Jumat, 27 November 2009

Senjakala Kepemimpinan


KEKECEWAAN publik atas kepemimpinan yang tidak tegas di negeri ini dapat dipahami. Karikatur Jawa Pos (24/11/2009) cukup menggambarkan hal itu. Pemimpin adalah orang yang dapat menggerakkan rakyat untuk menuju kebaikan bersama. Dunia mencatat tokoh-tokoh seperti Mahatma Gandhi, Kemal Ataturk, Napoleon Bonaparte, Jeanne d`Arc, Kwame Nkrumah, Soekarno, Nelson Mandela, dan seterusnya. Mereka bukan sekadar tokoh masyarakat, namun pemimpin yang membawa perubahan besar bagi perjuangan menuju kemerdekaan, keadilan, dan kesejahteraan.

Pemimpin yang cerdas adalah orang yang mampu menghargai puncak kehidupan, dan dia akan senantiasa menziarahi kebenaran (will to truth) dan bukan menziarahi kekuasaan (will to power), agar dia tidak mengalami apa yang disebut split orientation. Yakni, tidak menyatunya antara ucapan dan tindakan. Jika ini terjadi, dia masih dalam kategori apa yang disebut Francis Fukuyama sebagai the first man, manusia yang hanya butuh petunjuk secara otoriter, yang berbeda dengan kategori the last man yang sudah mementingkan harkat dan martabat.

Orang seperti ini hanya akan bertahan sementara, dan ini telah dibuktikan oleh beberapa studi. Hasil penelitian Michael Keren (1983) dan Moshe Bzuonowski (1986) juga mengatakan bahwa bekal utama politisi untuk "menguasai" publik adalah popularitas dan intelektualitas. Namun, jika pemimpin ingin "tahan lama", intelektualitaslah yang harus dikedepankan, bukan popularitas belaka. Demikian pula Jean Laponce (1983) mengatakan, pemimpin yang populer berkat ide-idenya yang cemerlang dan cerdas, akan lebih tahan lama jika dibandingkan dengan mereka yang pandai beretorika belaka.

***

Agar masyarakat tidak pesimistis terhadap keadaan politik saat ini, dalam masyarakat pascaotoriter dibutuhkan suatu sistem politik yang mantap, yang tidak mendasarkan kepada kekuasaan, uang, dan jaringan birokrasi. Sistem politik yang mantap mestinya sudah sampai derajat self propelling tanpa harus didukung kaidah-kaidah kekuasaan, karena sistem yang demokratis sudah mengalami internalisasi.

Secara kualitatif masih perlu direnungkan apakah gaya kepemimpinan saat ini telah mencapai kristalisasi untuk menopang tata kehidupan politik jangka panjang yang mengejawantahkan nilai-nilai demokrasi? Apakah tata permainan politik sekarang ini secara formal telah disepakati bersama dan tecermin dalam perilaku para pejabat dan rakyat dalam kehidupan sehari-hari?

Jika tidak, negeri ini akan terus mengalami pemiskinan (struktural). Negeri yang miskin ini sekarang harus memboroskan anggaran karena membayari aparat negara dan wakil rakyat yang secara hakiki nyaris tidak ada gunanya. Munculnya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) atau Tim 8 TPF, misalnya, adalah akibat kurang berfungsinya dengan baik badan-badan negara lain, seperti BPKP, BPK, polisi, hakim, jaksa, aparat pemerintah, bahkan yang menamakan diri wakil rakyat.

Mestinya jika lembaga-lembaga negara yang disebut terakhir ini berjalan baik, uang negara sudah dijamin aman, sehingga tidak perlu dibentuk KPK yang bergaji mahal juga. Demikian pula keberadaan polisi dan jaksa. Rakyat rela membayar mahal gaji para pejabat negara dengan harapan mereka akan bekerja optimal.

Demikian pula para wakil rakyat yang dipilih dengan biaya sangat mahal, dan gaji juga supermahal, nyaris muspro (Jawa), karena mereka juga tidak dapat diharapkan kinerjanya untuk membawa amanah kepercayaan rakyat. Dalam kasus Cicak-Buaya ini tampak wajah asli mereka. Padahal, rakyat mengharapkan adanya satu gebrakan hebat untuk menghambat para koruptor merajalela.

Prof Soepomo pernah memperkenalkan istilah negara integralistik, yang intinya pemerintah mestinya seorang pemimpin yang sejati, yakni yang mampu menjadi penunjuk ke arah cita-cita bersama yang adil. Dengan demikian, ada keseimbangan antara makrokosmos dan mikrokosmos, serta ada kemanunggalan antara kawulo dan gusti.

Penyelenggara negara atau pemimpin sejati mesti rajin memeriksa denyut nadi masyarakat yang "mempekerjakannya" sebagai pemimpin, dan di ujungnya pemimpin harus memberi bentuk (gestaltung) kepada rasa keadilan dan cita-cita rakyat. Agar rakyat dapat digerakkan, harus tidak ada perbedaan yang berarti antara cita-cita rakyat dan cita-cita para pemimpin.

Jika rakyat sudah dilukai oleh pemimpinnya, rakyat akan marah dan tidak akan memercayainya dalam waktu lama. Di berbagai negara membuktikan bahwa gerakan rakyat yang marah luar biasa, seperti pada saat Revolusi Iran 1979, di Pilipina, di Thailand, dan kita juga mengalaminya pada Mei 1998 lalu.

Rakyat Indonesia kini yatim piatu, tanpa pemimpin, karena pemimpin sejati adalah: "Jika rumah terbakar, dia yang paling belakang menyelamatkan diri. Jika musuh datang menyerang, dia yang paling depan menyongsongnya. Jika panen berlimpah, dia yang paling belakangan menikmatinya" (Emha Ainun Nadjib). Yang terjadi di negeri ini sebaliknya. Ketika musuh datang menyerang, (para koruptor) dia paling belakang menyongsongnya. (*)

*). Saratri Wilonoyudho, esais, dosen Universitas Negeri Semarang

Tidak ada komentar: