
DALAM teks-teks buku sejarah dan PPKN sekolah anak-anak kita di SMP dan SMA, konstitusi (constitutio) didefinisikan sebagai hukum utama dan dasar suatu negara. Semua hukum yang lain harus sejalan dengan konstitusi. Konstitusi juga menggambarkan struktur negara dan bekerjanya lembaga-lembaga negara. Dengan demikian, konstitusi juga menjelaskan pembatasan kekuasaan dan kewajiban pemerintah.
Bagaimana konstitusi negara kita dibuat? Jika pertanyaan ini kita tujukan kepada anak-anak di sekolah, dengan enteng mereka menjawab bahwa konstitusi dibentuk melalui sebuah kepanitiaan yang disebut BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia). Tetapi dapat dipastikan tak ada analisis lebih lanjut dari anak-anak tentang betapa terburu-burunya para pemimpin politik dan pakar hukum kita waktu itu dalam menyusun Undang-Undang Dasar 1945 sebagai konstitusi negara. Anak-anak di sekolah tentu saja tak terlatih (atau tak dilatih) untuk menganalisis mengapa pekerjaan sepenting ini disusun hanya dalam waktu sekejap, hanya karena kita sedang dalam suasana genting dalam mempersiapkan kemerdekaan?
Padahal akibatnya kemudian banyak hal yang tidak diatur secara rinci sehingga mudah dimanipulasi oleh pemerintah. Inilah yang terjadi selama 25 tahun kekuasaan Orde Baru, dan setelah era reformasi barulah kemudian konstitusi kita diamendemen demi upaya perbaikan kehidupan berbangsa di masa depan. Pertanyaan selanjutnya, cukupkah amendemen tersebut? Ternyata banyak kalangan dan pakar bilang belum cukup, bahkan sebagian bilang seharusnya malah UUD 1945 tidak diamendemen.
Tampaknya kesadaran tentang konstitusi di kalangan anak-anak sekolah kita perlu diubah sedikit. Setidaknya buku teks yang mereka gunakan sedikitnya bisa memberikan gambaran bagaimana sejarah pembuatan konstitusi di negara-negara lain sehingga muncul kesadaran bahwa konstitusi itu penting sebagai dasar bernegara.
Contohnya di Thailand. Meskipun negara masih menggunakan sistem monarki, rakyat tetap diberi kesempatan terlibat dalam penyusunan konstitusi. Prosesnya dimulai dengan pemilihan secara tidak langsung untuk memilih wakil-wakil majelis yang membuat konstitusi. Selama delapan bulan, majelis ini menyusun rancangan konstitusi kemudian mengadakan dengar pendapat rakyat melalui televisi dan radio untuk mengumpulkan pendapat rakyat. Organisasi-organisasi nonpemerintah juga mengadakan pertemuan-pertemuan publik agar rakyat bisa ikut membahas rancangan ini.
Di Prancis dan Amerika Serikat, konstitusi ditulis kelompok laki-laki yang berkulit putih dan memiliki tanah saja. Selama lebih dari seratus tahun, hanya mereka yang punya hak memilih dan hak memiliki tanah. Sebaliknya di Afrika Selatan, proses pembuatan konstitusi perlu tiga tahun dan rakyat terlibat sekali. Pada awalnya, mereka mengadopsi konstitusi sementara biar ada cukup waktu untuk konsultasi dengan rakyat. Selama tiga tahun, mereka membuat sosialisasi dan konsultasi dengan rakyat dan setelah itu, mereka mengadopsi konstitusi baru yang permanen.
Jika buku teks PPKN dan sejarah kita bisa membuat sekadar perbandingan, mungkin kesadaran konstitusional dapat kita tumbuhkan kepada anak-anak kita di sekolah. Tidak seperti sekarang, anak-anak hanya memiliki pengetahuan yang dangkal tentang konstitusi, kecuali hanya untuk mengingat siapa yang terlibat dalam penyusunan konstitusi. Padahal kesadaran konstitusional sangat diperlukan untuk ditanamkan kepada anak-anak kita sejak di tingkat sekolah lanjutan pertama (SMP). Kegagalan konstitusional dapat berakibat fatal dalam kehidupan berbangsa, persis seperti kejadian hari-hari terakhir ini menyangkut peran dan fungsi lembaga penegak hukum yang katanya konstitusional, tapi praktiknya inkonstitusional.
Perang ala 'cicak versus buaya' yang ramai saat ini adalah pertanda bahwa para penegak hukum kita sejak di bangku sekolah dulu tidak memiliki kesadaran konstitusional. Jadilah akhirnya mereka berdebat dan saling sikat dengan melakukan perang klaim yang mengaku paling konstitusional. Tetapi kita beruntung memiliki Mahkamah Konstitusi yang dipegang oleh orang Madura yang cekatan, cerdas, luwes, penuh kelakar dan menghargai hak konstitusi rakyat kebanyakan. Mahfud MD dkk adalah angin segar bagi masyarakat Indonesia yang hampir saja kehilangan hak konstitusinya karena digondol secara ngawur dan zig-zag oleh Anggodo. Jika tidak, konstitusi kita pasti sudah wes ewes ewes, bablas konstitusine.
