ini akan
diperlemahkan gara-gara tiga orang pimpinannya terkena kasus penyalahgunaan
wewenang. Demo di berbagai daerah untuk mendukung KPK ternyata cukup luas,
demikian juga demo yang menuntut kasus Bank Century yang konon juga
melibatkan jajaran kabinet SBY.
Sekarang kita hidup di negara di mana pemerintah dan elit-elitnya mengamini
pasar bebas (neoliberalisme), yang meningkatkan budaya konsumen (pola hidup
boros) bukan hanya di kalangan remaja tetapi juga kalangan elit. Gaya hidup
boros dan konsumtif ini tampak sekali dapat dilihat dari kegemaran para
anggota DPR yang suka “ngluyur” ke luar negeri dengan alasan studi banding
atau dinas, budaya rapat yang mengabiskan biaya dan maunya dijamu seperti
pesta dan raja. Karenanya tak heran jika uang negara habis untuk politik
berbiaya tinggi dan boros ini. Baik pemilu nasional maupun pilkadal
(pemilihan kepala daerah) yang sangat boros dan menghabiskan banyak dana.
Tak heran jika Ketua Umum PBNU (Pengurus Besar Nahdlatul Ulama) pernah
mengusulkan agar pilkadal dihapuskan saja dan diganti dengan mekanisme
dipilih oleh DPRD.
Inilah repotnya Neoliberalisme yang meningkatkan ketimpangan sosial, kaum
modal dan elit kian kaya sedangkan rakyat kian menderita. Dalam tatanan
sosial yang menguntungkan segelintir orang yang bersenang-senang di atas
penderitaan mayoritas rakyat miskin, upaya membersihkan dan mendemokratiskan
kekuasaan adalah hal yang sangat sulit. Tatanan material masyarakat yang
sudah mengalami industrialisasi (modern) tetapi secara pemikiran masih
feodal tidak menyediakan syarat-syarat bagi relasi sosial yang demokratis,
transparan, dan bersih dari kasak-kusuk atau kongkalikong pihak-pihak yang
ingin memanfaatkan keadaan.
Selain semakin kuatnya budaya feudal yang sama-sama menindasnya dengan
tatanan kapitalis. Korupsi adalah kelanjutan sejarah kaum priyayi yang harus
terus menyogok atasannya dan menginjak lapisan bawahnya, menjilat, demi
mengamankan posisi dan kemakmurannya, seperti Sastrokassier menyogok Asisten
Residen dengan menjual Sanikem (yang kemudian dikenal dengan Nyai
Ontosoroh), anaknya sendiri—dalam novel “*Bumi Manusia*” karya Pramoedya
Ananta Toer. Lebih dari soal mentalitas, korupsi berkaitan dengan rendahnya
produktivitas bangsa. Korupsi adalah tentang pemimpin, birokrasi, dan rakyat
yang (tidak difasilitasi) kapasitasnya untuk semakin produktif, yang nihil
semangat untuk menghargai kerja, yang minim etos kerja. Dalam globalisasi
neo-liberal, saat kaum imperialis sedang gencar-gencarnya menggempur dan
melakukan ekspansi konsumerisme di mana Indonesia hendak dijadikannya tempat
melempar barang-barang over-produksinya, makin menjadi perilaku korup ini.
Partisipasi aktif dalam masalah negara sebagai keseluruhan dan
masalah-masalah pemerintah secara kemasyarakatan, juga terhadap
perusahaan-perusahaan besar (kapitalis), memerlukan formasi
kelompok-kelompok yang di dalamnya terjadi proses saling memberi informasi,
perdebatan dan pembuatan keputusan yang diperlukan. Harus ada informasi yang
objektif dan relevan yang merupakan dasar bagi setiap orang untuk memiliki
gambaran jelas dan akurat mengenai persoalan-persoalan mendasar yang harus
diberikan kepada setiap kelompok. Yang perlu diingat adalah bahwa informasi
dan debat akan tetap mandul dan impoten jika kelompok masyarakat tidak
memiliki hak untuk membuat keputusan-keputusan dan atau jika
keputusan-keputusan itu tidak diterjemahkan ke dalam proses sosial yang
nyata.***

Tidak ada komentar: