
Jakarta – Pemimpin yang baik itu berwatak Semar. Sederhana gaya dan penampilan. Tidak suka dipuji tetapi suka menyemangati. Bersuara pelan dan ber-nas. Sopan serta menghargai kawan maupun lawan. Pemimpin macam ini jika maju ke medan perang, kalau kalah ‘tidak malu-maluin’, dan jika menang ‘tidak menjatuhkan martabat lawan’.
Kesantunan seperti ini didambakan rakyat. Kita tidak sedang membutuhkan pemimpin yang atraktif dan responsif. Itu karena kita sudah di milennium tiga. Sebuah masa sirnanya okol dan gladiator, menyeminya akal dan tokoh adi-kodrati. Zaman ini revolusi kehilangan kereta, dan agitasi dianggap tidak musimnya lagi. Sejuk, aman, dan damai merupakan tuntutan.
Capres yang sedang berkampanye tidak melakukan itu. Gegap-gempitanya menyeru rakyat agar memilihnya mengatasi gelegarnya halilintar. Mereka berasumsi kian lantang berteriak kian bagus. Mereka lupa jika rakyat kini sudah melek huruf, berpikir rasional, dan merasa terganggu dengan kebisingan.
Semar ditempatkan sebagai pemimpin idaman, karena dia secara literer merupakan batin manusia Jawa. Sebuah keinginan. Sebuah harapan, agar yang memimpin negeri ini kelak adalah figur seperti itu. Harapan itu doa. Dan jika itu doa, maka akan dirituskan ketika masa contrengan tiba.
Secara hakekat Semar bukan hanya ‘milik’ Wong Jowo. Watak Semar itu milik Nusantara. Malah kalau diluaskan lagi, maka Semar adalah milik Asia dan ‘trade mark’ budaya Timur. Budaya yang menekankan rasa dibanding logika.
Kalau pun Semar itu Jawa an sich, sebarannya juga sangat luas. Itu dimulai dari pertukaran kebudayaan di masa Kalinga, diteruskan keluarga Majapahit yang menempati posisi penting di Kalimantan, Sumatera, Bali, Flores hingga Pulau Timor. Dan di era Islam melalui guru-guru agama ke Ternate, Tidore, Halmahera, Sanana, Banda, sampai ke Kepulauan Kei.
Itu belum masa penjajahan dengan pengiriman romusha, transmigrasi, banyaknya perantau ke Jawa untuk belajar atau berkarir serta perkawinan campuran. Artinya, Semar itu Jawa atau mewakili ‘watak ketimuran’, dia mendominasi alam bawah sadar rakyat negeri ini. Dia roh dari sebuah akulturasi budaya negeri ini.
Jika tahu batin rakyat menyimpan idola seperti itu, mengapa para capres melakukan langkah yang kontra-produktif? Adakah mereka tidak ingin menang tetapi hanya berhasrat membabat kandidat lain dengan seolah-olah kritis, atau mata hati mereka tertutup akibat ambisi yang kelewatan?
Jawabnya tentu setelah contrengan usai. Saat sudah diketahui siapa yang unggul, yang bakal membawa negeri ini memasuki babakan baru. Sebuah tahapan yang akan menjawab berbagai prediksi dan spekulasi yang sudah bermunculan. Dan sebuah era dimana janji-janji yang terucap akan kita lihat kebenarannya.
Selamat nyontreng saudaraku. Semoga kita tetap patuh dengan hati kecil, tempat baik dan buruk tersaring secara jernih.
*Djoko Suud Sukahar: pemerhati budaya tinggal di Jakarta (iy/iy)