Ahmad Baedowi
Bagaimana konstitusi negara kita dibuat? Jika pertanyaan ini kita tujukan kepada anak-anak di sekolah, dengan enteng mereka menjawab bahwa konstitusi dibentuk melalui sebuah kepanitiaan yang disebut BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia). Tetapi dapat dipastikan tak ada analisis lebih lanjut dari anak-anak tentang betapa terburu-burunya para pemimpin politik dan pakar hukum kita waktu itu dalam menyusun Undang-Undang Dasar 1945 sebagai konstitusi negara. Anak-anak di sekolah tentu saja tak terlatih (atau tak dilatih) untuk menganalisis mengapa pekerjaan sepenting ini disusun hanya dalam waktu sekejap, hanya karena kita sedang dalam suasana genting dalam mempersiapkan kemerdekaan?
Padahal akibatnya kemudian banyak hal yang tidak diatur secara rinci sehingga mudah dimanipulasi oleh pemerintah. Inilah yang terjadi selama 25 tahun kekuasaan Orde Baru, dan setelah era reformasi barulah kemudian konstitusi kita diamendemen demi upaya perbaikan kehidupan berbangsa di masa depan. Pertanyaan selanjutnya, cukupkah amendemen tersebut? Ternyata banyak kalangan dan pakar bilang belum cukup, bahkan sebagian bilang seharusnya malah UUD 1945 tidak diamendemen.
Tampaknya kesadaran tentang konstitusi di kalangan anak-anak sekolah kita perlu diubah sedikit. Setidaknya buku teks yang mereka gunakan sedikitnya bisa memberikan gambaran bagaimana sejarah pembuatan konstitusi di negara-negara lain sehingga muncul kesadaran bahwa konstitusi itu penting sebagai dasar bernegara.
Contohnya di Thailand. Meskipun negara masih menggunakan sistem monarki, rakyat tetap diberi kesempatan terlibat dalam penyusunan konstitusi. Prosesnya dimulai dengan pemilihan secara tidak langsung untuk memilih wakil-wakil majelis yang membuat konstitusi. Selama delapan bulan, majelis ini menyusun rancangan konstitusi kemudian mengadakan dengar pendapat rakyat melalui televisi dan radio untuk mengumpulkan pendapat rakyat. Organisasi-organisasi nonpemerintah juga mengadakan pertemuan-pertemuan publik agar rakyat bisa ikut membahas rancangan ini.
Di Prancis dan Amerika Serikat, konstitusi ditulis kelompok laki-laki yang berkulit putih dan memiliki tanah saja. Selama lebih dari seratus tahun, hanya mereka yang punya hak memilih dan hak memiliki tanah. Sebaliknya di Afrika Selatan, proses pembuatan konstitusi perlu tiga tahun dan rakyat terlibat sekali. Pada awalnya, mereka mengadopsi konstitusi sementara biar ada cukup waktu untuk konsultasi dengan rakyat. Selama tiga tahun, mereka membuat sosialisasi dan konsultasi dengan rakyat dan setelah itu, mereka mengadopsi konstitusi baru yang permanen.
Jika buku teks PPKN dan sejarah kita bisa membuat sekadar perbandingan, mungkin kesadaran konstitusional dapat kita tumbuhkan kepada anak-anak kita di sekolah. Tidak seperti sekarang, anak-anak hanya memiliki pengetahuan yang dangkal tentang konstitusi, kecuali hanya untuk mengingat siapa yang terlibat dalam penyusunan konstitusi. Padahal kesadaran konstitusional sangat diperlukan untuk ditanamkan kepada anak-anak kita sejak di tingkat sekolah lanjutan pertama (SMP). Kegagalan konstitusional dapat berakibat fatal dalam kehidupan berbangsa, persis seperti kejadian hari-hari terakhir ini menyangkut peran dan fungsi lembaga penegak hukum yang katanya konstitusional, tapi praktiknya inkonstitusional.
Perang ala 'cicak versus buaya' yang ramai saat ini adalah pertanda bahwa para penegak hukum kita sejak di bangku sekolah dulu tidak memiliki kesadaran konstitusional. Jadilah akhirnya mereka berdebat dan saling sikat dengan melakukan perang klaim yang mengaku paling konstitusional. Tetapi kita beruntung memiliki Mahkamah Konstitusi yang dipegang oleh orang Madura yang cekatan, cerdas, luwes, penuh kelakar dan menghargai hak konstitusi rakyat kebanyakan. Mahfud MD dkk adalah angin segar bagi masyarakat Indonesia yang hampir saja kehilangan hak konstitusinya karena digondol secara ngawur dan zig-zag oleh Anggodo. Jika tidak, konstitusi kita pasti sudah wes ewes ewes, bablas konstitusine.
Ahmad Baedowi